Perkawinan Sultan Banjar Dengan Puteri-Puteri Dayak.
Dari tradisi lisan suku Dayak Ngaju dapat diketahui, isteri raja Banjar pertama yang bernama Biang Lawai beretnis Dayak Ngaju.Sedangkan
isteri kedua raja Banjar pertama yang bernama Noorhayati, menurut
tradisi lisan suku Dayak Ma'anyan, berasal dari etnis mereka.Jadi perempuan Dayak-lah yang menurunkan raja-raja Banjar yang pernah ada.Dalam
Hikayat Banjar menyebutkan salah satu isteri raja Banjar ketiga Sultan
Hidayatullah juga puteri Dayak, yaitu puteri Khatib Banun, seorang tokoh
Dayak Ngaju.
Dari rahim puteri ini lahir Marhum Panembahan yang kemudian naik tahta dengan gelar Sultan Mustainbillah.
Putri Dayak berikutnya adalah isteri raja Banjar kelima Sultan Inayatullah, yang melahirkan raja Banjar ketujuh Sultan Agung.Sultan
Tamjidillah Al-Wajikoebillah (putera Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan
Adam) juga lahir dari seorang puteri Dayak berdarah campuran Tionghoa
yaitu Nyai Dawang.
Sultan Muhammad Keman.
Salah
satu sayap militer Pangeran Antasari yang terkenal tangguh dan setia,
adalah kelompok suku Dayak Siang Murung dengan kepala sukunya Tumenggung
Surapati.Hubungan kekerabatan sang Pangeran melalui
perkawinannya dengan Nyai Fatimah yang tak lain adalah saudara perempuan
kepala suku mereka, Surapati.Dari puteri Dayak ini lahir Sultan
Muhammad Seman yang kelak meneruskan perjuangan ayahnya sampai gugur
oleh peluru Belanda tahun 1905.Dalam masa perjuangan tersebut, Muhammad Seman juga mengawini dua puteri Dayak dari Dayak Ot Danum.Putranya, Gusti Berakit, ketika tahun 1906 juga mengawini putri kepala suku Dayak yang tinggal ditepi sungai Tabalong.Sebagai
wujud toleransi yang tinggi, ketika mertuanya meninggal, Sultan
Muhammad Seman memprakarsai diselenggarakannya Tiwah, yaitu upacara
pemakaman secara adat Dayak (Kaharingan).
Puteri Mayang Sari.
Puteri
Mayang Sari yang berkuasa di Jaar-Singarasi, kabupaten Barito Timur
adalah puteri dari raja Banjar Islam yang pertama (Sultan Suriansyah)
dari isteri keduanya Norhayati yang berdarah Dayak, cucu Labai Lamiah
tokoh Islam Dayak Ma'anyan.Walau Mayang Sari beragama Islam,
dalam memimpin sangat kental dengan adat Dayak, senang turun lapangan
mengunjungi perkampungan Dayak dan sangat memperhatikan keadil-makmuran
masyarakat Dayak dimasanya.Itu sebab ia sangat dihormati dan makamnya diabadikan dalam Rumah Adat Banjar di Jaar, kabupaten Barito Timur.
Perang Banjar.
Eratnya persahabatan Banjar-Dayak, juga karena kedua suku ini terlibat persekutuan erat melawan Belanda dalam Perang Banjar.Setelah
terdesak di Banjarmasin dan Martapura, Pangeran Antasari beserta
pengikut dan keturunannya mengalihkan perlawanan kedaerah Hulu Sungai
dan sepanjang sungai Barito sampai kehulu Barito, dimana terdapat
beragam etnis Dayak terlibat didalamnya.Perang antar koalisi
etnis Banjar bersama etnis Dayak disatu pihak versus Belanda dan
antek-anteknya dipihak lain, sebagaimana watak peperangan pada umumnya,
jauh lebih banyak duka dari pada sukanya.
Kedua suku serumpun ini
sudah merasa bersaudara senasib sepenanggungan, dimana harta benda,
jiwa raga, darah dan air mata sama-sama tumpah ditengah api perjuangan
mengusir penjajah.
Beberapa pahlawan perang Banjar dan perang Barito dari etnis Dayak :
¤ Tumenggung Surapati, meninggal 1904 dimakamkan di Puruk Cahu, Murung Raya.
¤ Panglima Batur, dari suku Dayak Siang Murung, dimakamkan dikomplek makam Pangeran Antasari, Banjarmasin Utara, Banjarmasin.
¤ Panglima Unggis, dimakamkan didesa Ketapang, kecamatan Gunung Timang, Barito Utara.
¤ Panglima
Sogo, yang turut menenggelamkan kapal Onrust milik Belanda 26 desember
1859, di Lewu Lutung Tuwur, makamnya didesa Malawaken, kecamatan Teweh
Tengah, Barito Utara.
¤ Panglima Batu
Balot (Tumenggung Marha Lahew), panglima wanita yang pernah menyerang
Fort Muara Teweh tahun 1864-1865, makamnya didesa Malawaken (Teluk
Mayang), kecamatan Teweh Tengah, Barito Utara.
¤ Panglima Wangkang dari suku Dayak Bakumpai di Marabahan, putera dari Damang Kendet dan ibunya wanita Banjar dari Amuntai.
¤ Perang
Muntallat tahun 1861 juga menyebabkan gugurnya dua putera Ratu Zaleha
yang dimakamkan didesa Majangkan, kecamatan Gunung Timang, Barito Utara.
Dammung Sayu.
Merupakan
seorang pemimpin masyarakat suku Dayak Ma'anyan Paju Sapuluh yang telah
berjasa dalam membantu salah seorang kerabat raja Banjar yang
bersembunyi diwilayahnya dari pengejaran pihak Belanda.
Karena
itu akhirnya Belanda membumi-hanguskan perkampungan suku ini yang
terletak didesa Magantis, Tamiang Layan, Dusun Timur, Barito Timur. Pihak
kerajaan Banjar yang berjuang melawan penjajah Belanda mengangkat
Dammung Sayu sebagai panglima dengan gelar Tumenggung dan memberikan
seperangkat payung kuning dan perlengkapan kerajaan.
Sangiang.
Toleransi antara suku Banjar dan Dayak, juga dapat dilihat dari sastera suci suku Dayak Ngaju, Panaturan.
Digambarkan
disana, raja Banjar (Raja Maruhum) beserta puteri Dayak yang menjadi
isterinya Nyai Siti Diang Lawai adalah bagian leluhur orang Dayak Ngaju.Bahkan
mereka juga diproyeksikan sebagai Sangiang (Manusia Illahi) yang
tinggal di Lewu Tambak Raja, salah satu tempat di Lewu Sangiang
(perkampungan para Dewa).Karena sang raja beragama Islam maka disana disebutkan juga ada Masjid.
Balai Hakey.
Secara
sosiologis-antropologis antara etnis Banjar dan Dayak diibaratkan
sebagai Dangsanak Tuha dan Dangsanak Anum (saudara tua dan muda).rang
Banjar yang lebih dahulu menjadi muslim disusul sebagian etnis Dayak
yang Bahakey (Berislam), saling merasa dan menyebut yang lain sebagai
saudara.Mereka tetap memelihara toleransi hingga kini.Tiap
ada upacara Ijambe, Tewah dan sejenisnya, komunitas Dayak selalu
menyediakan Balai Hakey, tempat orang muslim dipersilahkan menyembelih
dan memasak makanannya sendiri yang dihalalkan menurut keyakinan Islam.
Intingan Dan Dayuhan.
Toleransi
antara suku Banjar dan suku Dayak Bukit dipegunungan Meratus didaerah
Tapin di Kalimantan Selatan, juga dapat dilihat pada mitologi suku
bangsa tersebut.Dalam pandangan mereka, Urang Banjar adalah
keturunan dari Intingan (Bambang Basiwara), yaitu Dangsanak Anum (Adik)
dari leluhur mereka yang bernama Dayuhan (Ayuhan).Meskipun kokoh
dengan kepercayaan leluhur, suku Dayak Bukit selalu menziarahi Masjid
Banua Halat yang menurut mitologi mereka dibangun oleh Intingan, ketika
saudara leluhur mereka tersebut memeluk agama Islam.
Hubungan persahabatan yang erat antara orang Banjar dengan Dayak
jelas kelihatan ketika kedua-dua suku itu berjuang bersama-sama melawan
Belanda dalam Perang Banjar (1858-1905). Meskipun ketika berlakunya
peperangan itu tidak dinafikan ada ketua suku Dayak yang berpihak di
sebelah Belanda, tetapi penyertaan dan sokongan suku Dayak dalam Perang
Banjar itu nampaknya sangat terserlah. Dalam peperangan yang memakan
masa yang agak panjang itu, ramai pahlawan perang itu terdiri daripada
etnik Dayak, antaranya yang paling menonjol ialah Tumenggung Surapati,
Panglima Batur (dari suku Dayak Siang Murung), panglima Unggis, Panglima
Sogo, Panglima Batu Balot (seorang wanita), dan panglima Wangkang (dari
suku Dayak Bakumpai).
Pada zaman kolonial Belanda pula, hubungan persaudaraan dan ikatan
keluargaan antara orang Banjar dengan orang Dayak masih berterusan.
Namun, berbanding dengan orang Dayak, lebih banyak orang Banjar yang
berpeluang memasuki birokrasi kolonial, sekurang-kurangnya sebagai
pegawai rendah. Dengan itu, orang Dayak terus menjadi subordinat kepada
orang Banjar yang menjadi pegawai kerajaan kolonial itu seperti pada
zaman Kesultanan juga.
Hubungan Orang Banjar dan Dayak Masa Kini
Walaupun orang Banjar dan orang Dayak berasal dari masa silam yang
sama, tetapi kini masa silam yang sama itu mungkin tidak penting lagi.
Yang lebih menonjol kini ialah identitas yang baru – orang Banjar dan
orang Dayak adalah dua kumpulan etnik yang berbeda Dan atas identiti
baru itu, dua suku yang bertetangga Banjar dan Dayak telah terlibat
dengan persaingan dalam pelbagai bidang kehidupan. Dengan itu, Hairus
Salim (1996: 227) menganggap bahawa hubungan orang Banjar dengan orang
Dayak kini ialah hubungan yang tak selalu mesra.
Hubungan orang Banjar dengan orang Dayak yang tidak selalu mesra itu
telah diungkapkan oleh Anna Lowenhaupt Tsing (1993), seorang ahli
antropologi dari Universiti California, dalam kajiannya tentang Dayak
Meratus atau Dayak Bukit, yang banyak bermukim di sekitar pergunungan
Meratus di Kalimantan Selatan. Walaupun “hubungan kultural” antara orang Banjar dan Dayak telah terputus apabila Banjar ditegaskan sebagai identiti mereka yang
beragama Islam, dan orang Dayak pula ialah orang yang non Islam,
tetapi menurut Tsing (1993) hubungan ekonomi dan politik yang berasaskan
kawasan antara kedua-dua suku tetap berlangsung terus. Hubungan ekonomi
dan politik yang berasaskan kawasan itu pada masa kebelakangan ini
diatur oleh “pentadbiran negara”.
Dari segi ekonomi, orang Banjar sebenarnya terlibat dengan hubungan
perdagangan yang intensif dengan suku Dayak Meratus, malah merekalah
yang menjadi perantara bagi perkembangan ekonomi wilayah (Hairus Salim
1996: 230). Orang Banjar mendominasi pasar minggu kecil diujung jalur
yang menuju pegunungan Meratus. Keperluan-keperluan suku Dayak seperti
pakaian, garam, perkakas logam dan barang-barang mewah lainnya
disalurkan oleh orang Banjar. Sementara itu dengan berjalan kaki atau
naik rakit, orang Dayak Meratus datang ke pasar tersebut untuk menjual
rotan, getah, kacang, kayu ulin, kayu kemenyan dan hasil-hasil hutan
yang lain kepada orang Banjar, yang kemudian menjualnya juga ke bandar.
Walau bagaimanapun, hubungan perdagangan antara orang Banjar dengan
orang Dayak itu berlangsung dalam keadaan yang sangat tidak seimbang.
Sebagai perantara, orang-orang suku Banjar mempunyai kedudukan tawar
menawar yang lebih tinggi. Mereka dapat menetapkan harga mengikut
kemauan mereka, yang menyebabkan suku Dayak Meratus selalu merasa
dirugikan. Akan tetapi, orang Dayak tidak dapat berbuat apa-apa, karena
mereka tidak mempunyai pilihan lain.
Selain itu, orang-orang Dayak Meratus juga tidak berpuas hati karena
mereka tidak mempunyai kemampuan untuk mendapatkan kredit daripada
pedagang Banjar; jauh dari pemilik sarana pengangkutan, truk atau
motorboat, gudang, dan tempat pengeringan getah, yang semuanya dimiliki
oleh orang Banjar; tidak mempunyai jaringan untuk mendapatkan modal,
kemudahan-kemudahan penyimpanan, dan tempat tinggal di bandar
Banjarmasin; akses yang sangat terbatas untuk mengetahui keadaan
pemasaran dan seterusnya (Tsing 1993: 55-56).
Perhubungan perdagangan yang tidak seimbang itu, diperkuatkan pula
oleh hubungan orang Banjar yang rapat dengan “negara”. Orang Banjar
adalah penguasa politik pada peringkat wilayah. Bahkan kepentingan
negara di kalangan suku Dayak diartikulasikan oleh
kepentingan-kepentingan suku Banjar. Di daerah Meratus, ‘’kepentingan pemerintah menjelma menjadi kepentingan orang Banjar. Ini ialah kerana
pegawai-pegawai pemerintah pada peringkat kabupaten dan kecamatan, dan
pegawai tentera, pertanian dan kesihatan yang melakukan hubungan dengan
orang Dayak ialah orang-orang suku Banjar. Dengan itu, negara dan
kepentingan nasional tampil di kalangan Dayak Meratus dengan wajah
Banjar.
Wajah “negara” dalam artikulasi kepentingan suku Banjar itu
diperlihatkan Tsing (1991) misalnya dalam dasar negara mengenai
pembangunan masyarakat terasing pada tahun 1970-an. Dalam pentadbiran
dasar itu, pada tahun 1971 suku Dayak Meratus dimasukkan sebagai salah
satu dari masyarakat terasing. Maka pegawai pemerintah yang
kebanyakannya terdiri daripada orang Banjar telah membuka hutan untuk
menjadi tempat tinggal baru bagi orang Dayak Meratus. Bagaimanapun,
dengan pembukaan hutan itu, orang Banjar juga mendapat kesempatan untuk
berpindah ke kawasan baru tersebut, dengan jaminan mendapat perkhidmatan
dan tanah. (Tsing 1991: 45). Sebagai akibatnya, tidak lama selepas itu,
pemukiman baru itu telah didominasi oleh orang Banjar, kerana
penguasaan mereka terhadap jalur perdagangan dan politik wilayah.
Sementara itu, orang Dayak Meratus sendiri terus tersingkir, bahkan
kemudian banyak yang pulang ke tempat mereka yang asal.
Tidak dinafikan masyarakat Dayak Meratus berpeluang mengenal kemajuan
melalui artikulasi oleh pegawai
pemerintah dari suku Banjar. Mereka mempelajari ekonomi global daripada
pedagang Banjar. Orang Meratus juga mengenali birokasi negara di tingkat
wilayah melalui orang Banjar. Akan tetapi, hubungan itu tetap bersifat
artifisial, karena dalam banyak hal justru membuat orang Dayak semakin
jatuh dan jauh terpinggir dari yang mereka alami sejak zaman
pra-kolonial dan kolonial (Hairus Salim 1996: 231).
Perhubungan orang Banjar dengan orang Dayak masa kini memasuki tahap
yang baru, apabila mulai tahun 2000, suku Dayak Meratus terlibat dengan
konflik yang agak serius dengan golongan penguasa Kalsel yang terdiri
daripada orang Banjar. Hal ini berkaitan dengan dasar dan tindakan
Sjachriel Darham, Gubernor Kalsel masa itu yang nampaknya tidak
mengambil kira kepentingan orang Dayak. Sjachriel Darham telah
membenarkan sebahagian Hutan Lindung Pegunungan Meratus, tempat tinggal
orang Dayak, seluas 46,270 hektar, diberikan kepada perusahaan
perkebunan berskala besar, PT Kodeco Group, yang berasal dari Korea
Selatan.
Sebagaimana yang diketahui suku Dayak Meratus telah mendiami kawasan
pegunungan Meratus itu sejak turun temurun. Hutan itu merupakan sumber
kehidupan mereka, kerana memang di situlah tempat tinggal mereka sejak
lama. Oleh itu, sudah tentu suku Dayak Meratus tidak menyetujui Hak
Pengusahaan Hutan (HPT) kawasan hutan itu diserahkan kepada pengusaha
besar. Apatah lagi pemberian konsesi kepada perusahaan dari Korea itu
akan melibatkan alih fungsi sebahagian kawasan pergunungan Meratus dari
hutan lindung kepada hutan produksi.
Mendengar kawasan hutan lindung itu akan dijadikan kawasan
Hak Penguasaan Hutan (HPH) Kodeco, ratusan warga masyarakat Dayak
Meratus berkali-kali turun ke Banjarmasin untuk mengadakan tunjuk
perasaan, sama ada kepada DPRP mahupun kepada Gabenor sendiri. Sejak
tahun 1998 hingga awal 2000 dikatakan lebih 20 kali warga pedalaman itu
mengadakan tunjuk perasaan ke Banjarmasin dengan tuntutan yang sama:
menolak kawasan Meratus dijadikan kawasan HPH. Namun, tuntutan mereka
tidak pernah diberi perhatian yang sewajarnya. (Kompas,1 Ogos 2001).
Tuntutan warga Dayak Meratus itu akhirnya didengar oleh beberapa LSM.
Mereka memberi sokongan dengan membentuk Aliansi Meratus yang merupakan
gabungan 33 LSM. Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak Kalsel (LMMD-KS)
dan LSM Telapak Indonesia yang beribu pejabat di Bogor juga memberi
sokongan moral kepada warga Dayak Meratus dengan mengecam Pemda Kalsel.
Para aktivis itu jugalah yang meneruskan tuntutan warga Dayak
Meratus, sama ada kepada Gabenor Sjachriel mahupun kepada DPRD tempatan.
Namun, pihak Pemda bertindak balas untuk melumpuhkan gerakan itu dengan
mengadukan Koordinator Aliansi Meratus, Hairansyah kepada pihak polis
dengan tuduhan menghasut rakyat untuk mengadakan tunjuk perasaan.
Ketika isu yang berkaitan dengan pemberian sebahagian hutan lindung
Pegunungan Meratus kepada perusahaan besar itu belum lagi selesai,
timbul pula isu lain yang melibatkan kawasan yang sama, iaitu pemberian
hak melombong kepada pengusaha perlombongan emas, PT Meratus Sumber Mas
oleh pemerintah daerah. Tindakan pemerintah daerah ini mendapat
tentangan daripada kira-kira 750 orang perwakilan dari 300 balai (rumah
besar pusat kegiatan adat) yang tersebar di seluruh Kalimantan Selatan,
yang mengadakan kongres selama empat hari, berakhir pada 26 Jun 2003 di
Samarinda (Kompas 1 Julai 2003).
Namun, penentangan warga Dayak Meratus
itu nampaknya tidaklah mendapat perhatian yang sepatutnya daripada
pemerintah daerah yang dikuasai oleh orang Banjar. Oleh yang demikian, sebuah LSM terkenal yang prihatin tentang masalah
alam sekitar, yaitu WALHI, dalam beritanya pada 2 Juni 2006 menyatakan:“…Hutan Lindung Meratus, kawasan hutan asli yang masih tersisa di
Propinsi Kalimatan Selatan, “rumah terakhir” masyararakat Dayak Meratus
saat ini menjadi kawasan yang paling terancam. Saat ini pemerintah dan
pengusaha tambang serta perkebunan skala besar melakukan berbagai cara,
termasuk memecah masyarakat Dayak Meratus melalui perubahan tapal batas
antar kabupaten, sayangnya kebutuhan masyarakat bertolak belakang dengan
keinginan pemerintah daerah (Walhi 2006). Apabila disebut pemerintah daerah tentulah merujuk kepada orang
Banjar, kerana orang Banjarlah yang merupakan penguasa pada peringkat
tersebut. Ini bermakna konflik antara orang Dayak dengan orang Banjar
masih berterusan.
Kesimpulan
Meskipun orang Banjar berasal dari orang Dayak, ataupun dari
percampuran orang Dayak dengan pelbagai suku yang lain, tetapi setelah
orang Banjar memeluk agama Islam dan mendirikankan kerajaan Islam Banjar, perpisahan antara kedua suku itu nampaknya sudah merupakan sesuatu
yang berkekalan. Mungkin sejak zaman dahulu lagi, orang Dayak yang tidak
memeluk agama Islam memilih tinggal di kampung yang berasingan dari
kampung orang Banjar; di tempat yang umumnya terletak di pedalaman.
Kemunculan kerajaan Islam Banjar pada abad ke-16, nampaknya
menandakan bermulaanya kedudukan orang Dayak sebagai subordinat kepada
orang Banjar, karena orang Banjar adalah kelas pemerintah yang wilayah
pemerintahannya meliputi juga kawasan yang didiami oleh orang Dayak.
Kedudukan orang Dayak sebagai subordinat kepada orang Banjar ini boleh
dikatakan tidak berubah pada zaman penjajahan dan lebih jelas lagi pada
zaman selepas kemerdekaan, kerana pada zaman selepas kemerdekaan memang
orang Banjarlah yang menduduki jawatan penting dalam pemerintahan
daerah, di samping mereka juga yang menguasai perdagangan yang
melibatkan orang Dayak.
Jika kita lihat hubungan orang Banjar dengan orang Dayak pada masa
mutakhir, hubungan mereka nampaknya bukan sahaja tidak mesra, malah
sudah melibatkan konflik yang agak serius. Hubungan tidak mesra itu
sudah kelihatan sejak lama, melibatkan golongan pedagang Banjar dan
penguasa Banjar, yang jelas lebih berkuasa ke atas orang Dayak Kini
timbul pula isu baru yang menimbulkan konflik, iaitu tindakan pemerintah
daerah yang diketuai oleh Gabenor dari etnik Banjar yang memberikan
kawasan hutan tempat tinggal orang Dayak Meratus kepada pengusaha
perkebunan dan perlombongan besar.
Tidaklah dinafikan pemberian kawasan hutan untuk diusahakan oleh
pengusaha besar itu ada juga faedahnya kepada orang Dayak, misalnya dari
segi wujudnya peluang pekerjaan, dan mungkin terbinanya jalan yang akan
menghubungkan kawasan tempat tinggal orang Dayak dengan kawasan bandar.
Namun, sebagaimana yang terbukti dari kajian di tempat lain, (lihat
Syarif Ibrahim Alqadrie 1994, 244-260; Patingi Y.A.Aris 1994, 261-66),
kesan negatif dari aktiviti pembukaan kawasan hutan dan perlombongan itu
kepada kehidupan penduduk setempat jauh lebih banyak dari kesan
positifnya. Itulah sebabnya orang Dayak tidak menyetujui kawasan hutan
tempat tinggal mereka diberikan kepada pengusaha besar.
Walau bagaimanapun, kedudukan orang Dayak sebagai subordinat kepada
orang Banjar nampaknya tidak memungkinkan mereka menentang dasar
pembangunan penguasa Banjar yang merugikan mereka, dan dengan itu
sangatlah sukar mereka keluar dari kehidupan mereka yang mundur dan
terpinggir. Barangkali orang Dayak hanya mungkin keluar dari keadaan
mundur dan terpinggir itu, setelah melalui satu masa yang agak lama,
khasnya setelah mereka mencapai taraf pendidikan yang memadai dan dengan
itu dapat menduduki jawatan penting dalam pemerintah daerah, sama ada
dalam bidang birokrasi mahupun politik. Memang sebagaimana yang sering
berlaku, orang Dayak hanya mungkin bermobiliti ke atas, walaupun agaknya
secara beransur-ansur, melalui jalan pendidikan.