Kamis, 30 Mei 2013

PALANGKA BULAU LAMBAYUNG NYAHU



Menurut Basir Upo atau Basir Handepang Telon yang bernama Thian Agan 1), Palangka Bulau Lambayung Nyahu adalah tempat atau wadah persegi empat yang terbuat dari kayu, dengan cirri utamanya adalah ada hiasan kepala dan ekor burung Tingang. Pada zaman dahulu Palangka adalah wahana transportasi antara Pantai Danum Sangiang (Alam Atas) dengan Pantai Danum Kalunen (Dunia Manusia).
Dalam Panaturan, yaitu ceritera suci orang Dayak Ngaju, 2) dituturkan bahwa leluhur manusia yang berdiam di dunia ini adalah Maharaja Bunu. Pada mulanya Ia tinggal di Pantai Danum Sangiang yaitu Alam Atas bersama dua orang saudara kembarnya yaitu Maharaja Sangiang dan Maharaja Sangen. Mereka bertiga anak dari Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut Kameloh Janjulen Karangan manusia laki-laki dan manusia pertama yang diciptakan oleh Ranying Mahatala Langit.
Karena memiliki Sanaman Leteng senjata yang mematikan maka Maharaja Bunu diturunkan ke Pantai Danum Kalunen (dunia ini) dengan Palangka Bulau Lambayung Nyahu di puncak bukit Samatuan (bukan Pamatuan). Bukit itu menurut Panaturan terdapat di antara Kahayan Rotot dan Kahayan Katining.
Juga dituturkan bahwa ada beberapa kali Palangka dipakai sebagai wahana transportasi antara Alam Atas dan Dunia Manusia. Pertama dipakai untuk menurunkan Maharaja Bunu yaitu leluhur umat manusia di dunia. Kedua, dipakai ketika menurunkan Parei Manyangen Tingang yaitu bulir-bulir padi untuk umat manusia. Ketiga, dipakai ketika menurunkan Bawin Ayah yaitu para pengajar ritual Kaharingan ketika manusia telah lupa tata-cara mengadakan ritual.
Dalam beberapa ritual Palangka, dipakai untuk meletakkan sesajen dan persembahan. Palangka bukanlah ancak, terlalu banyak orang salah kaprah menyamakan palangka dengan ancak. Ancak adalah tempat meletakkan sesajen yang terbuat dari anyaman bamboo, atau daun kelapa. Sedangkan Palangka terbuat dari kayu/papan sehingga dapat diberi ornament burung Enggang. Dapat dikatakan, palangka mezbah Dayak untuk meletakkan persembahan suci bagi Para Leluhur dan Maha Pencipta.
Catatan Kedua
The Land of Tambun-Bungai
“Selamat Datang di Kalimantan Tengah Bumi Tambun-Bungai. Welcome to Central Kalimantan, The Land of Tambun-Bungai”. Demikianlah bunyi salah satu ungkapan yang sering terdengar dalam kata sambutan atau pudato para pejabat penting di kota Palangka Raya. Tentu saja ungkapan ini tidak hadir dengan sendirinya, tetapi lahir dari proses berpikir masyarakat Kalimantan Tengah tentang tanah, wilayah, daerah atau bumi tempat mereka tinggal. Di kalangan masyarakat Ot Danum dikenal tokoh pahlawan sukè yang bernama Tambun dan Bungai. Secara serampangan seringkali “Bumi Tambun-Bungai” dihubungi dengan nama dua pahlawan suku tersebut. Apakah memang demikian atau ada penjelasan lain?
Hal pertama yang harus diklarifikasi adalah Tambun dan Bungai tidak mesti nama orang atau manusia. Hans Schärer 3) dalam buku klasnya Die Gottesidee der Ngaju Dajak in Süd Borneo memaparkan bahwa Tambun dan Bungai adalah symbol dari Allah Dualitas orang Dayak Ngaju. Orang Dajak Ngaju mengakui dan mempercayai adanya Allah Tertinggi yang mempunyai aspek maskulin dan aspek feminine. Aspek maskulin memakai simbol Burung Enggang (Bungai) dan aspek feminin dengan simbol Ular Naga (Tambun).
Dalam proses penciptaan alam semesta, dua aspek ini tampil bersama, demikian juga dalam beberapa ritual tertentu, sehingga dikenal istilah Tambun haruei Bungai yang artinya Ular Naga yang manunggal dengan Burung Enggang atau Ular Naga yang adalah juga Burung Enggang. Sebutan tersebut menyatakan bahwa dua asepk itu (feminin-maskulin) adalah tunggal, esa, dan satu-kesatuan.
Konsepsi Tambun Bungai atau Tambun haruei Bungai, oleh orang Dayak Ngaju, divisualisasi dalam bentuk lukusan perahu dengan bentuk gabungan Ular Naga dan Burung Enggang, atau peti mati, atau ukiran pada Sangaran. Kerapkali juga orang tua Dayak memberi nama anaknya Tambun atau Bungai. Tokoh pahlawan Ot Danum Bungai-Tambun harus dilihat dalam konsep ini, mereka adalah dualitas karena itu dituturkan bahwa Tambun piawai bertempur di air, sedangkan Bungai di daratan.
Konsepsi Allah Dualitas itu menurut Schärer telah menjadi titik sentral dan sangat menguasai kehidupan orang Dayak Ngaju. Konsepsi ini menjadi template berfikir orang Dayak Ngaju. Misalnya deinisi manusia yang saleh atau manusia yang Belom Bahadat bagi mereka adalah manusia yang membiarkan dirinya dituntun, dibimbing dan berada di bawah lingkup hidup kekuasaan Allah Dualitas ini. Begitu juga ketika mereka mendefinisikan bumi atau dunia tempat mereka tinggal sekarang, dengan nada puitis yang indah mereka mengatakan ini adalah Lewu Injal Tingang, tempat sementara yang dipinjamkan oleh Ranying Magatalla Langit (Tingang atau Bungai, aspek maskulin). Kemudian dituturkan bahwa Lewu Injam Tingang itu berada du atas punggung Naga Air (Aspek feminin).
Karena itulah hingga kini orang-orang Dayak yang saleh (bahadat) melihat Bumi sebagai Ibu dan Langit sebagai Bapak. Ketika mereka menapak kakinya di tanah sesungguhnya ia berada di atas punggung Sang Ibu yaitu Tambun dan berada di bawah lindungan Sang Bapak yaitu Bungai. Ia tidak sendiri dab tidak pernah sendiri, tetapi senantiasa bersama Tambun dan Bungai, Ibu dan Bapaknya, Allah Tertingginya yaitu Ranying Mahatalla Langit, Jatha Balawang Bulau. Karena itu juga mereka menyebut tempat kediaman mereka sebagai Bumi Tambun Bungai.
(Bersambung….)
Catatan:
Marko Mahin adalah penggiat studi dan penelitian tentang agama, budaya, bahasa dan sejarah di Kalimantan Tengah. Pekerjaan sebagai dosen biasa di STT-GKE Banjarmaasin mengampu mata kuliah Agama Kaharingan, dan Kebudayaan Dayak. Lulus S1 dari Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, menyelesaikan Program Master di Universitas Leiden – Belanda, sekarang ini sedang menulis Disertasi Doktoral di Program Pasca-Sarjana Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.
1). Wawancara pribadi, Palangka Raya, 21 Maret 2009.
2). Kini Panaturan telah menjadi Kitab Suci umat Kaharingan. Lihat Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan (MB-AHK) 2003. Panaturan, Palangka Raya :MB-AHL.
3). Hans Schärer adalah seorabg missionaris berkebangsaan Swiss yang telah bekerja di Kalimantan Tengah selama 7 tahun menjelang Perang Dunia Kedua (1932-1939).Dalam kurun waktu 1939-1944, ia studi doktoral bidang Etnologi di Universitas Leiden – Belanda. Di bawah bimbingan J.P.B. de Josselin de Jongn ia menulis disertasi yang berjudul Die Gottesidee der Ngaju Dajak in Süd Borneo. Disertasi yang ditulis dalam bahasa Jerman itu kemudian diterbitkan oleh E.J.Brill-Leiden pada tahun 1946, kemudian versi Bahasa Inggris diterbitkan oleh Martinus Nijhoff pada tahun 1963 dengan judum Ngaju Religion : The Conception of God among A South Borneo eople. Terjemahan bahasa Indonesia akan diterbitkan bulan Oktober 2009 oleh Lembaga Studi Dayak -21

Rabu, 29 Mei 2013

TENTANG SUKU DAYAK

Suku dayak terbagi menjadi 6 rumpun yakni rumpun kalimantan alias Kalimantan, rumpun iban, rumpun apokayan yaitu Dayak Kayan, Kenyah dan Bahau, rumpun murut, rumpun ot Danum-ngajun dan rumpun punan. Namun secara ilmiah, para linguis melihat 5 kelompok bahasa yang dituturkan di pulau Kalimantan dan masing-masing memiliki kerabat di luar pulau Kalimantan:

KEPERCAYAAN DALAM MASYARAKAT DAYAK

Masyarakat Dayak memiliki keyakinan tentang wujud tertinggi dimana segala kekuatan yang ada di jagad raya berasal dari Yang Tunggal. Wujud tertinggi itu menguasai manusia, dewa, roh halus, dan roh leluhur. Dewa dan roh halus diberi tugas untuk menjaga dan menguasai suatu tempat tertentu dalam dunia ini, sehingga untuk mewujudkan keyakinan tersebut, orang Dayak senantiasa melakukan hubungan religius dengan Jubata, roh leluhur, dan roh halus yang banyak memberikan pertolongan dalam kehidupan mereka.

Sistem kepercayaan atau agama asli bagi masyarakat Dayak Kanayatn tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai kehidupan mereka. Kepribadian, tingkah laku, sikap, perbuatan dan kegiatan sosial sehari-hari dibimbing, didukung, dan dihubungkan tidak saja dengan sistem kepercayaan dan ajaran agama, tetapi juga dengan nilai budaya dan etnisitas. Kompleksitas kepercayaan tersebut berhubungan erat dengan tradisi dalam masyarakat yang mengandung dua hal prinsip, yaitu (1) unsur kepercayaan nenek moyang yang menekankan pada pemujaan, dan (2) kepercayaan terhadap Tuhan Yang Esa dengan kekuasaan tertingginya sebagai kausa prima dari kehidupan manusia.1. Sistem kepercayaan seperti ini mengandung emosi religius yang merupakan unsur kesatuan dan memerlukan penegasan yang direalisasikan dalam bentuk upacara tersebut.

Kebanyakan orang Dayak tidak mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa (zaman dulu-penulis), namun sikap keyakinannya tidak dapat dikategorikan dalam animisme, sebab agama justru berkembang dari asumsi dasar bahwa di dalam alam terdapat daya hidup atau kekuatan hidup dalam benda-benda tertentu atau gejala-gejala alam, seperti sungai yang mengalir deras dan bergemuruh, gunung yang tinggi, pohon besar, matahari yang bersinar terang, kilat dan petir yang menyambar dahsyat. Daya hidup atau kekuatan penghidup itulah yang dinamakan roh. Roh itu kemudian dihubungkan dengan benda-benda dan kemudian dipuja. Alam dipandang sebagai suatu kekuatan yang mengerikan, sekaligus mempesonakan. Keindahannya bukan pertama yang diperhatikan, melainkan kedahsyatan dan kekuasaan tertinggi yang terkandung dalam fenomena alam tersebut.

Bahasa untuk komunikasi yang dipakai pertama-tama adalah lambang-lambang suara dan bunyi-bunyian, seperti musik dan mantra. Maksud lambang-lambang itu sama dengan lambang bahasa, yaitu untuk mengenal, mengidentifikasi, menjinakkan dan menguasai dunia luar yang dahsyat tadi.2. Melalui bahasa simbol itu masyarakat menginterpretasikan hubungan dan eksistensi dunia gaib yang dipercaya ada untuk dapat dipahami dan diungkapkan maknanya dalam kehidupan di alam nyata.

Selain benda dan gejala alam ada pula benda yang tidak dianggap oleh orang Dayak sebagai daya penghidup, melainkan hanya sebagai sarana penampakan roh, kekuatan gaib, atau sebagai tempat keramat. Manusia menjadi sadar terhadap keberadaan yang sakral, karena yang sakral memanifestasikan dirinya, menunjukkan dirinya sebagai sesuatu yang berbeda secara menyeluruh dari yang profan. Hal ini dinamakan hierophany, yakni sesuatu yang sakral menunjukkan dirinya kepada manusia. Dari sini dapatlah dikatakan bahwa sejarah agama-agama dari primitif hingga yang paling tinggi dibentuk oleh sebagian besar hierophany, yaitu oleh manifestasi-manifestasi realitas-realitas yang sakral tadi. Misalnya yang sakral dapat mewujud dalam pantak. Pantak itu tidak disembah, tetapi pantak menunjukkan dirinya sebagai suatu yang sakral dan realitas ini dirubah menjadi realitas supranatural. Bagi mereka yang mempunyai pengalaman religius, setiap benda mempunyai kemampuan untuk menjadi perwujudan kesakralan kosmik. Bahkan kosmos ini dalam keseluruhannya dapat menjadi hierophany.3. Mereka tidak menyembah pantak tetapi melihat hierophany atau realitas-realitas sakral dalam pantak tersebut.

Setiap benda atau beberapa benda tertentu dianggap mempunyai suatu kesakralan yang dapat berpengaruh dalam kehidupan manusia. Kekuatan sakral tersebut dapat pula digunakan untuk membantu beberapa kegiatan atau pekerjaan manusia, seperti digunakan pamaliatn (dukun) untuk memanggil roh halus yang kemudian digunakan untuk membantunya dalam ritual pengobatan. Kekuatan-kekuatan seperti ini merupakan sebagian dari hierophany yang dimaksud.

Masyarakat Dayak menyebut Tuhan Yang Maha Kuasa dengan sebutan Ene’ Daniang (sebagian masyarakat Dayak di Kalbar-penulis) atau Jubata, yakni penguasa jagad raya beserta isinya. Jubata berada di langit ketujuh. Ia mempunyai enam bawahan, yaitu; Ne’ Pangedaong, Ne’ Patampa’ yang dipercaya membuat patung-patung dari tanah liat bentuk menyerupai manusia. Ne’ Amikng dan Ne’ Pamijar yang memberi napas kepada manusia. Ne’ Taratatn memberi kesegaran jasmani maupun rohani. Ne’ Pangingu memberikan berkat perlindungan, sedangkan Ne’ Pajaji dipercaya yang menjadikan manusia berbudi dan memelihara hidupnya sampai pada semua keturunannya.4. Menurut kisah penciptaan nama-nama bawahan itu adalah nama lain dari Jubata, maksudnya satu pribadi pencipta dengan beberapa nama atau satu nama dengan berbagai sifat-sifat kekuasaanNya. Hal ini sama hal nya dengan nama Allah dalam agama Islam yang mempunyai 99 nama sesuai dengan kekuasaan dan kesempurnaannya.

Masyarakat Dayak meyakini dunia ini terbagi menjadi tiga bagian. Pertama adalah Dunia Atas, yaitu dunia yang ditempati oleh Jubata, dukun, dan nenek moyang yang meninggal sebagai pahlawan. Kedua adalah Dunia Tengah atau dunia fana yang ditempati manusia. Ketiga adalah Dunia Bawah yang dihuni oleh roh orang mati. Dunia Bawah ini merupakan sebuah dunia yang tidak dikenal, terisolasi, dan gelap. Setelah meninggal, setiap manusia kecuali dukun dan nenek moyang yang meninggal sebagai pahlawan akan menuju dan tinggal disitu selama-lamanya. Begitu juga dengan sumangat (jiwa) orang yang meninggal, ia tidak akan pernah kembali kekehidupan manusia dan tidak pernah pergi kemana-mana. Namun hal tersebut tergantung apakah waktu meninggal orang yang bersangkutan sudah melewati upacara adat kematian atau belum.

Masyarakat Dayak Kanayatn mempercayai adanya setan atau iblis yang disebut Pantokng Bangok Pilas Galikng. Mereka mempercayai jiwa orang jahat akan bangkit dari kuburnya dan menghantui orang yang masih hidup. Hantu semacam ini biasanya dapat menjelma dalam rupa binatang dan manusia, maka untuk menghindari gangguan roh jahat tersebut biasanya mereka memberinya dengan berbagai macam makanan atau sesaji, seperti lamang (ketan), tumpi’ (cucur), minuman, daging babi dan ayam, telur, nasi dan lain sebagainya.

Sebagian besar masyarakat Dayak Kanayatn saat ini memeluk agama Katolik dan Protestan. Sejak tahun 1835 agama Kristen Protestan masuk ke Kalimantan, yaitu di Tangguhan dekat Mandumai, Kalimantan Tengah. Agama ini disebarkan oleh seorang misionaris berkebangsaan Jerman bernama Barnstein ke masyarakat Dayak.5. Selanjutnya agama tersebut berkembang sampai ke Kalimantan Barat dan dianut sebagian masyarakat Dayak yang bermukim di muara sungai Kapuas dan daerah pedalaman.

Penyebaran agama Kristen Katolik di Kalimantan Barat dimulai tahun 1894 oleh seorang misisonaris utusan dari Vatikan, Roma, tepatnya di daerah Sejiram. Penyebaran ini diperluas ke tempat-tempat yang banyak dihuni orang Dayak. Bukti penyebaran agama tersebut dapat dilihat dengan berdirinya Sekolah Seminari St Paulus, Yayasan Misi Nyarumkop. Sekolah ini banyak melahirkan barawan-biarawati dan guru-guru agama untuk melanjutkan misi penyebaran agama Katolik pada masyarakat Dayak Kanayatn.

Agama Islam masuk ke Kalimantan Barat sekitar tahun 1521 yang disebarkan oleh Kerajaan Johor. Masuknya agama ini melalui Kerajaan Sambas, tetapi Kerajaan tersebut tidak menyebarkan agama Islam pada suku Dayak, sehingga banyak suku Dayak memeluk agama Kristen dan hanya orang Melayu yang menganut Islam.

Masuknya Islam dalam masyarakat Dayak karena dipengaruhi suku Melayu. Bagi orang Dayak “masuk Melayu” sinonim dengan “masuk Islam”.6. Oleh karena itu orang Dayak yang sudah menjadi Muslim tidak menamakan diri mereka dengan sebutan Dayak lagi, tetapi dengan sebutan Melayu yang biasanya di sebut orang Halo’ atau Senganan. Selain ketiga agama di atas, di Kalimantan Barat juga terdapat agama Budha yang dianut oleh orang Cina. Masuknya agama ini dimulai pertengahan abad ke 18 tahun 1750. Waktu itu Sultan Mempawah menerima suku bangsa Tiog Hoa (sebutan untuk Cina) dari Brunai untuk menggali emas dan menyebarkan agama Budha. Sampai sekarang agama Budha masih dianut oleh orang-orang Cina yang berada di wilayah tersebut. Begitu juga dengan agama Hindu, meskipun penganutnya sangat sedikit di kalangan orang Dayak, namun agama tersebut mempunyai kedekatan dengan sistem kepercayaan nenek moyang orang Dayak, yaitu Kaharingan atau sering disebut Hindu Kaharingan.

Masyarakat rumpun Dayak Ngaju dan rumpun Dayak Ot Danum menganut agama leluhur yang diberi nama oleh Tjilik Riwut sebagai agama Kaharingan yang memiliki ciri khas adanya pembakaran tulang dalam ritual penguburan. Sedangkan agama asli rumpun Dayak Banuaka tidak mengenal adanya pembakaran tulang jenazah. Bahkan agama leluhur masyarakat Dayak Meratus di Kalimantan Selatan lebih menekankan ritual dalam kehidupan terutama upacara/ritual pertanian maupun pesta panen yang sering dinamakan sebagai agama Balian. Agama-agama asli suku-suku Dayak sekarang ini kian lama kian ditinggalkan. Sejak abad pertama Masehi, agama Hindu mulai memasuki Kalimantan dengan ditemukannya Candi Agung sebuah peninggalan agama Hindu di Amuntai, Kalimantan Selatan, selanjutnya berdirilah kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha. Semenjak abad ke-4 masyarakat Kalimantan memasuki era sejarah yang ditandai dengan ditemukannya prasasti peninggalan dari Kerajaan Kutai yang beragama Hindu di Kalimantan Timur.[43] Penemuan arca-arca Buddha yang merupakan peninggalan Kerajaan Brunei kuno, Kerajaan Sribangun (di Kota Bangun, Kutai Kartanegara)[44] dan Kerajaan Wijayapura. Hal ini menunjukkan munculnya pengaruh hukum agama Hindu-Buddha dan asimilasi dengan budaya India yang menandai kemunculan masyarakat multietnis yang pertama kali di Kalimantan. Dengan menyebarnya agama Islam sejak abad ke-7 mencapai puncaknya di awal abad ke-16, masyarakat kerajaan-kerajaan Hindu menjadi pemeluk-pemeluk Islam yang menandai kepunahan agama Hindu dan Buddha di Kalimantan. Sejak itu mulai muncul hukum adat Melayu/Banjar yang dipengaruhi oleh sebagian hukum agama Islam (seperti budaya makanan, budaya berpakaian, budaya bersuci), namun umumnya masyarakat Dayak di pedalaman tetap memegang teguh pada hukum adat/kepercayaan Kaharingan. Sebagian besar masyarakat Dayak yang sebelumnya beragama Kaharingan kini memilih Kekristenan, namun kurang dari 10% yang masih mempertahankan agama Kaharingan. Agama Kaharingan sendiri telah digabungkan ke dalam kelompok agama Hindu (baca: Hindu Bali) sehingga mendapat sebutan agama Hindu Kaharingan. Namun ada pula sebagian kecil masyarakat Dayak kini mengkonversi agamanya dari agama Kaharingan menjadi agama Buddha (Buddha versi Tionghoa), yang pada mulanya muncul karena adanya perkawinan antarsuku dengan etnis Tionghoa yang beragama Buddha, kemudian semakin meluas disebarkan oleh para Biksu di kalangan masyarakat Dayak misalnya terdapat pada masyarakat Dayak yang tinggal di kecamatan Halong di Kalimantan Selatan. Di Kalimantan Barat, agama Kristen diklaim sebagai agama orang Dayak (sehingga Dayak Muslim Kalbar terpaksa membentuk Dewan Adat Dayak Muslim tersendiri), tetapi hal ini tidak berlaku di propinsi lainnya sebab orang Dayak juga banyak yang memeluk agama-agama selain Kristen misalnya ada orang Dayak yang sebelumnya beragama Kaharingan kemudian masuk Islam namun tetap menyebut dirinya sebagai suku Dayak. Agama sejati orang Dayak adalah Kaharingan. Di wilayah perkampungan-perkampungan Dayak yang masih beragama Kaharingan berlaku hukum adat Dayak, namun tidak semua daerah di Kalimantan tunduk kepada hukum adat Dayak, kebanyakan kota-kota di pesisir Kalimantan dan pusat-pusat kerajaan Islam, masyarakatnya tunduk kepada hukum adat Melayu/Banjar seperti suku-suku Melayu-Senganan, Kedayan, Banjar, Bakumpai, Kutai, Paser, Berau, Tidung, dan Bulungan. Bahkan di wilayah perkampungan-perkampungan Dayak yang telah sangat lama berada dalam pengaruh agama Kristen yang kuat kemungkinan tidak berlaku hukum adat Dayak/Kaharingan. Di masa kolonial, orang-orang bumiputera Kristen dan orang Dayak Kristen di perkotaan disamakan kedudukannya dengan orang Eropa dan tunduk kepada hukum golongan Eropa. Belakangan penyebaran agama Nasrani mampu menjangkau daerah-daerah Dayak terletak sangat jauh di pedalaman sehingga agama Nasrani dianut oleh hampir semua penduduk pedalaman dan diklaim sebagai agama orang Dayak. Jika kita melihat sejarah pulau Borneo dari awal. Orang-orang dari Sriwijaya, orang Melayu yang mula-mula migrasi ke Kalimantan. Etnis Tionghoa Hui Muslim Hanafi menetap di Sambas sejak tahun 1407, karena pada masa Dinasti Ming, bandar Sambas menjadi pelabuhan transit pada jalur perjalanan dari Champa ke Maynila, Kiu kieng (Palembang) maupun ke Majapahit.[45] Banyak penjabat Dinasti Ming adalah orang Hui Muslim yang memiliki pengetahuan bahasa-bahasa asing misalnya bahasa Arab.[46] Laporan pedagang-pedagang Tionghoa pada masa Dinasti Ming yang mengunjungi Banjarmasin pada awal abad ke-16 mereka sangat khawatir mengenai aksi pemotongan kepala yang dilakukan orang-orang Biaju di saat para pedagang sedang tertidur di atas kapal. Agamawan Nasrani dan penjelajah Eropa yang tidak menetap telah datang di Kalimantan pada abad ke-14 dan semakin menonjol di awal abad ke-17 dengan kedatangan para pedagang Eropa. Upaya-upaya penyebaran agama Nasrani selalu mengalami kegagalan, karena pada dasarnya pada masa itu masyarakat Dayak memegang teguh kepercayaan leluhur (Kaharingan) dan curiga kepada orang asing, seringkali orang-orang asing terbunuh. Penduduk pesisir juga sangat sensitif terhadap orang asing karena takut terhadap serangan bajak laut dan kerajaan asing dari luar pulau yang hendak menjajah mereka. Penghancuran keraton Banjar di Kuin tahun 1612 oleh VOC Belanda dan serangan Mataram atas Sukadana tahun 1622 dan potensi serangan Makassar sangat mempengaruhi kerajaan-kerajaan di Kalimantan. Sekitar tahun 1787, Belanda memperoleh sebagian besar Kalimantan dari Kesultanan Banjar dan Banten. Sekitar tahun 1835 barulah misionaris Kristen mulai beraktifitas secara leluasa di wilayah-wilayah pemerintahan Hindia Belanda yang berdekatan dengan negara Kesultanan Banjar. Pada tanggal 26 Juni 1835, Barnstein, penginjil pertama Kalimantan tiba di Banjarmasin dan mulai menyebarkan agama Kristen. Pemerintah lokal Hindia Belanda malahan merintangi upaya-upaya misionaris


Kepustakaan

  1. Syarif Ibrahim Alqadri, “Mesianisme dalam Masyarakat Dayak di Kalimantan”, dalam Paulus Florus, ed., op.cit., p. 19.
  2. Dick Hartoko, Manusia dan Budaya (Yogyakarta: Kanisius, 1984), p. 23.
  3. Mircea Eliade, “The Sacred and The Profane”, terj. Nuwanto, Sakral dan Profan: Menyingkap Hakikat Agama (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), pp. 3-5.
  4. Maniamas Miden Sood, Dayak Bukit, Tuhan, Manusia, Budaya (Pontianak: Institute of Dayakology Research and Development, 1999), p. 7.
  5. Tjilik Riwut, Kalimantan Membangun: Alam dan Kebudayaan (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1993), p. 133.
  6. Mikhail Coomans, Manusia Dayak; Dulu, Sekarang, Masa Depan (Jakarta: Gramedia, 1987), p. 119.
  7. Kawi and Pallawa inscriptions, 4th-12th centuries
  8. Kerajaan Sri Bangun Kerajaan Bercorak Budha
  9. (Indonesia) Muljana, Slamet (2005). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. PT LKiS Pelangi Aksara. p. 61. 
  10. Kong, Yuanzhi (2000). In Hembing Wijayakusuma. Muslim Tionghoa Cheng Ho: misteri perjalanan muhibah di Nusantara. Yayasan Obor Indonesia. p. 54. 
  11.  Ukur, Fridolin (2000). Tuaiannya sungguh banyak: sejarah Gereja Kalimantan Evanggelis sejak tahun 1835. BPK Gunung Mulia. p. 42. ISBN 9789799290588. ISBN 979-9290-58-9 

 

SELAMAT HARI MENUAI, SELAMAT HARI GAWAI, SELAMAT TADAU KAAMATAN

                                                 Kotobian Tadau Tagazo Do Kaamatan 
                                    Selamat Hari Pesta Menuai.



                         Selamat Ari Gawai Dayak ku nuju 
            pada  semua bala Dayak di menua tok.

Fridolin Ukur : Tentara, Pendeta, Sastrawan


Pemirsa televisi di Indonesia pada tahun 1970-an mengenal dia sebagai pendeta berpeci. Sebulan sekali ia tampil di Mimbar Protestan TVRI. Bahasanya khas dengan banyak idiom. Kalimatnya sering puitis, bahkan dalam khotbahnya ia pun acap berpuisi. Ia pun suka menggunakan kata-kata asbstrak seperti bahan kelampauan, isi kekinian, atau harga keakanan. Pemirsa perlu berpikir dua kali untuk memahami isi khotbahnya. Tetapi khotbahnya yang sering diselingi senyum disukai banyak orang karena berbobot dan memikat. Pendeta berpeci itu adalah Fridolin Ukur (1930-2003).


Tamiang Layang pada tanggal 5 April 1930 dia merupakan anak seorang kepala sekolah dari Sekolah Rakyat di Tamiang Layang, sebagai seorang anak dayak ma’anyan dia tergolong anak yang cerdas.  Setelah menamatkan sekolah rakyat di kampungnya, pada tahun 1936  Ukur (nama panggilannya), bersama abangnya Wilson Ukur melanjutkan pendidikannyake Banjarmasin di Hollandsch-Inlandsche School disingkat HIS (setingkat sekolah dasar untuk anak pribumi) lalu melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs disingkat dengan MULO (setingkat sekolah menengah) dan VHOWN (Voorbereind Hoogere Onderwijs-Wisen Naturkunde Afdl) setingkat SMU.

Pak Ukur pernah naik pitam saat menjalani pendidikan di Banjarmasin karena abangnya Wilson Ukur dihukum karena ketahuan menggunakan bahasa Maanyan disekolah, hal itu dikarenakan mereka wajib menggunakan bahasa Belanda selama bergaul. Keadaan berubah ketika tentara Dai Nippon(Jepang) masuk ke Banjarmasin tahun 1942, akibatnya Ukur harus pulang ke Tamiang Layang. Namun selama itu minat belajarnya taak pernah surut. Di tengah-tengah kesibukan membantu keluarga ia menyempatkan diri membaca buku-buku milik ayahnya, yang waktu itu menjadi kepala sekolah rakyat di kampungnya. Di antara buku-buku milik ayahnya itu ia menemukan sebuah buku, semacam buletin, yang berjudul Pakat Dayak. Buku ini diterbitkan oleh sebuah organisasi bernama Pakat Dayak, yang mengusung isu nasionalisme. Selain itu ia juga membaca buku-buku karangan Bung Karno. Hal inilah yang membangkitkan semangat dan jiwa nasionalisme dalam diri Pak Ukur. Bahkan ia termasuk seorang pengagum Bung Karno.




Dari Tentara ke Pendeta
Semangat dan jiwa nasionalisme itulah yang mendorong Pak Ukur pada tahun 1947 – 1950 untuk bergabung dengan laskar ALRI Divisi IV Kalimantan yang melakukan gerilya di wilayah Barito Selatan dan bermarkas di Sanggu, sebuah desa sekitar 20 km dari Buntok. Karena pendidikannya ia diberi pangkat Pembantu Letnan Satu dengan jabatan Wakil Komandan Kompi. Nama samarannya adalah Effendy Udaya. Sedangkan komandan kompi adalah abangnya sendiri Wilson Ukur (pensiun dengan pangkat kolonel di Pusat Pendidikan Infrantri, Cimahi). Ketika keadaan normal ia kembali ke Banjarmasin dan diangkat sebagai Wakil Komandan Kompi Commando Troop Perserikatan Bangsa-bangsa dan ditempatkan di Kuala Kapuas. Sedangkan jabatan Komandan Kompi dipercayakan kepada abangnya.


Wilson Ukur, Majak Kalatak, Fridolin Ukur

Ketika Sang Abang melanjutkan pendidikan militer di AMN Magelang, jabatan Komandan Kompi diserahkan kepada Pak Ukur. Namun tahun 1950 Pak Ukur memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta (Hoogere Theologische School waktu itu). Ketika baru kuliah ia masih militer aktif dan masuk ke ruang kuliah pun masih memakai pakaian tentara lengkap dengan atribut kepangkatannya. Ia baru resmi berhenti jadi tentara pada bulan Desember 1950 dengan pangkat terakhir Letnan Satu. 

Setelah di Tahbiskan sebagai Pendeta di Kuala Kapuas tahun 1956, Mengawali karir kependetaannya ia mulai mengajar di Akademi Theologi GKE di Banjarmasin dan  tahun 1963 itu ia dipercayakan untuk memimpin Akademi Theologi GKE (sekarang STT GKE). Salah satu bagian dari proses belajar mengajar yang ia perkenalkan adalah kegiatan Praktik Pengenalan Lapangan bagi setiap mahasiswa yang hendak mengakhiri studynya.


 pentahbisan pendeta di Kuala Kapuas tahun 1956 Pak Ukur berdiri paling depan ditengah

Menimba Ilmu sampai ke Eropa.
Sambil memimpin Akademi Theologia Pak Ukur mulai mempersiapkan diri untuk study doktor. Untuk itu ia belajar ke Fakultas Teologi Universitas Basel, Swiss sekaligus melakukan riset kepustakaan. Dari Fakultas Teologi Basel itu ia meraih gelar doktorandus (kandidat doktor).  Lalu gelar doktor teologi ia peroleh dari Sekolah Tinggi Teologi Jakarta tahun 1972. Karena sejak awal ia memang berminat dalam bidang sejarah kebudayaan, maka itu pulalah yang menjadi riset doktoralnya, yang ia tuangkan dalam disertasi yang berjudul “Tantang Jawab Suku Dayak”. Ia adalah doktor teologi angkatan pertama dari Sekolah Tinggi Teologi Jakarta.
Setelah merampungkan study doktornya, tahun 1972 itu Pak Ukur dipercaya untuk memimpim sebuah lembaga yang bergengsi, yaitu Lembaga Penelitian dan Study Dewan Gereja-gereja di Indonesia (LPS DGI) di Jakarta. Selama ia menjabat sebagai pimpunan lembaga ini banyak produk-produk riset, kajian, dan penerbitan yang dihasilkan. Salah satu karya monumental lembaga ini adalah buku berjudul “Jerih dan Juang Gereja-gereja di Indonesia”. Sebuah buku yang merupakan rangkuman dari hasil penelitian mengenai gumul dan juang gereja-gereja di Indonesia dalam konteks sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, dan agama-agama. 






Sahabatnya dalam sebuah laman menulis kesannya tentang Pak Ukur :
Pada suatu pembukaan latihan kepemimpinan itu, Ukur mengacu ke ayat yang berbunyi, “Kita harus mengerjakan pekerjaan Dia yang mengutus aku, selama masih siang. Akan datang malam, di mana tidak ada seorang pun yang dapat bekerja” (Yoh. 9:4).


Lalu Ukur berkata kurang lebih, “Kalian adalah benih unggul. Masa hidup di kampus cuma lima tahun. Jangan sia-siakan masa lima tahun ini dengan bersantai atau berpacaran. Tetapi gunakan ini sebagai kesempatan menumbuhkan benih unggul di dalam dirimu. Kembangkan jiwa pengabdian dan kepemimpinanmu. Jadilah guru sekolah Minggu, pengurus pemuda, atau pengurus kepanduan. Lahap semua buku di perpustakaan. Baca semua koran dan simak problematik masyarakat. Siapkan diri menjadi pemikir yang kelak menyumbangkan pemikiran bagi masyarakat dan gereja. Jadilah mahasiswa unggul yang lulus cum-laude. Nanti jadilah jaksa yang kejujurannya unggul. Jadilah dokter yang terapinya unggul. Jadilah pendeta yang khotbahnya unggul. Apa pun profesimu, kamu mengerjakan pekerjaan Allah jika perilaku dan kinerjamu menjadi kesaksian yang patut diteladani.”

Pada malam itu dibecak kami berdua tidak banyak bercakap-cakap karena letih. Tetapi demi kesopanan, saya berbasa-basi, “Bapak baru pulang dari Jerman. Apa kesan Bapak tentang mahasiswa teologi di Jerman? Ukur menjawab, “Mahasiswa di sana punya banyak buku . mereka banyak membaca. Mereka banyak menulis paper. Pokoknya banyak kerja tetapi makannya juga banyak dan enak” lalu ia tertawa sambil menceritakan makanan Jerman. Pada saat itu kami berdua betul-betul lapar.

Setelah masa jabatannya di GMKI pusat selesai, Ukur kembali ke Gereja Kalimantan Evangelis. Ia menjadi pendeta jemaat dan rektor STT Banjarmasin. Kemudian hari selama delapan tahun dia menjadi direktur lembaga penelitian PGI, guru STT Jakarta, sekretaris umum PGI dan konsultan BPK Gunung Mulia.

Sementara itu, Ukur digemari oleh banyak kalangan sebagai penceramah favorit karena pembawaanya yang kocak. Ceramahnya padat dan singkat. Ia cakap bercerita. Hadirin meledak dalam tawa jika ia menceritakan anekdot yang nyerempet politik atau nyerempet pornografi.

Sumbangsih Ukur yang lebih khas adalah tulisannya. Ia banyak menulis di Sinar Harapan, Suara Pembaruan dan Berita Oikumene. Sebagai sastrawan dan penyair ia juga banyak menulis puisi. Dua buku kumpulan puisinya diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia dengan judul Darah dan Peluh dan Wajah Cinta.

Watak Ukur yang sadar waktu dan suka bekerja keras tersirat di sana-sini dalam tulisannya dan terutama dalam puisinya. Tulisannya,

Waktu pun berbisik:
Pengalaman yang berserakan
Jejak-jejak yang ditinggalkan
Adalah kelopak-kelopak bunga cinta,
Sebuah bunga rampai
Mekar di tangkai;
Seperti bianglala menganyam mimpi
Meraih, menggapai, memeluk fajar
Sebuah harapan tak pernah pudar!

Aku pun ikut berbisik:
Perjalanan ini, sayang
Bukannya ruang sempit dan lorong sepi!
Kembara ini, kasih
Adalah jalan lebar menyemai cinta
Di atas bumi
Di antara sesama ….

Tersirat dalam banyak puisi Ukur bahwa tiap hari merupakan perlombaan lari. Ukur merasa diri berlari, bukan seorang diri melainkan dengan sang waktu, ia berpacu dengan waktu, ia dan waktu berlari bersama tiap hari, namun sering ia merasa ditinggal oleh waktu. Ia merasa dikhianati oleh waktu. Tulisnya:

Apakah waktu mengkhianati aku
Ketika aku disibuki dengan ceramah
Ketika aku berkhotbah tentang
Cakar hitam dan pagi biru,
Ketika gairah kuhabiskan di konferensi
Dan rapat-rapat…
Masih ada waktu melempar bayang
Menanya diri dan kesilaman:
Tentang khianat dan bakti
Tentang dosa dan pengampunan suci
Tentang kawan berdoa pengisi sunyi…

Walaupun Ukur disibukkan oleh banyak pertemuan oikumenis, namun ia tetap merasa tertanam di bumi Kalimantan. Bagi Ukur, Gereja Kalimantan Evangelis adalah bagaikan ibu pengasuhnya. Sebab itu ia terus menggumuli hubungan iman Kristen dengan budaya Dayak melalui banyak penelitan lapangan dan kepustakaan. Bagi agama suku Dayak, atau agama Kaharingan, bumi adalah tempat tinggal daya-daya gaib yang tidak tampak. Supaya daya-daya gaib itu tidak menimbulkan bencana, manusia harus memelihara keserasian dengan alam melalui upacara adat. Studi lanjut Ukur di Swiss dan disertasinya di STT Jakarta adalah tentang hubungan iman dan budaya.

Ukur memandang Kalimantan sebagai ladang pekerjaan Allah yang penuh dengan tuaian, namun kekurangan penuai, sejajar dengan ucapan Yesus yang berbunyi, “ …Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit. Karena itu mintalah kepada tuan yang mempunyai tuaian, supaya ia mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu” (Mat. 9:37-38).

Kedekatan Ukur dengan bumi Kalimantan tampak dalam bukunya yang berjudul Tuaiannya Sungguh Banyak – Sejarah Gereja Kalimanan Evangelis. Ia menggambarkan pulau Kalimantan sebagai “hutan rimba … ngeri menyeramkan, sungai-sungai yang menganga lebar … berhari-hari berlayar tidak jua bersua kampung”. Gereja di Kalimantan mulai tumbuh pada tahun 1920-an dengan nama Gereja Dayak Evangelis berkat pengorbanan para misonaris dari Swiss.

Dalam buku itu Ukur juga menceritakan langkah-langkah pertama pewartaan injil di bumi Kalimantan, yaitu melalui pembangunan sekolah penyuluh kesehatan, sekolah perawat, sekolah pertanian, sekolah guru dan sekolah teologi. Serempak juga dibangun percetakan yang mencetak buku-buku Kristen dalam berbagai dialek Dayak, yaitu bahasa Ngaju, Maanyan, Ot Danum, Samihin dan yang lainnya. Pendeta yang pertama lulus pada tahun 1937. Mereka terdiri dari tiga belas orang etnik Dayak dan seorang etnik Tionghoa.

Sejak awal umat sudah dididik untuk beribadah secara tertib dan teduh, tidak terlambat, dan tidak gaduh. Ukur mengutip peraturan tahun 1934 yang berbunyi, “… maka haruslah segala orang jemaat itu sudah sedia duduk pada tempatnya dengan diam-diam …setelah orang banyak menyanyi pada pertama kalinya, maka pintu ditutup dan dikunci. Barang siapa datang sesudah itu, haruslah menunggu di luar….”.

Masih ada beberapa buku lain tulisan Ukur yang tidak disebut di sini. Ia menulis terus sampai akhir hayatnya. Ketika tubuhnya kian lemah termakan penyakit, tiap hari ia masih menulis di rumah atau di rumah sakit. Tiap hari terjadwal dengan ketat. Ia hanya beristirahat sebentar untuk meneguk kopi, mengisi teka-teki silang, atau membaca cerita cowboy, lalu menulis lagi.

Ukur hidup dalam kesederhanaan sering ia berkata bahwa ia tidak punya apa-apa, mungkin karena memang tidak perlu punya apa-apa. Dalam penggalan puisinya ia menulis,
Lalu hari-hari kesulitan,
Selalu bertaut keriaan dan kerelaan…
Puisi kehidupan kian matang
Tentang penyerahan dan cinta.
Kita memang tak punya apa-apa
Kecuali cinta!

Berkali-kali Ukur dirawat di rumah sakit. Pernah ia sama-sama dirawat di rumah sakit yang sama dengan Dick Maitimoe, yang juga lulusan STT Jakarta. Lalu di situ Maitimoe meninggal dunia. Penggalan puisi kesedihan Ukur berbunyi,
Makin terasa
Kita tengah berpacu dengan waktu
Antara tugas panggilan suci
Terus menanti
Dengan tubuh yang tambah rapuh
Dimakan usia tambah menua
Dalam lomba ini
Kau mendahului kami
Pulang ke rumah Bapa
hari ini!

Sepanjang jalan hidupnya, tidak ada waktu yang disia-siakan oleh Ukur. Ia terus bekerja. Walapun hidupnya berakhir dengan keringkihan dan kerentaan, namun seluruh masa hidupnya telah menjadi berkat bagi kalangan yang luas. Tulisnya,
Karena langkah-langkah kaki kita
Sudah terseret, selangkah-selangkah
Tidak lagi semantap dulu!
Tak usah risau
Tak usah resah
Telah kita tanami bibit cinta
Telah kita semai benih-benih kasih
Di sepanjang perjalanan pengabdian…

Salah satu puisi Ukur yang terakhir dan belum dipublikasikan bertutur lirih,

Dalam penantian ini
Diri tejepit antara gunung kehidupan dan tubir kematian
Keduanya menawarkan pengharapan
Kehidupan kekinian, di sini
Kehidupan keakanan , di sana …

Benih unggul dalam diri Fridolin Ukur telah berbuat lebat. Ia telah menjadi tuaian dan penuai di ladang pekerjaan Allah. Ia telah menuai selama masih siang dan … tuaiannya sungguh banyak!.

Sumber: Selamat Bergereja, Andar Ismail. Halaman 19-25.
Sumber foto: profile.ak.fbcdn.net