Kamis, 06 Juni 2013

KAHARINGAN BUKAN HINDU KAHARINGAN

 
Ufuk timur masih malu-malu menampakan wajahnya. Di tepi sungai, suara riang anak-anak kecil bermain air bersatu padu dengan suara air yang tersiram ke tubuh-tubuh warga yang sedang mandi di sungai Kahayan, Desa Tumbang Malahui, Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Suara ayunan sapu lidi bersentuhan dengan tanah, mengoyak sampah-sampah disekitar halaman bangunan bercorak Dayak Kuno. Orang Dayak menyebut bangunan ini Balai Kaharingan.

Pagi itu, Jumat (22/03/2012) puluhan orang sudah beramai-ramai mendatangi Balai Kaharingan. Puluhan orang ini adalah penganut agama Kaharingan. Sebagian orang diluar dayak menambahkan katra Hindu di depannya. Tapi warga Desa Tumbang Malahui yang pagi itu melaksanakan ibadah pagi, menolak disebut dengan nama Hindu Kaharingan, “Kaharingan bukan Hindu Kaharingan,” tegas Kokon (71) warga Tumbang Malahui penganut agama Kaharingan kepada Citra Nusantara.

Warga Dayak memiliki agama lokal yang dipaksakan pemerintah untuk melebur dengan agama pendatang. Kaharingan merupakan agama asli leluhur warga Dayak yang saat ini disandingkan dengan agama pendatang, Hindu. Seperti halnya dengan agama lokal lainnya di Nusantara, keberadaan mereka nyaris terlupakan, terabaikan, terpinggirkan dan juga mengalami diskriminasi. Bagi warga Dayak, Kaharingan dianggap sebagai Agama Helu (agama air kehidupan), Agama Huran (agama kuno), atau Agama Tato-hiang (agama nenek-moyang).

Kaharingan berasal dari bahasa Sangen (Dayak kuno) yang akar katanya ialah ’’Haring’’. Haring berarti ada dan tumbuh atau hidup dari dalam diri sendiri, yang dilambangkan dengan Batang Garing atau Pohon Kehidupan. Batang Garing sangat terkenal di kalangan warga Dayak. Soal batang garing bisa ditemui oleh warga luar Dayak dengan melihat lukisan yang sangat banyak terjual jika mendatangi bumi tambun bungai ini.Dalam lukisan batang garing terlihat tombak dan menunjuk tegak ke atas. Bagian bawah pohon yang ditandai oleh adanya guci berisi air suci yang melambangkan Jata atau dunia bawah. Antara pohon sebagai dunia atas dan guci sebagai dunia bawah merupakan dua dunia yang berbeda tapi diikat oleh satu kesatuan yang saling berhubungan dan saling membutuhkan.

Dari lukisan batang garing ini, warga Dayak diingatkan dunia yang ditempati saat ini hanya sebagai tempat tinggal sementara. Agama Kaharingan mempercayai tanah air manusia yang sebenarnya adalah di dunia atas, yaitu di Lawu Tatau. Filosofisnya orang dayak diingatkan agar tidak terlalu mendewakan sesuatu yang bersifat dunaiwi. Kaharingan pun memiliki kitab suci yang disebut dengan nama Panaturan, juga ada kidung-kidung yang berisi puji-pujian terhadap Ranying Hattala (Tuhan Yang Maha Esa) di dalam kitab Handayu. Tidak hanya kitab suci, Kaharingan pun memiliki hari besar untuk umatnya, hari suci Tiwah. Pada hari suci itu, orang Kaharingan melakukan ritual kematian tahap akhir. Ada juga hari suci Basarah.

Ibadah rutin Kaharingan yang dilakukan setiap Kamis atau malam Jumat. Ada juga seperangkat aturan dalam ibadah Kaharingan, seperti Tawar, petunjuk tata cara meminta pertolongan Tuhan dengan upacara menabur beras dan buku Penyumpahan/Pengukuhan untuk acara pengambilan sumpah jabatan. Statmen dari banyak orang termasuk pihak pemerintah yang mendiskriminasi Kaharingan sebagai bentuk adat/ritual yang sesat dan tidak bertuhan bisa ditampik. Mereka memiliki Tuhan yang disembah, kitab suci, hari besar keagamaan, prosesi ritual dan tempat ibadah.

Arton S Dohong, Ketua Majelis Agama Kaharingan yang juga menjabat Wakil Bupati Gunung Mas, Palangka Raya mengatakan, “Masyarakat yang beragama Kaharingan dari sisi perkembangan yang rill sangat memperihatinkan. Kemampuan daya upaya sumber daya orang Kaharingan sangat terbatas. Keterbatasan ini yang menjadi kendala terberat sehingga kita tidak bisa berkembang dengan baik,” jelas Arton

Arton menambahkan, pemerintah pusat tidak memiliki perhatian sama sekali kepada penganut agama Kaharingan. Pemerintah pusat hanya mengembalikan soal memperihatinkan kondisi agama Kaharingan kepada penganut agama Kaharingan, “Pernyataan pemerintah ini kan sama saja membiarkan. Mau hancur ya hancur, mau mati ya mati. Ini seperti pernyataan ‘bola liar’ kepada penganut agama Kaharingan,” tambah Arton.

Pemerintah pusat kata Arton, harus membuka mata dan hati untuk perjuangan agama Kaharingan agar diakui layakanya agama-agama yang sekarang diakui oleh pemerintah. Orang Kaharingan adalah orang yang patuh dan taat, tetapi lanjut Arton jika hak penganut Kaharingan diabaikan haknya ini akan menjadi ‘blunder’ pemerintah pusat kepada agama Kaharingan. Orang Dayak Kaharingan memiliki dasar filosofis yang menjadi acuan dalam kehidupan mereka, kata Arton. Sehingga konflik antar umat beragama lain tidak pernah terjadi. Orang Dayak Kaharingan yang asli selalu menekankan hidup beradab, hidup kebersamaan dengan sesama, dan hidup saling menghormati,

“Jika pun terjadi konflik yang menyebut Kaharingan terlibat, itu dilakukan oleh orang-orang diluar Kaharingan yang mengetahui bahwa Kaharingan tidak mempunyai tradisi untuk membuat konflik. Kaharingan lalu digunakan, tujuannya untuk mendeskreditkan agama Kaharingan. Kaharingan tetap berpeguh teguh pada ajaran dan nilai filosofis untuk hidup rukun antar sesama,” tutup Arton.

1 komentar:

  1. Ranying Hatalla Langit Katamparan, Ela Buli Manggetu Hinting Bunu Panjang, Isen Mulang, Manetes Rantai Kamara Ambu penyang Hinje Simpei Paturung Humba Tamburak, Hatangku Manggetu Bunu, Kangkalu penang mamangun Betang, Hatamuei Lingu Nalatai, Hapangaja Karendem Malempang.

    Menciptakan manusia yang berkeTuhanan, membina integritas kepribadian dengan identitas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara untuk mempersatukan dan menetapkan persatuan dan kesatuan masyarakat pendukungnya dan untuk meningkatkan kesejahateraan dalam kehidupan bermasyarakat dengan tujuan mewujudkan kehidupan yang damai, adil dan beradab.

    BalasHapus