Sabtu, 08 Juni 2013

SISTEM RELIGI MASYARAKAT DAYAK BAHAU

Dari manakah asal usul kata religi? Ada yang berpendapat bahwa kata religi berasal dari kata religere dan ada pula yang mengatakan dari kata religare. Religere berarti melakukan sesuatu dengan teliti secara berulangkali, sedangkan religare berarti menjalin atau bersatu padu.

Masalah yang timbul dalam usaha memberikan perumusan yang tepat kepada religi disebabkan oleh kenyataan bahwa semakin sederhana tingkat  kebudayaan suatu masyarakat, semakin tampak kecenderungan atau tendensi ke arah  kepercayaan kepada kekuatan gaib yang dianggap ada pada benda-benda atau barang-barang tertentu. Padahal kalau dianalisa secara rasional, benda-benda itu tidak ada sangkut pautnya dengan religi. Jadi “benda” itu “dibungkus” dengan “isi” tertentu, yakni kekuatan gaib.
Menurut A. Bertholet, manusia sadar bahwa di sekitarnya ada kekuatan-kekuatan gaib yang dianggap juga mempengaruhi kehidupannya di lingkungan alam semesta ini. Kekuatan gaib itu kadangkala dianggap lebih unggul dari alam dan manusia, malah ditakuti sebab dapat membahayakan kehidupannya, sebab itu ditakuti dan dipuja, sedang disamping itu ada pula menurut mereka kekuatan gaib yang melindungi atau memelihara kelanggengan hidup.
Dilihat dari sudut obyektif, religi mencakup sejumlah kegiatan tertentu berupa alam persembahan kepada kekuatan gaib (das Ganz andere).  Itulah fenomena ekstrim dari religi. Sedangkan fenomena internnya bahwa religi dilihat dari sudut subyektif, adalah bagian dari pengalaman sanubari dari kehidupan jiwa dan alam gaib. Dilihat dari segi ini religi  merupakan hubungan timbal balik yang kompleks antara manusia dan alam gaib.
Sistem religi merupakan keseluruhan aktivitas manusia yang berhubungan dengan kepercayaan akan adanya kekuatan supranatural. Kepercayaan terhadap yang supranatural itu lahir dari kesadaran sanubari manusia yang diwujudkan dalam aktivitas-aktivitas pemujaan. Misalnya, kepercayaan akan adanya kekuatan alam (dinamisme), kepercayaan kepada roh-roh nenek moyang (animisme) yang  diwujudkan dalam upacara-upacara tradisional sebagai aktivitas pemujaan dan menjalin hubungan timbal balik dengan roh-roh tersebut. Alam gaib dianggap didiami kekuatan sakti, seperti dewa dewi yang baik dan yang jahat, seperti mahluk halus, roh, hantu dan sebagainya serta kekuatan lainnya yang dapat menyebabkan bencana. Alam gaib ini hanya dapat dihadapi dengan sikap hormat dan takut.
Dalam budaya etnik Bahau sistem religi ini dapat kita ketahui dengan adanya kepercayaan  kepada Tamai Tingai sesuatu yang Mahakuasa, Mahatahu. Yang Mahakuasa dan Mahatahu itu diyakini sebagai yang mengatur dan mengendalikan yang ada dalam dunia ini termasuk kehidupan manusia. Orang Bahau menamai yang Mahakuasa dan Mahatahu itu adalah Tamai Tingai dan ada juga yang menyebutnya Ame Tinge dan Unyang TenanganAme Tinge danUnyang Tenangan itu diyakini berperan dalam seluruh aspek kehidupan manusia misalnya, dalam perkawinan atau kehidupan berumah tangga. Dalam perkawinan adat, Kepala Adat meresmikan dan mengesahkan suatu perkawinan dengan kata-kata yang menyebutkan nama Ame Tinge dan Unyang Tenangan untuk merestui kedua mempelai yang melangsungkan perkawinan dan selanjutnya akan menjalani kehidupan berumah tangga. Ame Tinge berperan dalam melihat dan mengetahui perjalanan kehidupan suatu rumah  tangga, apakah dalam keadaan baik atau buruk. Apakah keluarga itu hidup dalam kejujuran dan kesetiaan satu sama lain? Apakah keluarga perlu diberi perawatan atau penyelamatan? Jika keluarga yang dimaksud membutuhkan campur tangan, maka  semua itu adalah tugas yang diperankan oleh Unyang Tenangan.
Selain contoh yang diutarakan di atas, kepercayaan akan adanya hal yang supernatural juga berhubungan dengan praktek kehidupan lainnya misalnya, saat memulai membuka ladang, menanam padi atau menugal dibuatkan kegiatan-kegiatan yang ditujukan untuk memohon dan menetralisir kekuatan gaib agar tidak menggangu aktifitas masyarakat.
Orang Bahau  Busang, percaya bahwa ada roh yang disebut Lengunan yaitu roh yang dipercayai sebagai Ular Sawa Raksasa yang berdiam dan menjaga di sekitar tangga dermaga kampung tepian sungai. Lengunan itu berfungsi sebagai penjaga yang siap menolak segala macam bentuk ancaman terhadap penduduk kampung, baik berupa penyakit maupun musuh yang tampak sebagai orang asing. Kemampuan protektif Lengunan itu misalnya diwujudkan dalam bentuk mendatangkan dan mengenakan kesialan atau musibah kepada orang asing yang dianggap musuh atau mengancam ketentraman warga kampung. Selain ituLengunan juga menghindarkan penyakit yang akan mewabah pada warga kampung.
Atas keyakinan di atas, maka selayaknya jika ada tamu atau orang asing yang memasuki kampung diadakan acara Napoq yaitu Penyambutan Tamu di tangga dermaga kampung. Di sana dibuat umbul-umbul dan tali yang akan dipotong saat tamu saat menaiki tangga. Acara ini dimaksudkan untuk memberitahukan kepada Lengunan yaitu Roh Ular Sawa Raksasa bahwa tamu yang datang itu adalah bagian dari anggota masyarakat warga kampung itu juga. Dengan demikian bukan merupakan ancaman atau akan mendatangkan keburukan terhadap warga, melainkan sebagai warga yang membawa berita baik. Oleh karena itu kedatangannya di kampung yang bersangkutan tidak perlu dihalangi. Selain itu upacara ini bermakna sebagai perwujudan sikap hormat dan penghargaan kepada sang tamu dan dengan demikian bahwa ia diterima dalam komunitas warga Bahau setempat.
Orang Busang juga percaya bahwa ada roh yang disebut Jelivan yang mendiami tiang rumah dan menjaga sekitarnya. Jelivan ini berfungsi menjaga dan menguatkan tiang rumah agar tidak roboh walau diterpa apapun.
Orang Busang juga percaya bahwa ada roh yang disebut Belareq atau Hantu Guntur yang duduk di atas bubungan atap rumah penduduk. Belareq itu berfungsi untuk menjaga bubungan dan atap rumah agar tidak mudah runtuh atau roboh walaupun diterpa angin kencang dan hujan lebat. Selain itu Blareq ini juga berfungsi untuk mengamati atau mengawasi setiap kedatangan siapa pun sebagai orang asing yang mungkin merupakan ancaman terhadap penghuni rumah. Jika ada orang asing yang datang, maka Belareq akan memberitahukan kepada tuan rumah misalnya, dengan membuat bunyi hentakan pada atap rumah atau mimpi agar pemilik rumah terbangun bila sedang tidur malam hari.
Atas kepercayaan akan adanya tiga roh penjaga di atas maka setiap tamu yang datang harus diberitahukan kepada mereka melalui upacara penyambutan tamu. Dalam upacara tersebut disampaikan bahwa tamu yang datang itu adalah anggota keluarga dan warga kampung itu juga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar