Kamis, 30 Mei 2013

PALANGKA BULAU LAMBAYUNG NYAHU



Menurut Basir Upo atau Basir Handepang Telon yang bernama Thian Agan 1), Palangka Bulau Lambayung Nyahu adalah tempat atau wadah persegi empat yang terbuat dari kayu, dengan cirri utamanya adalah ada hiasan kepala dan ekor burung Tingang. Pada zaman dahulu Palangka adalah wahana transportasi antara Pantai Danum Sangiang (Alam Atas) dengan Pantai Danum Kalunen (Dunia Manusia).
Dalam Panaturan, yaitu ceritera suci orang Dayak Ngaju, 2) dituturkan bahwa leluhur manusia yang berdiam di dunia ini adalah Maharaja Bunu. Pada mulanya Ia tinggal di Pantai Danum Sangiang yaitu Alam Atas bersama dua orang saudara kembarnya yaitu Maharaja Sangiang dan Maharaja Sangen. Mereka bertiga anak dari Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut Kameloh Janjulen Karangan manusia laki-laki dan manusia pertama yang diciptakan oleh Ranying Mahatala Langit.
Karena memiliki Sanaman Leteng senjata yang mematikan maka Maharaja Bunu diturunkan ke Pantai Danum Kalunen (dunia ini) dengan Palangka Bulau Lambayung Nyahu di puncak bukit Samatuan (bukan Pamatuan). Bukit itu menurut Panaturan terdapat di antara Kahayan Rotot dan Kahayan Katining.
Juga dituturkan bahwa ada beberapa kali Palangka dipakai sebagai wahana transportasi antara Alam Atas dan Dunia Manusia. Pertama dipakai untuk menurunkan Maharaja Bunu yaitu leluhur umat manusia di dunia. Kedua, dipakai ketika menurunkan Parei Manyangen Tingang yaitu bulir-bulir padi untuk umat manusia. Ketiga, dipakai ketika menurunkan Bawin Ayah yaitu para pengajar ritual Kaharingan ketika manusia telah lupa tata-cara mengadakan ritual.
Dalam beberapa ritual Palangka, dipakai untuk meletakkan sesajen dan persembahan. Palangka bukanlah ancak, terlalu banyak orang salah kaprah menyamakan palangka dengan ancak. Ancak adalah tempat meletakkan sesajen yang terbuat dari anyaman bamboo, atau daun kelapa. Sedangkan Palangka terbuat dari kayu/papan sehingga dapat diberi ornament burung Enggang. Dapat dikatakan, palangka mezbah Dayak untuk meletakkan persembahan suci bagi Para Leluhur dan Maha Pencipta.
Catatan Kedua
The Land of Tambun-Bungai
“Selamat Datang di Kalimantan Tengah Bumi Tambun-Bungai. Welcome to Central Kalimantan, The Land of Tambun-Bungai”. Demikianlah bunyi salah satu ungkapan yang sering terdengar dalam kata sambutan atau pudato para pejabat penting di kota Palangka Raya. Tentu saja ungkapan ini tidak hadir dengan sendirinya, tetapi lahir dari proses berpikir masyarakat Kalimantan Tengah tentang tanah, wilayah, daerah atau bumi tempat mereka tinggal. Di kalangan masyarakat Ot Danum dikenal tokoh pahlawan sukè yang bernama Tambun dan Bungai. Secara serampangan seringkali “Bumi Tambun-Bungai” dihubungi dengan nama dua pahlawan suku tersebut. Apakah memang demikian atau ada penjelasan lain?
Hal pertama yang harus diklarifikasi adalah Tambun dan Bungai tidak mesti nama orang atau manusia. Hans Schärer 3) dalam buku klasnya Die Gottesidee der Ngaju Dajak in Süd Borneo memaparkan bahwa Tambun dan Bungai adalah symbol dari Allah Dualitas orang Dayak Ngaju. Orang Dajak Ngaju mengakui dan mempercayai adanya Allah Tertinggi yang mempunyai aspek maskulin dan aspek feminine. Aspek maskulin memakai simbol Burung Enggang (Bungai) dan aspek feminin dengan simbol Ular Naga (Tambun).
Dalam proses penciptaan alam semesta, dua aspek ini tampil bersama, demikian juga dalam beberapa ritual tertentu, sehingga dikenal istilah Tambun haruei Bungai yang artinya Ular Naga yang manunggal dengan Burung Enggang atau Ular Naga yang adalah juga Burung Enggang. Sebutan tersebut menyatakan bahwa dua asepk itu (feminin-maskulin) adalah tunggal, esa, dan satu-kesatuan.
Konsepsi Tambun Bungai atau Tambun haruei Bungai, oleh orang Dayak Ngaju, divisualisasi dalam bentuk lukusan perahu dengan bentuk gabungan Ular Naga dan Burung Enggang, atau peti mati, atau ukiran pada Sangaran. Kerapkali juga orang tua Dayak memberi nama anaknya Tambun atau Bungai. Tokoh pahlawan Ot Danum Bungai-Tambun harus dilihat dalam konsep ini, mereka adalah dualitas karena itu dituturkan bahwa Tambun piawai bertempur di air, sedangkan Bungai di daratan.
Konsepsi Allah Dualitas itu menurut Schärer telah menjadi titik sentral dan sangat menguasai kehidupan orang Dayak Ngaju. Konsepsi ini menjadi template berfikir orang Dayak Ngaju. Misalnya deinisi manusia yang saleh atau manusia yang Belom Bahadat bagi mereka adalah manusia yang membiarkan dirinya dituntun, dibimbing dan berada di bawah lingkup hidup kekuasaan Allah Dualitas ini. Begitu juga ketika mereka mendefinisikan bumi atau dunia tempat mereka tinggal sekarang, dengan nada puitis yang indah mereka mengatakan ini adalah Lewu Injal Tingang, tempat sementara yang dipinjamkan oleh Ranying Magatalla Langit (Tingang atau Bungai, aspek maskulin). Kemudian dituturkan bahwa Lewu Injam Tingang itu berada du atas punggung Naga Air (Aspek feminin).
Karena itulah hingga kini orang-orang Dayak yang saleh (bahadat) melihat Bumi sebagai Ibu dan Langit sebagai Bapak. Ketika mereka menapak kakinya di tanah sesungguhnya ia berada di atas punggung Sang Ibu yaitu Tambun dan berada di bawah lindungan Sang Bapak yaitu Bungai. Ia tidak sendiri dab tidak pernah sendiri, tetapi senantiasa bersama Tambun dan Bungai, Ibu dan Bapaknya, Allah Tertingginya yaitu Ranying Mahatalla Langit, Jatha Balawang Bulau. Karena itu juga mereka menyebut tempat kediaman mereka sebagai Bumi Tambun Bungai.
(Bersambung….)
Catatan:
Marko Mahin adalah penggiat studi dan penelitian tentang agama, budaya, bahasa dan sejarah di Kalimantan Tengah. Pekerjaan sebagai dosen biasa di STT-GKE Banjarmaasin mengampu mata kuliah Agama Kaharingan, dan Kebudayaan Dayak. Lulus S1 dari Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, menyelesaikan Program Master di Universitas Leiden – Belanda, sekarang ini sedang menulis Disertasi Doktoral di Program Pasca-Sarjana Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.
1). Wawancara pribadi, Palangka Raya, 21 Maret 2009.
2). Kini Panaturan telah menjadi Kitab Suci umat Kaharingan. Lihat Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan (MB-AHK) 2003. Panaturan, Palangka Raya :MB-AHL.
3). Hans Schärer adalah seorabg missionaris berkebangsaan Swiss yang telah bekerja di Kalimantan Tengah selama 7 tahun menjelang Perang Dunia Kedua (1932-1939).Dalam kurun waktu 1939-1944, ia studi doktoral bidang Etnologi di Universitas Leiden – Belanda. Di bawah bimbingan J.P.B. de Josselin de Jongn ia menulis disertasi yang berjudul Die Gottesidee der Ngaju Dajak in Süd Borneo. Disertasi yang ditulis dalam bahasa Jerman itu kemudian diterbitkan oleh E.J.Brill-Leiden pada tahun 1946, kemudian versi Bahasa Inggris diterbitkan oleh Martinus Nijhoff pada tahun 1963 dengan judum Ngaju Religion : The Conception of God among A South Borneo eople. Terjemahan bahasa Indonesia akan diterbitkan bulan Oktober 2009 oleh Lembaga Studi Dayak -21

1 komentar: