Kamis, 06 Juni 2013

Menyanggar, kosmologi keharmonian Dua Alam Dayak Ngaju

Seorang laki-laki tengah sibuk sendiri. Bertolak pinggang, tiba-tiba tubuhnya bergetar. Sebentar berjalan maju, sesaat lagi dia melangkah mundur. Suara yang keluar dari mulutnya terdengar melengking. Awalnya, dia berbicara dalam bahasa Indonesia, tapi selanjutnya dia mengoceh dalam bahasa Dayak dan Shangiang (bahasa Dayak kuno). Diiringi dengan nyanyian yang diiringi tetabuhan katambung–serupa tifa, dari beberapa orang di sekelilingnya, dia pun asyik menari.

Lelaki itu adalah orang yang menjadi mediator pemanggilan roh halus alias pawang. Dari kata-kata yang meluncur, tubuhnya tengah disinggahi batara guru Samar (Semar), roh halus paling bijaksana yang dikenal masyarakat Dayak. Setelah menyampaikan salam, Samar berpesan kepada orang-orang yang hadir untuk menjaga alam dan saling menghormati.

Kedatangan roh Samar ini hanyalah satu bagian dari acara menyanggar–ritual upacara yang biasa dilakukan masyarakat Dayak Ngaju–penganut Kaharingan, semacam agama kepercayaan orang Dayak, di Mantangai, sekitar 87 kilometer dari ibu kota Kapuas, Kalimantan Tengah.
Sesungguhnya acara puncak belum terjadi. Masih ada satu lagi tamu yang akan datang. Dialah Kambe Hai, roh halus penunggu desa ini, yang sangat dihormati masyarakat Dayak Ngaju. Seperti juga pada roh halus lainnya, masyarakat di sana memberi mereka gelar layaknya seorang bangsawan. Tapi memanggil Kambe Hai tidaklah mudah. Beberapa ritual harus digelar (lihat Ritual Panjang Berjumpa Kambe Hai).
Pemanggilan Kambe Hai dilakukan oleh seorang upu, yang memimpin lima basil atau pemanggil roh. 

Diiringi katambung, mereka mengalunkan nyanyian tentang sejarah keharmonian alam, roh halus, dan manusia. Setelah melalui proses yang panjang, kurang-lebih dua jam, barulah roh halus yang dinanti itu datang ke tubuh si pawang. Setelah Samar datang, Kambe Hai pun masuk ke tubuh sang pawang yang tengah duduk di atas meja kecil. Tubuh si pawang itu mengejang, lalu dia meracau dan berbicara dalam nada yang melengking.
 
 Seperti kata asalnya, sangga–yang berarti batas antara dua dunia–ritual ini merupakan penetapan batas antara kehidupan manusia dan dunia roh halus. Umumnya, semua suku Dayak mengenal upacara menyanggar. Kalaupun ada perbedaan, hanya dalam sebutan dan tata cara ritualnya, tapi filosofinya tetap sama, yakni tentang penghormatan mereka terhadap roh halus.
Masyarakat Dayak percaya manusia bisa hidup berdampingan dengan roh halus. Namun, melalui acara ini, rupanya makhluk-makhluk gaib itu menginginkan suatu batas yang harus dihormati. Mereka ngeri terhadap ulah manusia.
Tata batas ini kemudian akan ditandai dengan dibangunnya sebuah balai bagi roh penunggu yang disebut Balai Masigit (rumah) Kambe Hai. Balai ini dipenuhi sesajen bagi sang roh halus, sejumlah umbul-umbul, dan bendera kuning. Tempat yang sangat keramat. Alhasil, mereka yang melihat tanda ini diharuskan berhati-hati dan tidak sembarangan berperilaku ketika memasuki tata batas tersebut.
Menyanggar di Bagantung dilakukan karena sejumlah penduduk desa Mantangai mengaku telah didatangi sang penunggu Danau Bagantung, yang menyebut dirinya sebagai Kambe Hai, baik dalam mimpi maupun secara langsung. Sosoknya digambarkan berwajah setengah putih setengah gelap. Bertubuh tinggi besar dan menyeramkan.
Sang Penunggu datang untuk menyampaikan pesan penting. Dia resah karena melihat manusia berambut merah dan berhidung panjang melewati wilayahnya. Karena itu, dia ingin semua orang tahu akan tata batas antara dunianya dan manusia di sekelilingnya.
Pesan Kambe Hai lewat mimpi ini ternyata dialami juga oleh para pekerja di Pusat Riset Hutan Gambut milik Yayasan Penyelamatan Orangutan Borneo (The Borneo Orangutan Survival Foundation) di Bagantung. Mereka tahu yang dibicarakan Kambe Hai adalah para peneliti asing yang sering melakukan riset tentang hutan gambut dan orang utan liar yang ada di kawasan hutan gambut Mawas, Kapuas.
Bagi masyarakat adat Dayak Ngaju di sana, bermimpi atau didatangi roh halus yang membawa pesan adalah sesuatu yang harus ditanggapi secara serius. Itu adalah bagian dari kosmologi spiritualitas adat mereka. Apalagi mimpi dan bertemu langsung dengan Kambe Hai, yang tidak dialami satu atau dua orang.
Tak ada jalan lain kecuali mengadukan masalah ini kepada pemimpin adat setempat. Untuk menghormati keinginan Kambe Hai, para petinggi adat kemudian menyarankan agar segera dilakukan ritual adat menyanggar.
***
Inti ritual ini sebenarnya adalah upaya menciptakan keseimbangan manusia dan alam sekitarnya. Melalui cara seperti itu, lingkungan hidup pun akan mencapai keharmonisan. Di kawasan Bagantung, masyarakat memiliki aturan yang harus ditaati. Bagi yang melihat tanda batas yang berupa umbul-umbul kuning, diharuskan berhati-hati dan tidak sembarangan berperilaku ketika memasuki tata batas tersebut.
Jadi, merupakan sebuah pemandangan yang biasa jika di sepanjang Sungai Kapuas, bahkan hingga pelosok pedalaman, orang menemukan berbagai tanda umbul-umbul dan bendera kuning atau putih. 
 

Menurut kepercayaan mereka, warna kuning merupakan warna kesukaan roh halus di sana.
Menurut Mulin Parini, salah seorang tokoh adat di sana, jika sudah memasuki wilayah itu, siapa pun tidak boleh menebang pohon sembarangan atau mengambil ikan yang ada di sana. “Karena itu semua adalah rumah bagi roh-roh halus. Jika kamu punya rumah dan barang-barangnya diambil oleh tamu tanpa permisi, jelas kamu akan marah. Begitu juga para penunggu di sana,” dia menandaskan.
Mulin juga menjelaskan, orang Dayak Ngaju sangat percaya pohon-pohon besar, hutan, sungai (air), bahkan udara, memiliki roh-roh yang menjadi penunggunya. Saat ini, menurut Guta, 76 tahun, si pemanggil roh, sejumlah penunggu di area Mawas (Sungai Kapuas) mengeluh rumahnya telah diganggu, rusak, bahkan musnah. “Bahkan mereka harus menyingkir dari kehidupan berdampingan dengan manusia,” katanya sebelum upacara menyanggar dilakukan.
Ritual menyanggar pun dilakukan. Ini adalah cara mengingatkan kembali masyarakat Dayak agar menghormati roh-roh yang merupakan bagian dari kehidupan keseharian mereka. Beginilah cara Dayak Ngaju menjaga dari keseimbangan alam, yang merupakan bagian dari kehidupan mereka.

(KORAN TEMPO, Minggu, 10 Desember 2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar