Senin, 20 Mei 2013

MANYANGGAR LEWU

Upacara Penghormatan Atas Bumi Suku Dayak Ngaju
----------------------------------------------------

Nenek moyang masyarakat Dayak Ngaju percaya bahwa setiap permukaan bumi ciptaan Hatalla, baik hutan dan Pemukiman kampung pastilah punya penunggu. Penghuni kawasan berpohon rimbun itu begitu dihormati sehingga masyarakat zaman dulu amat segan mengganggu hutan. Karena itulah, mereka nyaris tak pernah menebang secara membabi-buta.

Ekspresi untuk menghargai hutan dan Kampung, lewu / lebu itu dilakukan dengan manyanggar, sebuah upacara yang digelar sebelum menebang pohon-pohon di hutan. Ritual dilakukan dengan memotong babi atau sapi untuk dimakan bersama-sama. Dalam manyanggar, dilakukan balian atau menabuh ketampung, yakni semacam gendang khas Dayak .

Manyanggar misalnya dilakukan warga yang hendak berladang. Kalau sistem zaman dulu dilakukan dengan ladang berpindah dan butuh lahan cukup luas, katanya.Manyanggar dilakukan untuk meminta restu kepada penunggu lahan. Dalam upacara itu, disampaikan kisah-kisah mengenai alam dan penunggunya yang harus dihormati. Mereka yang akan menebang pohon menyampaikan maksudnya kepada penunggu dan memberi tahu bahwa syarat berupa hewan kurban sudah dipenuhi.

Menebang pohon di hutan merupakan kebiasaan masyarakat Dayak sejak dulu dan sampai sekarang masih dilakukan. Kayu yang diambil antara lain berasal dari pohon karet, angkang, dan katiau. Akan tetapi, saat ini manyanggar sudah kian jarang digelar. Padahal, laju deforestasi di Kalimantan, bumi orang dayak kian sulit untuk dibendung. Laju deforestasi Kalimantan setiap tahun mencapai lebih dari 300.000 hektar. Perilaku itu sungguh berbeda dengan budaya leluhur masyarakat Dayak yang memanfaatkan alam secara bijak.

Hidup masyarakat Dayak amat bergantung dari hutan yang menghasilkan berbagai macam pangan. Dalam proses pengolahan pangan itu tentu dibutuhkan kayu bakar. Akan tetapi, masyarakat Dayak zaman dulu tak mengambil kayu secara berlebihan.


Prosesi upacara Manyanggar dilakukan dengan meletakkan Tujuh gelas itu berisi tetesan darah hewan yang telah dikurbankan. Di antaranya darah kerbau, kambing, ayam hitam, dan ayam putih.Ketujuh wadah tadi tersusun di lantai rumah-rumahan panggung berbahan kayu yang dindingnya dibalut kain kuning. Pasah Keramat, demikian warga Dayak Ngaju menyebutnya.

Selain darah hewan kurban, di Pasah Keramat itu juga ditempatkan aneka sesajen. Tiga cangkir berisi air putih dan jelantah diletakkan melingkar bersama empat mangkok berisi beras dan gulungan uang serta rokok yang ditancapkan.
Di bagian tengah, terdapat ‘sajian utama’ bagi para makhluk gaib. Sebuah nampan berisi ketupat, ketan, kue apam, dan serabi diletakkan di sana. Diiringi petikan kecapi dan tabuhan katambung serta garantung, sejumlah laki-laki dan perempuan mengitari Pasah Keramat itu dengan menari Manasai. Tawa dan senda gurau tampak dari wajah-wajah mereka.

Hanya beberapa menit berselang, sesi menari Manasai usai. Kegiatan berlanjut dengan ritual ngarunya yang digelar di panggung utama.

Istilah ritual ini berasal dari kata karunya yang berarti ‘menimang’ sekaligus mendoakan seseorang agar diberikan anugerah kesehatan, kesejahteraan, dan penghidupan yang lebih baik oleh Ranying Hatalla Langit Tuhan dalam kepercayaan umat Kaharingan. Dua orang secara bergantian menjadi objek yang di-karunya. Ritual ini dilakukan oleh lima orang basir balian. Mereka mendendangkan syair-syair sangiang dengan menabuh alat musik berupa Katambung di depan orang yang di-karunya.

Dalam Bahasa Dayak Ngaju, Uapacara ini dinamakan menyanggar lewu, didaerah Kapuas, kahayan dan Katingan,sedangkan di daerah Barito dan seruyan di sebut Manyyanggar lebu atau Manyanggar Banua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar