Masyarakat Dayak memiliki keyakinan tentang wujud tertinggi dimana
segala kekuatan yang ada di jagad raya berasal dari Yang Tunggal. Wujud
tertinggi itu menguasai manusia, dewa, roh halus, dan roh leluhur. Dewa
dan roh halus diberi tugas untuk menjaga dan menguasai suatu tempat
tertentu dalam dunia ini, sehingga untuk mewujudkan keyakinan tersebut,
orang Dayak senantiasa melakukan hubungan religius dengan Jubata, roh
leluhur, dan roh halus yang banyak memberikan pertolongan dalam
kehidupan mereka.
Sistem kepercayaan atau agama asli bagi masyarakat Dayak Kanayatn tidak
dapat dipisahkan dengan nilai-nilai kehidupan mereka. Kepribadian,
tingkah laku, sikap, perbuatan dan kegiatan sosial sehari-hari
dibimbing, didukung, dan dihubungkan tidak saja dengan sistem
kepercayaan dan ajaran agama, tetapi juga dengan nilai budaya dan
etnisitas. Kompleksitas kepercayaan tersebut berhubungan erat dengan
tradisi dalam masyarakat yang mengandung dua hal prinsip, yaitu (1)
unsur kepercayaan nenek moyang yang menekankan pada pemujaan, dan (2)
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Esa dengan kekuasaan tertingginya
sebagai kausa prima dari kehidupan manusia.1. Sistem kepercayaan seperti
ini mengandung emosi religius yang merupakan unsur kesatuan dan
memerlukan penegasan yang direalisasikan dalam bentuk upacara tersebut.
Kebanyakan orang Dayak tidak mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa (zaman
dulu-penulis), namun sikap keyakinannya tidak dapat dikategorikan dalam
animisme, sebab agama justru berkembang dari asumsi dasar bahwa di dalam
alam terdapat daya hidup atau kekuatan hidup dalam benda-benda tertentu
atau gejala-gejala alam, seperti sungai yang mengalir deras dan
bergemuruh, gunung yang tinggi, pohon besar, matahari yang bersinar
terang, kilat dan petir yang menyambar dahsyat. Daya hidup atau kekuatan
penghidup itulah yang dinamakan roh. Roh itu kemudian dihubungkan
dengan benda-benda dan kemudian dipuja. Alam dipandang sebagai suatu
kekuatan yang mengerikan, sekaligus mempesonakan. Keindahannya bukan
pertama yang diperhatikan, melainkan kedahsyatan dan kekuasaan tertinggi
yang terkandung dalam fenomena alam tersebut.
Bahasa untuk komunikasi yang dipakai pertama-tama adalah lambang-lambang
suara dan bunyi-bunyian, seperti musik dan mantra. Maksud
lambang-lambang itu sama dengan lambang bahasa, yaitu untuk mengenal,
mengidentifikasi, menjinakkan dan menguasai dunia luar yang dahsyat
tadi.2. Melalui bahasa simbol itu masyarakat menginterpretasikan
hubungan dan eksistensi dunia gaib yang dipercaya ada untuk dapat
dipahami dan diungkapkan maknanya dalam kehidupan di alam nyata.
Selain benda dan gejala alam ada pula benda yang tidak dianggap oleh
orang Dayak sebagai daya penghidup, melainkan hanya sebagai sarana
penampakan roh, kekuatan gaib, atau sebagai tempat keramat. Manusia
menjadi sadar terhadap keberadaan yang sakral, karena yang sakral
memanifestasikan dirinya, menunjukkan dirinya sebagai sesuatu yang
berbeda secara menyeluruh dari yang profan. Hal ini dinamakan
hierophany, yakni sesuatu yang sakral menunjukkan dirinya kepada
manusia. Dari sini dapatlah dikatakan bahwa sejarah agama-agama dari
primitif hingga yang paling tinggi dibentuk oleh sebagian besar
hierophany, yaitu oleh manifestasi-manifestasi realitas-realitas yang
sakral tadi. Misalnya yang sakral dapat mewujud dalam pantak. Pantak itu
tidak disembah, tetapi pantak menunjukkan dirinya sebagai suatu yang
sakral dan realitas ini dirubah menjadi realitas supranatural. Bagi
mereka yang mempunyai pengalaman religius, setiap benda mempunyai
kemampuan untuk menjadi perwujudan kesakralan kosmik. Bahkan kosmos ini
dalam keseluruhannya dapat menjadi hierophany.3. Mereka tidak menyembah
pantak tetapi melihat hierophany atau realitas-realitas sakral dalam
pantak tersebut.
Setiap benda atau beberapa benda tertentu dianggap mempunyai suatu
kesakralan yang dapat berpengaruh dalam kehidupan manusia. Kekuatan
sakral tersebut dapat pula digunakan untuk membantu beberapa kegiatan
atau pekerjaan manusia, seperti digunakan pamaliatn (dukun) untuk
memanggil roh halus yang kemudian digunakan untuk membantunya dalam
ritual pengobatan. Kekuatan-kekuatan seperti ini merupakan sebagian dari
hierophany yang dimaksud.
Masyarakat Dayak menyebut Tuhan Yang Maha Kuasa dengan sebutan Ene’
Daniang (sebagian masyarakat Dayak di Kalbar-penulis) atau Jubata, yakni
penguasa jagad raya beserta isinya. Jubata berada di langit ketujuh. Ia
mempunyai enam bawahan, yaitu; Ne’ Pangedaong, Ne’ Patampa’ yang
dipercaya membuat patung-patung dari tanah liat bentuk menyerupai
manusia. Ne’ Amikng dan Ne’ Pamijar yang memberi napas kepada manusia.
Ne’ Taratatn memberi kesegaran jasmani maupun rohani. Ne’ Pangingu
memberikan berkat perlindungan, sedangkan Ne’ Pajaji dipercaya yang
menjadikan manusia berbudi dan memelihara hidupnya sampai pada semua
keturunannya.4. Menurut kisah penciptaan nama-nama bawahan itu adalah
nama lain dari Jubata, maksudnya satu pribadi pencipta dengan beberapa
nama atau satu nama dengan berbagai sifat-sifat kekuasaanNya. Hal ini
sama hal nya dengan nama Allah dalam agama Islam yang mempunyai 99 nama
sesuai dengan kekuasaan dan kesempurnaannya.
Masyarakat Dayak meyakini dunia ini terbagi menjadi tiga bagian. Pertama
adalah Dunia Atas, yaitu dunia yang ditempati oleh Jubata, dukun, dan
nenek moyang yang meninggal sebagai pahlawan. Kedua adalah Dunia Tengah
atau dunia fana yang ditempati manusia. Ketiga adalah Dunia Bawah yang
dihuni oleh roh orang mati. Dunia Bawah ini merupakan sebuah dunia yang
tidak dikenal, terisolasi, dan gelap. Setelah meninggal, setiap manusia
kecuali dukun dan nenek moyang yang meninggal sebagai pahlawan akan
menuju dan tinggal disitu selama-lamanya. Begitu juga dengan sumangat
(jiwa) orang yang meninggal, ia tidak akan pernah kembali kekehidupan
manusia dan tidak pernah pergi kemana-mana. Namun hal tersebut
tergantung apakah waktu meninggal orang yang bersangkutan sudah melewati
upacara adat kematian atau belum.
Masyarakat Dayak Kanayatn mempercayai adanya setan atau iblis yang
disebut Pantokng Bangok Pilas Galikng. Mereka mempercayai jiwa orang
jahat akan bangkit dari kuburnya dan menghantui orang yang masih hidup.
Hantu semacam ini biasanya dapat menjelma dalam rupa binatang dan
manusia, maka untuk menghindari gangguan roh jahat tersebut biasanya
mereka memberinya dengan berbagai macam makanan atau sesaji, seperti
lamang (ketan), tumpi’ (cucur), minuman, daging babi dan ayam, telur,
nasi dan lain sebagainya.
Sebagian besar masyarakat Dayak Kanayatn saat ini memeluk agama Katolik
dan Protestan. Sejak tahun 1835 agama Kristen Protestan masuk ke
Kalimantan, yaitu di Tangguhan dekat Mandumai, Kalimantan Tengah. Agama
ini disebarkan oleh seorang misionaris berkebangsaan Jerman bernama
Barnstein ke masyarakat Dayak.5. Selanjutnya agama tersebut berkembang
sampai ke Kalimantan Barat dan dianut sebagian masyarakat Dayak yang
bermukim di muara sungai Kapuas dan daerah pedalaman.
Penyebaran agama Kristen Katolik di Kalimantan Barat dimulai tahun 1894
oleh seorang misisonaris utusan dari Vatikan, Roma, tepatnya di daerah
Sejiram. Penyebaran ini diperluas ke tempat-tempat yang banyak dihuni
orang Dayak. Bukti penyebaran agama tersebut dapat dilihat dengan
berdirinya Sekolah Seminari St Paulus, Yayasan Misi Nyarumkop. Sekolah
ini banyak melahirkan barawan-biarawati dan guru-guru agama untuk
melanjutkan misi penyebaran agama Katolik pada masyarakat Dayak
Kanayatn.
Agama Islam masuk ke Kalimantan Barat sekitar tahun 1521 yang disebarkan
oleh Kerajaan Johor. Masuknya agama ini melalui Kerajaan Sambas, tetapi
Kerajaan tersebut tidak menyebarkan agama Islam pada suku Dayak,
sehingga banyak suku Dayak memeluk agama Kristen dan hanya orang Melayu
yang menganut Islam.
Masuknya Islam dalam masyarakat Dayak karena dipengaruhi suku Melayu.
Bagi orang Dayak “masuk Melayu” sinonim dengan “masuk Islam”.6. Oleh
karena itu orang Dayak yang sudah menjadi Muslim tidak menamakan diri
mereka dengan sebutan Dayak lagi, tetapi dengan sebutan Melayu yang
biasanya di sebut orang Halo’ atau Senganan. Selain ketiga agama di
atas, di Kalimantan Barat juga terdapat agama Budha yang dianut oleh
orang Cina. Masuknya agama ini dimulai pertengahan abad ke 18 tahun
1750. Waktu itu Sultan Mempawah menerima suku bangsa Tiog Hoa (sebutan
untuk Cina) dari Brunai untuk menggali emas dan menyebarkan agama Budha.
Sampai sekarang agama Budha masih dianut oleh orang-orang Cina yang
berada di wilayah tersebut. Begitu juga dengan agama Hindu, meskipun
penganutnya sangat sedikit di kalangan orang Dayak, namun agama tersebut
mempunyai kedekatan dengan sistem kepercayaan nenek moyang orang Dayak,
yaitu Kaharingan atau sering disebut Hindu Kaharingan.
Masyarakat rumpun Dayak Ngaju dan rumpun Dayak Ot Danum menganut agama leluhur yang diberi nama oleh Tjilik Riwut sebagai agama Kaharingan
yang memiliki ciri khas adanya pembakaran tulang dalam ritual
penguburan. Sedangkan agama asli rumpun Dayak Banuaka tidak mengenal
adanya pembakaran tulang jenazah. Bahkan agama leluhur masyarakat Dayak
Meratus di Kalimantan Selatan lebih menekankan ritual dalam kehidupan
terutama upacara/ritual pertanian maupun pesta panen yang sering
dinamakan sebagai agama Balian.
Agama-agama asli suku-suku Dayak sekarang ini kian lama kian
ditinggalkan. Sejak abad pertama Masehi, agama Hindu mulai memasuki
Kalimantan dengan ditemukannya Candi Agung sebuah peninggalan agama Hindu di Amuntai,
Kalimantan Selatan, selanjutnya berdirilah kerajaan-kerajaan
Hindu-Buddha. Semenjak abad ke-4 masyarakat Kalimantan memasuki era sejarah yang ditandai dengan ditemukannya prasasti peninggalan dari Kerajaan Kutai yang beragama Hindu di Kalimantan Timur.[43] Penemuan arca-arca Buddha yang merupakan peninggalan Kerajaan Brunei kuno, Kerajaan Sribangun (di Kota Bangun, Kutai Kartanegara)[44] dan Kerajaan Wijayapura. Hal ini menunjukkan munculnya pengaruh hukum agama Hindu-Buddha dan asimilasi dengan budaya India
yang menandai kemunculan masyarakat multietnis yang pertama kali di
Kalimantan. Dengan menyebarnya agama Islam sejak abad ke-7 mencapai
puncaknya di awal abad ke-16, masyarakat kerajaan-kerajaan Hindu menjadi
pemeluk-pemeluk Islam yang menandai kepunahan agama Hindu dan Buddha di
Kalimantan. Sejak itu mulai muncul hukum adat Melayu/Banjar yang dipengaruhi oleh sebagian hukum agama Islam
(seperti budaya makanan, budaya berpakaian, budaya bersuci), namun
umumnya masyarakat Dayak di pedalaman tetap memegang teguh pada hukum
adat/kepercayaan Kaharingan. Sebagian besar masyarakat Dayak yang
sebelumnya beragama Kaharingan kini memilih Kekristenan,
namun kurang dari 10% yang masih mempertahankan agama Kaharingan. Agama
Kaharingan sendiri telah digabungkan ke dalam kelompok agama Hindu
(baca: Hindu Bali) sehingga mendapat sebutan agama Hindu Kaharingan.
Namun ada pula sebagian kecil masyarakat Dayak kini mengkonversi
agamanya dari agama Kaharingan menjadi agama Buddha (Buddha versi
Tionghoa), yang pada mulanya muncul karena adanya perkawinan antarsuku
dengan etnis Tionghoa yang beragama Buddha, kemudian semakin meluas disebarkan oleh para Biksu di kalangan masyarakat Dayak misalnya terdapat pada masyarakat Dayak yang tinggal di kecamatan Halong di Kalimantan Selatan. Di Kalimantan Barat, agama Kristen diklaim
sebagai agama orang Dayak (sehingga Dayak Muslim Kalbar terpaksa
membentuk Dewan Adat Dayak Muslim tersendiri), tetapi hal ini tidak
berlaku di propinsi lainnya sebab orang Dayak juga banyak yang memeluk
agama-agama selain Kristen misalnya ada orang Dayak yang sebelumnya
beragama Kaharingan kemudian masuk Islam namun tetap menyebut dirinya
sebagai suku Dayak. Agama sejati orang Dayak adalah Kaharingan. Di
wilayah perkampungan-perkampungan Dayak yang masih beragama Kaharingan
berlaku hukum adat Dayak, namun tidak semua daerah di Kalimantan tunduk
kepada hukum adat Dayak, kebanyakan kota-kota di pesisir Kalimantan dan
pusat-pusat kerajaan Islam, masyarakatnya tunduk kepada hukum adat
Melayu/Banjar seperti suku-suku Melayu-Senganan, Kedayan, Banjar,
Bakumpai, Kutai, Paser, Berau, Tidung, dan Bulungan. Bahkan di wilayah
perkampungan-perkampungan Dayak yang telah sangat lama berada dalam
pengaruh agama Kristen yang kuat kemungkinan tidak berlaku hukum adat
Dayak/Kaharingan. Di masa kolonial, orang-orang bumiputera
Kristen dan orang Dayak Kristen di perkotaan disamakan kedudukannya
dengan orang Eropa dan tunduk kepada hukum golongan Eropa. Belakangan
penyebaran agama Nasrani mampu menjangkau daerah-daerah Dayak terletak
sangat jauh di pedalaman sehingga agama Nasrani dianut oleh hampir semua
penduduk pedalaman dan diklaim sebagai agama orang Dayak.
Jika kita melihat sejarah pulau Borneo dari awal. Orang-orang dari Sriwijaya, orang Melayu yang mula-mula migrasi ke Kalimantan. Etnis Tionghoa Hui Muslim Hanafi menetap di Sambas sejak tahun 1407, karena pada masa Dinasti Ming, bandar Sambas menjadi pelabuhan transit pada jalur perjalanan dari Champa ke Maynila, Kiu kieng (Palembang) maupun ke Majapahit.[45] Banyak penjabat Dinasti Ming adalah orang Hui Muslim yang memiliki pengetahuan bahasa-bahasa asing misalnya bahasa Arab.[46]
Laporan pedagang-pedagang Tionghoa pada masa Dinasti Ming yang
mengunjungi Banjarmasin pada awal abad ke-16 mereka sangat khawatir
mengenai aksi pemotongan kepala yang dilakukan orang-orang Biaju di saat
para pedagang sedang tertidur di atas kapal. Agamawan Nasrani dan
penjelajah Eropa yang tidak menetap telah datang di Kalimantan pada abad
ke-14 dan semakin menonjol di awal abad ke-17 dengan kedatangan para
pedagang Eropa. Upaya-upaya penyebaran agama Nasrani selalu mengalami
kegagalan, karena pada dasarnya pada masa itu masyarakat Dayak memegang
teguh kepercayaan leluhur (Kaharingan) dan curiga kepada orang asing,
seringkali orang-orang asing terbunuh. Penduduk pesisir juga sangat
sensitif terhadap orang asing karena takut terhadap serangan bajak laut
dan kerajaan asing dari luar pulau yang hendak menjajah mereka.
Penghancuran keraton Banjar di Kuin tahun 1612 oleh VOC Belanda dan
serangan Mataram atas Sukadana tahun 1622 dan potensi serangan Makassar
sangat mempengaruhi kerajaan-kerajaan di Kalimantan. Sekitar tahun 1787,
Belanda memperoleh sebagian besar Kalimantan dari Kesultanan Banjar dan
Banten. Sekitar tahun 1835 barulah misionaris Kristen mulai
beraktifitas secara leluasa di wilayah-wilayah pemerintahan Hindia
Belanda yang berdekatan dengan negara Kesultanan Banjar. Pada tanggal 26 Juni 1835, Barnstein, penginjil
pertama Kalimantan tiba di Banjarmasin dan mulai menyebarkan agama
Kristen. Pemerintah lokal Hindia Belanda malahan merintangi upaya-upaya
misionaris
Kepustakaan
- Syarif Ibrahim Alqadri, “Mesianisme dalam Masyarakat Dayak di Kalimantan”, dalam Paulus Florus, ed., op.cit., p. 19.
- Dick Hartoko, Manusia dan Budaya (Yogyakarta: Kanisius, 1984), p. 23.
- Mircea Eliade, “The Sacred and The Profane”, terj. Nuwanto, Sakral
dan Profan: Menyingkap Hakikat Agama (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru,
2002), pp. 3-5.
- Maniamas Miden Sood, Dayak Bukit, Tuhan, Manusia, Budaya (Pontianak:
Institute of Dayakology Research and Development, 1999), p. 7.
- Tjilik Riwut, Kalimantan Membangun: Alam dan Kebudayaan (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1993), p. 133.
- Mikhail Coomans, Manusia Dayak; Dulu, Sekarang, Masa Depan (Jakarta: Gramedia, 1987), p. 119.
- Kawi and Pallawa inscriptions, 4th-12th centuries
- Kerajaan Sri Bangun Kerajaan Bercorak Budha
- (Indonesia) Muljana, Slamet (2005). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. PT LKiS Pelangi Aksara. p. 61.
- Kong, Yuanzhi (2000). In Hembing Wijayakusuma. Muslim Tionghoa Cheng Ho: misteri perjalanan muhibah di Nusantara. Yayasan Obor Indonesia. p. 54.
- Ukur, Fridolin (2000). Tuaiannya sungguh banyak: sejarah Gereja Kalimantan Evanggelis sejak tahun 1835. BPK Gunung Mulia. p. 42. ISBN 9789799290588. ISBN 979-9290-58-9