Discourse
tentang Islam dan Dayak secara umum sangat jarang tersentuh oleh para
peneliti lokal, nasional ataupun para peneliti asing. Minimnya penelitian atau
mungkin justru ketiadaan penelitian telah memberikan andil dalam mengekalkan
asumsi tentang Dayak, yang umumnya selalu diidentikkan dengan tradisi pagan
ataupun Kristen.
Menyikapi fenomena di atas, perlulah kiranya menguji
asumsi tersebut, apakah asumsi di atas masih layak atau tidak ketika digunakan
untuk melihat identitas etnik Dayak. Pengujian atas asumsi ini bermanfaat untuk
mengklarifikasi atau menjernihkan pemahaman umum tentang Dayak dalam konteks
lintas agama maupun lintas budaya. Kiranya dalam konteks ini memang diperlukan
adanya redifinisi tentang Dayak yang bebas dari hegemoni definisi yang berbau
kolonial, atau jika mungkin kata Dayak itu sendiri perlu ditinggalkan karena ia
bukan merupakan simbol identitas yang berakar dari keseluruhan kelompok etnik di
Kalimantan. Sebuah kecelakaan sejarah memang, ketika istilah ini terlanjur
diterima sebagai representasi
identitas.
Berawal dari carut marut terbelahnya identitas inilah,
Dayak Islam perlu diperbincangkan sebagai sebuah bagian yang integral dengan
ke-Dayakan itu sendiri. Mungkin salah satu yang mewakili perbincangan dari
Dayak Islam ini adalah Islam Bakumpai.
Asal-usul
Etnik Bakumpai
Melacak
asal-usul etnik ini memang terasa banyak kendala, kesulitannya adalah karena
harus melacak kembali sambungan-sambungan benang sejarah yang telah lama putus,
yang kemudian diupayakan untuk menjadi sebuah rangkaian yang mendekati utuh.
Alasan dari kesulitan di atas memang sudah bisa
dimafhumi, yaitu terbatasnya sumber data yang berkenaan dengan etnik Bakumpai
itu sendiri, namun paling tidak, meskipun sangat terbatas, informasi lisan
ataupun tertulis yang berasal dari masa lalu tetaplah penting sebagai titik
tolak bagi langkah awal menuju penggalian sumber yang lebih mendalam dan
akurat.
Untuk menjelaskan tentang asal-usul etnik Bakumpai dari
sudut pandang historis, paling tidak secara tentatif bisa bersandar pada
kutipan Maulani yang merujuk pada Bock:1
Asal-usul
suku Bakumpai yang dikelompokkan sebagai salah satu sub etnik dari ras Kahayan,
diduga berasal dari suatu desa yang juga menyandang nama Bakumpai di hulu
sungai Barito. Mereka menyebar ke Selatan mendiami sepanjang sungai Barito,
berbelok ke sungai Kahayan dan sungai Mentaya Sampit sampai ke Tumbang Samba
(Kasongan), Kalimantan Tengah. Dalam persebaran itu etnik Bakumpai bertemu
dengan suku Melayu dan mulai memeluk agama Islam pada awal tahun 1688 melalui
penyebar agama Islam dari Demak. Dari hulu sungai Barito orang-orang Bakumpai
menyebar ke hulu sungai Mahakam di Long Putih mengalir sampai ke Long Iram.
Pada sisi yang lain, berbicara tentang Bakumpai tidak
hanya semata-mata representasi etnik, tetapi juga merupakan representasi yang
berhubungan dengan geografis, jika Bakumpai dipahami sebagai etnik maka ia
tidak dibatasi oleh sekat-sekat geografis, namun jika Bakumpai dipahami sebagai
sebuah wilayah, maka lingkupnya sudah pasti terbatas.
Adapun Bakumpai dalam konteks geografis yang dibahas di
sini adalah yang berpusat di Marabahan. Mengenai asal-usul keberadaan Bakumpai
sebagai sebuah wilayah, dalam hal ini didasarkan pada salah satu informasi yang
menjelaskan sebagai berikut:2
Pada abad
ke-15 Banua Bakumpai belum ada. Baru pada awal abad ke-16 (1525) bermula dengan
datangnya sebuah jukung (perahu) dari arah Barat sungai Barito yang didayung
satu keluarga terdiri dari lima orang, dua laki-laki dan tiga perempuan. Ciri
orang tersebut kulit dan rambut berwarna kemerah-merahan (pirang. Pen.),
sehingga disebut Datu’ Habang Rambut (Datu’ Bahandang Balau. Pen.). Diduga
mereka berkebangsaan Spanyol.......
Sebelum
ada lebu (Banua) Bakumpai. Sungai Barito sudah ada, bermuara ke laut
jawa, mengudik ke hulu atau ke Utara dan berujung di Banua Lima. Jika kita
melihat peta kabupaten Barito Kuala yang membujur dari Selatan ke Utara
(kecamatan Kuripan) melaui jalur air dari Marabahan ke Kuripan kita melalui
beberapa desa, yaitu: desa Banitan, Palingkau, Balukung, Jambu, Hampelas,
Kabuau, Jarenang, Palangkau dan desa
Kuripan.
Konon
ceritanya jalur air yang melewati 4 desa (Banitan, Palingkau, Balukung dan
Jambu) pada mulanya hanya merupakan tanah rawa, selokan alami dan hanya
diketahui sebagai jalan babi, rusa dan marga satwa lainnya. Selokan tersebut
lama-lama saling terhubung menjadi parit (sungai kecil). Dengan derasnya arus
air ke arah hulu, lama-lama parit semakin lebar sehingga dapat dilalui jukung,
akhirnya tembus sampai ke desa Ulu Benteng sekarang. Selanjutnya diceritakan
bahwa jukung yang didayung lima orang tersebut terus menghilir melalui parit,
dan mereka pun ke desa Ulu Benteng.
Ulu
Benteng pada mulanya masih merupakan hutan belukar. Nah di desa itulah mereka
bermalam. Karena keadaan tanah cukup tinggi, mereka sepakat untuk menetap,
akhirnya mendirikan hubung (gubuk). Akhirnya hanya dalam kurun waktu
puluhan tahun mulailah orang-orang berdatangan dan tak heran tempat itu menjadi
perkampungan yang dalam bahasa Bakumpai disebut Lebu (Banua).
Selama
puluhan tahun mereka hidup bertetangga, aman ruhui rahayu. Tetapi apa yang
terjadi, seiring dengan perjalanan waktu, pada suatu malam Banua tersebut
terbakar dan menghabiskan semua rumah. Konon ceritanya sebelum terbakar, antara
penduduk sudah saling bertengkar, berkelahi dan dihasut oleh pihak luar,
sehingga akhirnya saling membakar. Setelah terbakar semua penduduk cerai berai,
tak seorangpun yang tinggal. Mereka pindah. Ada yang ke hulu, ke hilir, tetap
tidak jauh dari lokasi kebakaran.
Arus
perpindahan ini dapat digambarkan sebagai berikut: perpindahan ke arah seberang
disebut kampung lepasan, ke arah hulu disebut kampung Ulu Benteng, ke arah
hilir meliputi beberapa kampung; yaitu kampung Pasar, kampung Bentok (Tengah),
kampung Basahab, kampung Timbuk Ngambu, kampung Ngawa Masjid, kampung Sungai
Madang, Kampung Jembatan Tiga, kampung Baliuk Ngaju, kampung Senali (Baliuk
Ngawa), Kampung Bagus, kampung Sungai Lukut dan kampung Rumpiang.
.........Konon
ceritanya bahwa di antara yang pindah ke hilir ada sebuah jukung
(perahu) membawa seekor ayam jantan kambudiwasi (pada bagian ekor ada
selembar bulu warna putih). Menurut kepercayaan mereka ayam tersebut bisa memberi
isyarat tanda baik atau buruk. Tidak seberapa jauh dari tempat semula (+2 Km)
ayam tersebut berkokok tiga kali. Mereka yakin kokok ayam tersebut adalah
pertanda baik untuk singgah dan akan memulai hidup baru di tempat itu.
Alhasil
mereka segera membersihkan hutan/semak sehingga dalam waktu tidak lama sudah
berdiri rumah. Dalam kurun waktu selanjutnya penduduk bertambah banyak sehingga
menjadi sebuah kampung.
Orang
pertama yang mendirikan rumah, bernama Datu’ Jalul, dan rumahnya disebut
rumah Dukup. Kampung tersebut adalah cikal bakal adanya kampung Bentok
(Tengah) sekarang.
Mengenai pendiri kampung Bentok (Tengah) ada sedikit
informasi, sebagaimana terdapat dalam catatan silsilah Datu’ Jalul.
Berdasarkan catatan tersebut, sang pendiri Datu’ Jalul bin Malik
diperkirakan lahir sekitar antara tahun 1755-1760. Ia memiliki dua orang istri
yang bernama Nurmi dan Halimah. Dari kedua istrinya inilah nantinya yang
menurunkan orang-orang Bakumpai di kampung Bentok (Tengah). Adapun mengenai
pembangunan rumah Dukup menurut catatan didirikan sekitar tahun 1785.
Menurut para tetuha di Marabahan rumah ini merupakan salah satu yang tertua.3
Selain Datu’ Jalul bin Malik, pada generasi
sesudahnya ada beberapa orang tokoh agama dan pejuang yang lahir dari kampung
ini. Seperti Panglima (Demang) Kendet, Panglima Bantaur, Panglima Punduh,
Panglima Odi, Syeikh Datu’ Abdusshamad, H. Abdul Majid, H. Abdul Aziz
(Ki Demang Wangsa Negara), H. Martaib (Singa Braja), Panglima Wangkang,
Samauddin (Ki Rangga Niti Negara), Syeikh H. Abu Thalhah dan Qadhi H.M. Djafri.4
Pada perkembangan berikutnya, menurut Helius5 berdasarkan laporan Schwaner,
sejak abad ke-19 Bakumpai telah berubah menjadi sebuah distrik utama yang
meliputi beberapa daerah disepanjang alur Barito, seperti: Balawang, Marabahan,
Kuripan, Paminggir, Mengkatib, Patai, Siong, Dayu, Paku dan Karau. Selain itu
sebutan Bakumpai juga digunakan untuk menyebut Negeri utama Marabahan atau
Muara-bahan. Adapun mengenai kegiatan penduduknya, mereka bermata pencaharian
sebagai pedagang. Menurut Schwaner orang-orang Marabahan memiliki ratusan
armada perahu dagang. Sedangkan jumlah penduduknya pada tahun 1845 berjumlah
5265 orang. Pada umumnya orang-orang Bakumpai menganggap dirinya merdeka,
meskipun mereka berada di mana saja, dan mereka hanya taat pada negeri induknya
di Bakumpai.
Bakumpai jika dilihat dari segi nilai strategisnya pada
saat itu memang banyak memberikan keuntungan bagi penduduknya.
“Bakumpai
adalah kunci bagi perdagangan kira-kira 2300 mil persegi geografis Borneo
(Kalimantan). Produksi Negara dan Barito, dan sejumlah besar komoditi dari
sungai Kapuas, dan sungai Kahayan, menemukan jalan mereka ke dunia perdagangan
melalui negeri ini (Marabahan)”.6
Perjumpaan
Islam dengan Bakumpai
Peralihan keyakinan keagamaan secara umum ataupun yang
lebih terbatas pada region-region tertentu, tampaknya memiliki beberapa alasan,
dan tidak hanya sebagaimana yang tertangkap dipermukaan, yang selalu bisa
diukur secara empirik, misalnya lewat interaksi sosial antara kelompok
pendatang dengan penduduk asli. Dalam konteks historis, interaksi sosial yang
terjadi di masa lalu memungkinkan segala macam perjumpaan pada ranah agama dan
budaya, yang berdampak pada adanya perubahan besar dalam kehidupan sekelompok
masyarakat atau etnik. Perubahan besar tersebut misalnya seperti konversi agama
suatu etnik, hal ini tentulah merupakan bagian dari peristiwa historis, dan
alasan perjumpaan dalam ranah interaksi sosial merupakan alasan yang sangat
logis untuk diterima ketimbang menerima sejumlah informasi yang sarat dengan
nuansa magis. Tetapi di sinilah kadang-kadang perbedaan yang sangat kentara
terlihat, masyarakat atau sekelompok etnik tertentu memiliki pemahaman
sejarahnya sendiri, di mana unsur-unsur magis dan sakral merupakan sesuatu yang
tak terpisahkan ketika mereka meramu sejarahnya. Sedangkan para sejarawan
positivistik cenderung mereduksi sejumlah fakta, sejauh itu dianggap logis,
yang sudah barang tentu membuang jauh-jauh kandungan unsur-unsur magis dan yang
sakral dari sejarah, namun yang jelas antara keduanya berbeda secara
epistemologis. Satu sisi, ini juga merupakan bentuk dominasi dari sejarah
tulisan terhadap sejarah lisan, karena sejarah yang positivistik lebih
mengutamakan kekuatan data tulisan ketimbang lisan. Data lisan sering dicurigai
tidak memiliki kemurnian, serta akurasinya lemah.
Jika diukur dari sudut pandang positivistik, penulisan
sejarah mengenai sejumlah etnik Dayak
tentulah mengalami banyak kesukaran, dalam kasus Bakumpai misalnya, pencarian
tentang data sejarah berupa catatan-catatan orang lokal terasa sangat sulit
dijumpai selain dari informasi-informasi lisan, namun sekarang sumber informasi
lisan itupun sudah mulai langka.
Ketika berbicara tentang perjumpaan antara Islam dan
Bakumpai dari sudut pandang informasi lisan, sudah pasti tidak bisa
dipisahkan dari unsur-unsur magis dan sakral, keajaiban spiritual merupakan
daya tarik yang luar biasa bagi orang-orang Bakumpai.
Terkait dengan fenomena di atas, secara umum Reid
tampaknya menyadari hal ini sebagaimana dalam kutipan sebagai berikut:7
Hampir
seluruh kronik Asia Tenggara menggambarkan peristiwa-peristiwa gaib yang
menyertai peralihan sebuah negara menjadi Islam, namun perbedaan di antara
jenis campur tangan Ilahiah itu tentu perlu pula diperhatikan. Kronik-kronik
Melayu seperti kronik Pasai, Melaka dan Patani tidak berbeda secara mencolok
dengan cerita yang berasal dari bagian dunia lain. Titik berat kronik tersebut
adalah pewahyuan lewat mimpi, seperti kronik tentang penguasa Pasai dan
kemudian Melaka, atau kemudian mu’jizat wali Allah, seperti Shaikh Sa’id dari
Pasai yang menyembuhkan penguasa Patani (Brown 1953 : 41-42, 52-54; “Hikayat
Raja-Raja Pasai”, 116-120; Hikayat Patani,I: 71-75; lihat pembahasan
teks-teks ini dalam Drewes 1968: 436-438). Kronik-kronik ini tidak ragu
menggambarkan kekuasaan para penguasa dan asal-usul negara dengan menggunakan
konsep kekuatan magis (kesaktian) yang berasal dari masa pra-Islam, namun
tampak jelas deskripsi proses Islamisasi dijaga agar tetap berada di dalam batas-batas
yang dapat diterima oleh kalangan Muslim disebagian besar dunia. Dalam tradisi
Islam jawa dan Tradisi Banjar yang menjadi turunannya, kita menemukan
unsur-unsur kepercayaan pra-Islam secara lebih terang-terangan. Motif
perpindahan agama paling jelas ditunjukkan dalam Hikayat Bandjar adalah
bahwa pemimipin jipang dari jawa timur ”sangat terkesima ketika melihat
pancaran (cahaya) Raja Bungsu (yaitu: Raden Rahmat).” Dia berlutut di depan
Raja Bungsu dan memohon untuk diislamkan (Hikayat Bandjar, 420).
Dari kutipan di atas, fenomena persentuhan Islam dengan
dengan kepercayaan lokal diberbagai wilayah di Asia Tenggara, atau lebih sempit
lagi Nusantara merupakan persentuhan yang dilandasi oleh perjumpaan pada
kesamaan kecenderungan, yaitu adanya minat yang sama dalam merespon nilai-nilai
spritualitas, daya tarik ritualnya, serta muatan dari pengalaman spiritual yang
diperoleh. Secara kongkrit dan sederhana perjumpaan ini bisa dilihat ketika
Islam masuk ke Nusanatara, yang tampak adalah dominannya unsur-unsur mistis
yang menyertainya, yang sudah barang tentu lebih banyak menekankan pada hal-hal
gaib. Begitu juga dengan tradisi-tradisi lokal di Nusantara, isi pengalaman
keagamaan yang berhubungan dengan dunia gaib bukanlah sesuatu yang baru, tetapi
merupakan roh dari tradisi itu sendiri. Dengan ungkapan lain perjumpaan Islam
dengan kelompok-kelompok etnik di Nusantara didasarkan pada kedalaman
penghayatan aspek religius-magis.
Persoalan di atas, jika ditarik pada ranah yang lebih
spesifik, yaitu dalam konteks perjumpaan Islam dengan etnik Dayak Bakumpai,
maka terlihat perubahan yang sangat signifikan, di mana konversi berlangsung
secara massif. Lagi-lagi daya tarik aspek religius-magis memiliki tarikan yang
sangat kuat. Jika diamati dari ekspresi keagamaan orang-orang Bakumpai, maka
dapat disimpulkan, bahwa ketika mereka
bersentuhan dengan Islam, yang pertama-tama mereka kenal adalah unsur-unsur
mistisnya, sedangkan unsur-unsur doktrin formalnya agak sedikit belakangan.
Meskipun demikian sangat berbeda
kasusnya jika dibanding dengan Islam jawa yang lebih kental nuansa
sinkretisnya, sedangkan Islam Bakumpai tetap menekankan keseimbangan antara
ranah eksoteris dan esotreis, atau dalam istilah yang populer dikalangan
orang-orang Bakumpai keselarasan antara Syari’at, Thariqat, Haqiqat dan Ma’rifat.8
Pernyataan di atas tidak berpretensi untuk menyimpulkan
secara tergesa-gesa mengenai bentuk perjumpaan Islam dengan etnik Dayak
Bakumpai. Anggapan di atas tentunya tidak hanya didasarkan pada ekspresi yang
tampak dipermukaan saja, tetapi juga merujuk pada pengalaman-pengalaman yang
multi-varian, dan diperkaya oleh informasi-informasi lisan lintas generasi,
serta tingkah laku yang berhubungan dengan tindakan praktis religius. Tindakan
praktis religius tidak hanya tercermin dalam kegiatan-kegiatan ritual, tetapi
bagaimana mereka menyelaraskan serta meresapkannya dengan pengetahuan esoteris
yang mereka milki.
Sehubungan dengan persoalan di atas, informasi-informasi
lisan serta pengalaman-pengalaman masa lalu yang telah diperoleh secara
berantai, yang telah melintas bentangan zaman dari beberapa generasi, meskipun
agak terbatas, namun sangat membantu dalam melihat bagaimana orang-orang
Bakumpai mendefinisikan dirinya setelah mengalami perjumpaan dengan Islam pada masa-masa
awal hingga enam generasi belakangan.
Pesona
Sufisme Bagi Orang-Orang Bakumpai
Secara
umum, aura sufisme memiliki pesona yang sanggup mengubah peta kawasan dunia
Timur pada masa-masa awal Islam, namun ini tidak dipahami dalam pengertian yang
negatif semata-mata sebagai sebuah pertarungan politik, ini merupakan sisi lain
dari perjumpaan lintas tradisi, atau perjumpaan antar kearifan.
Kepulauan nusantara yang juga ditaburi aura sufisme,
sebagaimana telah disinggung sebelumnya dalam tulisan Reid, perjumpaan dengan
Islam dalam hal ini tidak selalu dilihat sebagai sebuah upaya pendekatan yang
bersifat politis, misalnya sebuah negara taklukan mesti tunduk dengan suka rela
atau terpaksa menerima agama baru dari penakluknya. Dalam konteks nusantara pendekatan
yang bersifat politis pada satu sisi mungkin hanya merupakan efek sekunder.
Alasan ini bisa dimafhumi karena pengaruh kuat sufisme tidak menyentuh fisik,
tetapi justru menyentuh permukaan batin masyarakat lokal hingga ke dasarnya.
Begitu juga dalam konteks Bakumpai, keislaman mereka
bukanlah karena mereka orang-orang taklukan kerajaan Islam Banjar, mereka
adalah orang-orang merdeka yang menganggap dirinya lebih dahulu memeluk Islam
dari tetangganya orang Banjar.9
Dari penuturan, tampaknya pengaruh kuat sufisme dalam
perjumpaannya dengan orang-orang Bakumpai sangat intens sekali. Jejak-jejak ini
masih tersisa dengan adanya beberapa individu dan kelompok-kelompok kecil yang
tetap mempertahankan bentuk penghayatan agama melalui jalan mistis dengan tetap
mempertahankan syari’at. 10
Kecenderungan orang-orang Bakumpai pada masa awal dalam
menghayati sufisme, sebagaimana berdasarkan tuturan lisan adalah karena
semata-mata menganggap kehidupan Islam sufistik sebagai jalan yang ideal untuk
mencapai kesempurnaan. Orang-orang Bakumpai sering menyebut ajaran-ajaran
sufistik dengan istilah Ilmu Kasampurnaan, ilmu ini merupakan
sarana menuju perjumpaan atau penyatuan dengan Yang Maha Agung, atau dalam
istilah Bakumpai hasupa den ji-halus mate (berjumpa dengan Yang
Maha Memiliki Penglihatan tajam/halus, secara hafiah berarti Yang Halus Mata).11
Kemudian pada perkembangan berikutnya, Ilmu
Kasampurnaan tidak lagi sepenuhnya menjadi sarana untuk mencapai
perjumpaan atau penyatuan dengan Tuhan saja, tetapi mengalami perluasan fungsi,
yang dimaksud dengan fungsi di sini adalah kegunaan yang berhubungan
persoalan-persoalan keduniaan, misalnya untuk memperoleh kesaktian. Sehubungan
dengan hal ini, ada beberapa macam pengertian tentang kesaktian yang ingin
dicapai, yang meliputi: Ilmu Kataguhan (ilmu kebal senjata), Ilmu
Gancang (ilmu kekuatan super), Ilmu Mam-palemo Sanaman
(ilmu melemahkan Besi), Ilmu Banihau (ilmu menghilangkan diri),
dan masih ada beberapa istilah tentang ilmu-ilmu kesaktian yang juga
berafiliasi pada ritual-ritual yang bernuansa sufistik, atau dalam istilah
lokal dengan praktek balampah. Di antara sekian macam ilmu
kesaktian tersebut, ada ilmu yang menjadi puncak segala kesaktian, yang disebut
dengan Ilmu Jida Balawan (ilmu tanpa perlawanan, di mana musuh
segan tak berdaya). Konon ceritanya ketika orang mampu menguasai ilmu ini
dengan sempurna, maka ketika ia menghadapi musuh, ia tidak perlu mengeluarkan
energi untuk bertarung, tidak memerlukan kekebalan, karena musuh dengan
sendirinya akan menjadi lemah tak berdaya. Selain itu kesaktian juga terkait
dengan kemampuan menyembuhkan penyakit yang bersifat fisik dan ruhani (Ilmu
Ketabiban).12
Namun perluasan fungsi di atas pada dasarnya hanya
merupakan bentuk sekunder dari perkembangan sufisme lokal. Kembali ke persoalan
sebelumnya, mengenai penghayatan yang lebih murni ke jalan menuju sebuah
perjumpaan melalui Ilmu Kasampurnaan, maka pengalaman kasyfi
(penyingkapan spiritual) lebih bermakna nilainya dari kesaktian, meskipun tidak
harus menolak efek-efek magis yang bersifat sekunder, yang muncul sebagai hasil
dari pengamalan dan penghayatan Ilmu Kasampurnaan tersebut.
Sisi lain yang lebih spesifik mengenai ketertarikan
orang-orang Bakumpai terhadap sufisme adalah karena daya tarik karamah, secara harfiah karamah berarti
kemuliaan, dalam pandangan umum dipahami sebagai bagian integral dari kualitas
spiritual yang dimiliki oleh para orang suci (Wali), karamah
biasanya terkait dengan peristiwa-peristiwa magis atau berhubungan dengan
keajaiban-keajaiban yang tidak lazim dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Karamah
bukanlah sesuatu yang karena diusahakan, sebagaimana melalui
praktek-praktek ritual untuk memperoleh kesaktian. Jika dalam hal ini riyadhah
dan mujahadah ditujukan untuk memperoleh kesaktian, maka dalam konteks Ilmu
Kasampurnaan yang lebih murni, riyadhah dan mujahadah ditujukan
untuk mencapai kedekatan kepada Tuhan (al-Qurb). Karamah bukan
tujuan, ia merupakan anugerah Tuhan yang tidak bisa ditolak, dan tidak juga
dikehendaki oleh orang yang berkhidmat menuju perjumpaan dengan Yang Maha
Agung. Contoh dari karamah itu misalnya seperti kemampuan seorang Wali
yang dapat shalat mengawang-awang di udara, kemampuan berjalan di atas air,
berwudhu dengan menceburkan diri ke dalam air, tetapi yang basah hanya anggota
wudhunya saja. Namun kadang-kadang ada hal yang unik, di mana seseorang
memperoleh karamah tanpa melalui riyadhah (olah spiritual) dan mujahadah
(berjuang secara konsisten), fenomena ini dalam tradisi sufi disebut dengan jadzbah
(tarikan langsung dari Tuhan), atau juga melalui inisiasi, yang berupa
pemberkatan melalui kehadiran para Wali Allah atau dengan kehadiran
salah seorang Nabi secara ruhaniyah.
Kecenderungan sufi awal di Marabahan tampaknya yang lebih
menonjol adalah ciri jadzbah-nya, kondisi jadzbah berlangsung
hingga masuknya sufisme yang terlembaga seperti thariqat, paling tidak
dari abad ke-17 hingga awal abad ke-18. dalam tradisi jadzbah, ada salah
seorang sufi yang hidup se zaman dengan Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. Ia
adalah Datu’ Sulaiman. Tokoh ini memang sangat unik.13 Pada mulanya ia bukanlah
seorang yang taat beragama, menurut penuturan lisan, ia tidak pernah shalat
hingga usia 40 tahun, namun pada usia ini pula ia memperoleh pencerahan
spiritual, setelah mengalami titik balik, di mana ia berpaling dari
urusan-urusan yang murni duniawi kepada hal-hal yang lebih religius. Pada saat
itu pula ia mulai berfikir mendalami agama secara lebih serius, sehingga ia
berniat untuk mempelajarinya. Untuk mewujudkan niatnya, ia mengajak dua orang
kawannya ke Martapura untuk belajar
agama secara lebih intensif kepada Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, namun di
tengah perjalanan ia berjumpa dengan Khidr
melalui pertemuan yang sangat unik, lalu ia diberi pemberkatan dan tidak
jadi pergi ke Martapura. Setelah pertemuan itu ia mengalami perubahan yang
sangat luar biasa, ia dianugerahi kecerdasan intuitif, sehingga ia mampu
menyerap pengetahuan tanpa belajar, misalnya ia memilki kemampuan berbahasa Arab tanpa pernah belajar, termasuk
mengetahui isi kitab, tanpa mengenal sebelumnya kitab tersebut. Ia juga pernah
menulis tafsir esoteris tentang surah Yâsîn.14
Setelah peristiwa perjumpaan dengan Khidr, menurut
penuturan lisan Datu’ Sulaiman pernah berkirim surat kepada Syeikh
Muhammad Arsyad al-Banjari dalam rangka mencocokkan pengetahuan spiritual yang
telah diperolehnya, apakah bersesuaian dengan isi pengetahuan spiritual yang
dimiliki Syeikh Arsyad. Dalam surat itu ia menulis hanya dengan satu huruf alif
(ﺃ), dan Syeikh Arsyad pun
menjawab suratnya, dengan menyatakan kecocokannya.15
Pada fase berikutnya, yaitu abad ke-18, perkembangan
sufisme di Marabahan mengarah pada aliran thariqat yang terlembaga,
titik awal perubahan ini ditandai dengan kehadiran salah seorang anak dari
Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, yaitu Mufti Jamaluddin yang kawin
dengan penduduk lokal, yang bernama Samayah binti Sumandi. Kemudian dari
pasangan ini lahir seorang putera yang bernama Abdusshamad, yang kelak di
kemudian hari menjadi Wali besar di tanah Dayak, atau lebih dikenal
dengan Datu’ Abdusshamad Bakumpai yang dikenal memiliki keunikan
spiritual beserta karamah-karamahnya.16
Pada masa Datu’ Abdusshamad inilah puncak
perkembangan sufisme di Marabahan, di mana ia mengembangkan thariqat Naqsyabandiyah
dengan suluk-nya, dan juga thariqat Syadziliyah. Ia memilki
banyak murid dari berbagai pelosok di Kalimantan Selatan dan Tengah, namun yang
terlacak hanya murid-murid suluk-nya di Marabahan saja, sebagaimana yang
diperoleh dari informasi lisan, di antaranya adalah: H.Muhammad Arsyad, H.
Zawawi, Maswedah dan Wajinah.17
Pengembangan thariqat pada fase berikutnya
diteruskan oleh keturunannya, Syeikh H. Abu Thalhah, Qadhi H. Muhammad Djafri,
Syeikh H. Muhammad Bidjuri dan Syeikh H. Muhammad Basiyuni.18
Fase berikutnya menunjukkan bahwa perkembangan thariqat
mengalami stagnasi, ajaran-ajaran sufistik mulai terpisah dari ingatan generasi
sekarang, meskipun ada perkembangan yang menggembirakan dengan mulai
dikembangkannya kembali thariqat.
Namun pada sisi yang lain, bagaimanapun tetap saja ada
sesuatu yang mengkhawatirkan, karena secara lisan, sejarah sudah mulai redup,
jejaknya hampir musnah. Para tetuha satu demi satu mulai menghilang, sejarahpun
secara perlahan turut menghilang ditelan bumi, karena sejarah bagi orang Bakumpai
berada di ujung lidah mereka, sejarah bagi mereka tidak ditulis di atas kertas,
tetapi disurat dalam ingatan. Inilah ambang batas yang memperihatinkan, ketika
ingatan-ingatan tentang sejarah mereka “lupa” diwariskan ke generasi
berikutnya.
Varian
Islam Etnik Dayak yang Berada di Pinggiran Sejarah
Adanya
kategori-kategori tentang etnik-etnik secara umum telah menciptakan posisi subordinate
bagi keberadaannya. Terciptanya kategori-kategori tersebut selalu merujuk pada
kepentingan kelas kolonial, dan memberi dampak pada muatan kesadaran
etnik-etnik terjajah, yang kemudian diwariskan kepada generasi belakangan.
Ketegori-kategori yang dimaksud terkait dengan bagaimana
identitas dirumuskan berdasarkan konteks lokalitas tertentu. Dalam kasus ini
misalnya muncul pembagian yang bersifat dikotomis ketika melihat hubungan
antara agama dan etnik, yang lengkap dengan rujukan makna–makna yang
diciptakan, dan kemudian ditempatkan pada ruang-ruang bawah sadarnya. Ketika
orang menyebut kata Dayak, maka referensi yang tertanam di bawah sadar itu akan
muncul secara “mekanik” ke permukaan pikiran. Gambaran-gambaran bawah sadar itu
berreproduksi dan membantu tersusunnya makna yang mewujud secara artikulatif,
serta memiliki kesan yang sangat mendalam. Kita bisa menyaksikan betapa
mengakarnya makna tentang kata Dayak, yang selalu digunakan untuk menyebut
non-muslim, identik sebagai orang Kristen atau orang Kaharingan. Pada satu
sisi, ketika orang menyebut kata Melayu, maka pemaknaan itu merujuk pada
identitas muslim. Dalam hal ini Melayu mengalami perluasan pemaknaan, “Melayu”
bukan lagi identitas etnik yang bersifat tunggal dan asli, tetapi ia di-setting
untuk menyerap kelompok etnik yang lain ke dalam identitas dirinya atas
dasar kesamaan agama.
Kasus di atas tampaknya menyimpan sesuatu yang laten,
yang tidak telalu jelas tampak dipermukaan realitas, ekspresi-ekspresi yang
samar kadang-kadang seperti ingin menguatkan yang laten, tapi sekali lagi ini
tidak terlepas dari kontruksi yang sangat kolonial, dan dibalik yang laten itu
ada struktur nalar terbalik, yang setiap saat berperan menguatkan yang laten
tersebut.
Dalam konteks struktur nalar terbalik, identitas
ditentukan oleh dua pertarungan kekuatan, antara simbol dan muatan yang
terkandung di dalamnya. Dari kasus di atas, konstruk tentang “Melayu”
dicitrakan memiliki karakter yang kuat untuk mencerminkan Islam, “Melayu” bisa
menjadi kata ganti untuk Islam dalam rangka menjelaskan Islam itu sendiri.
Sedangkan “Dayak” berada dalam posisi subordinate ketika berdampingan dengan
agama. Pencitraan yang dimunculkan di sini, posisi Kristen lebih dominan untuk
mencerminkan “Dayak”, atau dalam refensi lokal, Kristen merupakan kata ganti
dari “Dayak”, atau dalam istilah Banjar sering disebut urang sabalah.
Berdasarkan cerminan di atas, tampaknya sejarah agama dan
etnik di tingkat lokal dibangun melalui struktur nalar terbalik, sehingga bisa
jadi pada dasarnya kita terkurung dalam medan magnet referensi pemaknaan yang
sangat kolonial. Dalam struktur nalar terbalik ini ada yang dikuatkan dan ada
yang dlemahkan.
Efek lain dari struktur nalar terbalik yang dikotomis ini
adalah telah berperan menutup realitas tentang Dayak itu sendiri, pemaknaan
tentang Dayak dilemahkan, referensi pemaknaannya dikacaukan. Dayak
tidak lagi dilihat sebagai sebuah realitas plural, Dayak terkurung dalam
identitas yang di setting dalam
kata gantinya, sehingga identitas lain menjadi sub-altern, misalnya
Islam dan Kaharingan. Dengan demikian Dayak telah mengalami pengerucutan dari
segi keluasan cakupannya, apa yang selain Kristen dalam konstruksi kolonial
berupaya dieksklusikan, namun identitas Kaharingan adalah varian lain yang
tidak bisa dipisahkan dari ke-Dayakan, meskipun ada streotype negatif
yang selalu mengiringinya, misalnya yang sudah umum, “makan orang”, mangayau
dan lain sebagainya. sedangkan ketika terjadi perjumpaan antara Dayak dengan
Islam maka identitas ke-Dayakan itu mengalami pengaburan. Ada semacam rasa
takut yang diciptakan terhadap rasa ke-Dayakan ketika menjadi Islam, padahal
Dayak itu sendiri merupakan kesatuan identitas yang menaungi keragaman sub
etniknya tanpa harus membedakan agamanya. Namun stereotype-stereotype
yang dibentuk berdasarkan perspektif kolonial ini terlanjur menyebar secara
pervasif ke dalam ingatan-ingatan, sehingga
menabiri realitas lain, yaitu perjumpaan Islam dan Dayak.
Dengan demikian selama ini Dayak Islam diisolir dalam
sangkar identitas yang lain, juga dalam peta sejarah, ia berada dipinggiran
narasi besar dan hampir tanpa sejarah. Paling tidak Dayak Islam dalam posisi
ini telah menjelma menjadi sebuah sejarah sub-altern.
Memunculkan Dayak Islam dalam konteks sejarah sub-altern,
tidak lain sebagai sebuah counter narasi yang mencoba melepaskan
pandangan-pandangan atau streotype hegemonik. Dengan ungkapan lain Dayak
Islam sebenarnya memiliki varian lain dengan kekhasan lokalitasnya, yaitu Islam
Bakumpai. Ini membuktikan bahwa Dayak Islam tidak selalu Melayu. Karena kuatnya
asumsi terhadap ke-Melayuan itulah, maka Islam Bakumpai tidak pernah dikaji
sebagai yang khas Dayak.
Terhadap persoalan di atas, mungkin definisi tentang
Dayak perlu ditata ulang dengan membuang kandungan muatan streotype yang
menjajah ingatan selama beberapa generasi. Dayak harus didefinisikan secara
utuh, di mana apa yang seharusnya tercakup di dalamnya terakomodir, serta tidak
bertentangan dengan realitas lokalnya. Dengan demikian identitas yang terbelah
oleh tajamnya pisau kolonial harus ditautkan kembali.
Penutup
Air terus
mengalir di antara celah-celah anak sungai, berapapun banyaknya anak sungai itu
ia memiliki muara yang satu, begitu pulalah dengan keragaman etnik atau sub
etnik Dayak.
Selama ini tampaknya ada aliran anak sungai yang
tersumbat salurannya oleh banyak macam ragam sampah identitas yang turut
mengalir di dalamnya, sehingga air kehidupan tidak terlalu lancar mengalir ke
anak sungai lainnya, oleh sebab itulah segala macam ragam sampah identitas tadi
bisa merusak harmonitas antar sub etnik.
Membiarkannya hidup mengalir apa adanya mungkin lebih
baik, tanpa harus mencemarinya, karena di sanalah keindahan warna-warni
keragaman menghiasinya.
Bagaimana pun, pada dasarnya Dayak Muslim tidak bisa
dipisahkan dari sub etnik lainnya, karena urat nadinya mengalirkan darah yang
sama, sehingga secara emosional tidak pernah terputus dari pikiran dan ingatan.
Mungkin dalam konteks ini semangat Bahampahari perlu disegarkan kembali.
Dipresentasikan
dalam annual conference Kajian Islam
di Lembang, Bandung, tanggal 26-30 Nopember 2006. Staff Pengajar jurusan Teologi dan
Filsafat, Fakultas Ushuluddin, IAIN
Antasari Banjarmasin.
Dipresentasikan dalam annual conference Kajian Islam di
Lembang, Bandung, tanggal 26-30 Nopember 2006. OLeh Ahmad SyadzaliStaff Pengajar jurusan Teologi dan
Filsafat, Fakultas Ushuluddin, IAIN
Antasari Banjarmasin.
Footnote :
1 Z.A. Maulani, “Pedalaman
Kalimantan: Kearifan Budaya dan Etnik” dalam Demokrasi dan
Pembangunan Daerah, CRDS, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000 h.140-141.
2 Bran. S, Lebu Bakumpai,
tth, tanpa halaman. Versi lain menyebutkan bahwa Datu’ Bahandang Balau
bukan berasal dari Spanyol, tetapi menurut pendapat lain berkebangsaan
Portugis.
3 Dalam Catatan Silsilah.
4 Dalam Lebu Bakumpai, dan
beberapa informasi lainnya.
5 Helius Sjamsuddin, Pagustian
dan Temenggung Akar sosial, Politik, Etnis dan Dinasti. Perlawanan di
Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah 1859-1906. Balai Pustaka, Jakarta,
2001. h. 45-46.
6 Ibid. h. 49.
7 Anthony Reid, Charting the
shape of early modern south east Asia, terj. Sori Siregar (et al.) (Sejarah
Modern Awal di Asia Tenggara), LP3ES, Jakarta, 2004. h.20-22.
8 Informasi diperoleh dari HMS.
9 Dari informasi lisan, juga
sebagaimana terdapat dalam Helius Sjamsuddin.
10 Bagi mereka, pengetahuan
esoteris (kebatinan) tidak semata-mata diperbincangkan, tetapi dihayati secara
mendalam dalam rangka menuju peniadaan diri, orang-orang yang hidup di zaman
ini menganggap pengetahuan tersebut antik dan langka, mereka biasanya
menyebutnya ilmu Uluh Batuh (ilmu orang terdahulu).
11 Informasi dari MZ. Dalam
bahasa yang umumnya di kenal di dunia Islam disebut dengan al-Lathîf,
yang merupakan salah satu nama Tuhan dari 99 nama.
12 Informasi diperoleh dari HMS.
13 Informasi dari HS.
14 Informasi dari MZ.
15 Informasi dari MZ.
16 Lihat Ahmad Syadzali, “Gerakan
Tashawwuf Lokal al-‘Alimul ‘Allamah Syeikh Datu’ ‘Abdusshmad Bakumpai di
Tanah Dayak” dalam Jurnal Kandil, edisi 4 tahun II, Februari
2004, yang juga merujuk kepada Manaqib.