Rabu, 12 Juni 2013

Mandung, Upacara Adat Dayak Siang Murung

Dua orang perempuan setengah baya itu terus menari dengan gerakan yang ritmis sambil diiringi tabuhan ketambung (gendang berukuran kecil). Dengan intens mereka mengelilingi pandung (pusat sesaji).Dari mulut kedua perempuan itu terucap seruan kepada Sangiang, roh-roh leluhur. Kedua perempuan itu adalah basir istilah Dayak Ot Danum dan Dayak Siang Murung untuk pimpinan agama Dayak Kaharingan. Sesama mereka, orang Dayak Ngaju yang bermukim di sepanjang Sungai Kahayan menyebutnya basir. Jauh-jauh dari Saripoi, Kecamatan Tanah Siang, Kabupaten Murung Raya, para pemimpin religius itu diundang secara khusus oleh Kepala Desa Tumbang Topus, Kecamatan Sumber Barito, Kabupaten Murung Raya, Kalimantan tengah, sebuah desa terakhir di hulu Sungai Barito, tepatnya di tepi Sungai Murung di kaki Pegunungan Muller-Schwanner. 

Mereka berdua didaulat untuk memimpin upacara Mandung, ritual kematian khas Dayak Siang Murung dan Dayak Punan. Bernard Sellato menggolongkan orang Dayak Siang Murung ke dalam kelompok Barito (Sellato, 1994:11-12). Tiba-tiba, perhatian khalayak tertuju pada tingkah salah seorang basie. Gerakan tubuhnya menjadi tidak terkontrol. Liukan tubuhnya terlihat ringan dan luwes bak seorang penari balet. Tidak pelak lagi, sang basie tengah trance atau kesurupan. Rekannya sigap bertindak meski tetap terlihat tenang. Sambil tetap mengelilingi pandung, ia mengambil minuman anding (sejenis tuak dari sari peraman beras ketan merah). Dengan minuman tradisional itu ia menyadarkan rekannya dari pengaruh kesurupan. Dalam tempo yang singkat, sang basie mulai sadar. Seperti baru usai bekerja berat, tubuhnya terlihat lunglai bersimbah kucuran keringat. 

Ritual Mandung merupakan salah satu rangkaian ritual kematian sebelum pelaksanaan upacara Tiwah. Sekedar mengingatkan, Tiwah adalah upacara puncak kematian menurut agama Kaharingan. Dengan upacara Tiwah, sempurnalah tugas keluarga untuk mengantarkan arwah menuju Lewu Tatau Je dia Rumpang Tulang, Rundung Raja Isen Kamalesu Uhate (Sorga Loka). Upacara Mandung pada dasarnya bertujuan untuk mengantar arwah ke surga. Juga dimaksudkan sebagai acara perpisahan antara arwah dengan keluarga yang ditinggalkan. MeskiMandung bukan tahap terakhir dari prosesi kematian, arwah yang meninggal diyakini telah mendapat jalan yang lapang untuk menuju tempat yang mahamulia yang telah disediakan oleh Ranying Mahatara Langit (Tuhan). 

 Upacara Tiwah diyakini untuk lebih menyempurnakan jalan lempang tersebut. Upacara Mandung berpusat pada pandung. Di sekitar pandung disediakan berbagai sesaji, berupa hewan korban berupa babi, ayam, dan beragam makanan. Tidak lupa disertakan tembakau dan sirih. Upacara Mandung berlangsung selama lima hari lima malam. Setiap harinya sang basie terus-menerus melantunkan mantra-mantra dalam bahasa Sangiang.Upacara menjadi semakin semarak karena warga desa turut berpartisipasi meramaikan dengan menari mengelilingi Pandung. Puncak ritual ditandai dengan penyembelihan hewan persembahan berupa babi. Darah babi korban ini digunakan untuk mencuci boneka yang menjadi simbol orang yang akan menjalani Mandung. Darah yang sama juga digunakan oleh anggota keluarga yang ditinggalkan untuk syarat mandi sebagai pelepasan keterikatan dengan arwah. 

Menurut Marko Mahin, antropolog dari Sekolah Tinggi Theologia Gereja Kalimantan Evangelis (STT GKE), Banjarmasin, tujuan akhir dari rangkaian upacara kematian Dayak Kaharingan adalah untuk menyatukan tiga unsur pembentuk manusia. Penganut agama Kaharingan meyakini, bahwa roh manusia akan terbagi tiga ketika ia mati. Unsur pertama adalah Salumpuk teras liau atau penyalumpuk liau, yaitu roh utama yang menghidupkan manusia. Pada saat manusia meninggal, roh ini langsung kembali kepada Ranying Mahatala, Langit Sang Pencipta. Unsur kedua adalah Liau balawang panjang ganan bereng, yaitu roh yang dalam upacara Balian Tantulak Ambun Rutas Matei diantar menuju Lewu Balo Indu Rangkang Penyang. Unsur terakhir, adalah Liau karahang tulang, silu, tuntang balau, yaitu roh yang mendiami tulang, kuku, dan rambut. Roh ini tinggal di dalam peti mati. 

Ketiga unsur ini dipersatukan kembali dan diantarkan menuju Lewu Tatau dalam upacara paripurna Tiwah. Karena ajaran agama Kaharingan tidak mengenal teologi hari kiamat dan konsepsi hari pengadilan terakhir,setelah dilakukan upacara Balian Tantulak Matei dan Tiwah, roh langsung masuk Sorga Loka. Sementara, kehadiran roh-roh leluhur atau Sangiang – yaitu Sangiang Duhung Mama Tandang-Langkah Sawang Mama Bangai dan Rawing Tempon Telu– yang dipanggil dalam upacara kematian dimaksudkan untuk melepaskan pali (tabu) dari pribadi atau keluarga atau desa yang melaksanakan upacara. Dengan melepaskan pali, maka orang yang mati terbebas dari kesalahan yang dilakukannya selama hayatnya di dunia.

Willibrordus W- peminat masalah agama dan kebudayaan,

1 komentar:

  1. Ya betul,basie yg kami undang dari desa osom tompok,tambi idah atau indu acong saat mandung alm Bp ase atau Raba di desa Tumbang Topus,
    Acara mandung ini sdh jarang karena mayoritas warga sdh memeluk agama nasrani,namun kebudayaan suku punan dan siang tetap terjaga
    Kalau ke desa tumbang topus jangan lupa sambangi kita
    Damianus silam akan memberikan keterangan ttg kehidupan sosial budaya yang terjaga di perkampungan dayak punan murung raya

    Salam

    Thomas Wanly

    BalasHapus