01

Selasa, 21 Juli 2015

KEADAAN ETNIS DAYAK DI MALAYSIA

Tokoh warga Dayak Sarawak, Peter John Jaban, meminta pemerintah  Malaysia menyediakan kolom khusus bagi orang berlatar belakang etnis Dayak untuk dicontreng pada formulir kependudukan seraya menolak kebijakan pemerintah yang menggolongkan orang Dayak ke dalam kategori Bumiputera Sarawak bersama dengan etnis non-Melayu lainnya.

Peter adalah aktivis Hak Asasi Manusia penyelenggara utama unjuk rasa raksasa di ibukota negara bagian Sarawak bulan lalu. Kali ini, ia mengancam akan mengadakan unjuk rasa yang lebih besar jika pemerintah tidak mengubah pendiriannya.

"Istilah Sarawak Bumiputera tidak ada artinya bagi kami non-Melayu karena tidak menggambarkan identitas kami yang sebenarnya," kata dia, sebagaimana dikutip oleh The Malay Mail.

"Kami ingin diakui sebagai orang Dayak, bukan Sarawak Bumiputera, untuk menunjukkan bahwa etnis Dayak adalah masyarakat mayoritas, tidak hanya di Sarawak, tetapi juga di seluruh Kalimantan," katanya dalam sebuah wawancara baru-baru ini.

Menurut Peter, ada sekitar 18 juta hingga 20 juta orang Dayak di lebih dari 300 kelompok etnis di seluruh pulau Kalimantan, berbagi warisan bersama walaupun memiliki perbedaan.

Dia mengatakan istilah "Sarawak Bumiputera" diciptakan untuk kepentingan politik pemerinah federal. Menurut dia, Barisan Nasional (BN)  menciptakan istilah itu untuk menyatukan penduduk asli non-Melayu Sarawak. Ke dalamnya termasuk etnis Melanau, yang sebagian besar menganut agama Kristen.

"Bumiputera tidak memiliki arti bagi Dayak. Istilah ini pertama kali dipromosikan oleh Perdana Menteri  Tun Razak Hussein, seorang Melayu dari Semenanjung Malaysia."

"Jadi, bagaimana ini bisa menjadi istilah yang benar untuk menggambarkan Dayak jika bukan sebagai sejarah atau warisan mereka?" Tanya Peter.

Peter telah mencoba selama bertahun-tahun untuk mendapatkan persetujuan pemerintah  menghapus katergori  "Lain-Lain" yang selama ini diperuntukkan bagi warga negara non-Melayu.

Sebagai usaha terakhir, mantan presenter radio ini mengajak  masyarakat adat di seluruh negara bagian untuk berkumpul di Padang Merdeka bulan lalu dan berunjuk rasa.

Aksi tersebut dihadiri oleh ribuan orang yang berbaris sepanjang 3 km pada 12 Desember tahun lalu dan menandatangani petisi melobi pemerintah Sarawak untuk menjatuhkan kategori ras yang mereka anggap ofensif.

Tiga hari kemudian, Peter memimpin delegasi kecil ke kantor Ketua Menteri Sarawak Tan Sri Adenan Satem di Petra Jaya untuk menyerahkan petisi mendorong perubahan

Senin, 15 Juli 2013

PERJUMPAAN ISLAM TRADISI DAN DAYAK BAKUMPAI


            Discourse tentang Islam dan Dayak secara umum sangat jarang tersentuh oleh para peneliti lokal, nasional ataupun para peneliti asing. Minimnya penelitian atau mungkin justru ketiadaan penelitian telah memberikan andil dalam mengekalkan asumsi tentang Dayak, yang umumnya selalu diidentikkan dengan tradisi pagan ataupun Kristen.
            Menyikapi fenomena di atas, perlulah kiranya menguji asumsi tersebut, apakah asumsi di atas masih layak atau tidak ketika digunakan untuk melihat identitas etnik Dayak. Pengujian atas asumsi ini bermanfaat untuk mengklarifikasi atau menjernihkan pemahaman umum tentang Dayak dalam konteks lintas agama maupun lintas budaya. Kiranya dalam konteks ini memang diperlukan adanya redifinisi tentang Dayak yang bebas dari hegemoni definisi yang berbau kolonial, atau jika mungkin kata Dayak itu sendiri perlu ditinggalkan karena ia bukan merupakan simbol identitas yang berakar dari keseluruhan kelompok etnik di Kalimantan. Sebuah kecelakaan sejarah memang, ketika istilah ini terlanjur diterima sebagai  representasi identitas.      
            Berawal dari carut marut terbelahnya identitas inilah, Dayak Islam perlu diperbincangkan sebagai sebuah bagian yang integral dengan ke-Dayakan itu sendiri. Mungkin salah satu yang mewakili perbincangan dari Dayak Islam ini adalah Islam Bakumpai.
           
Asal-usul Etnik Bakumpai
            Melacak asal-usul etnik ini memang terasa banyak kendala, kesulitannya adalah karena harus melacak kembali sambungan-sambungan benang sejarah yang telah lama putus, yang kemudian diupayakan untuk menjadi sebuah rangkaian yang mendekati utuh.
            Alasan dari kesulitan di atas memang sudah bisa dimafhumi, yaitu terbatasnya sumber data yang berkenaan dengan etnik Bakumpai itu sendiri, namun paling tidak, meskipun sangat terbatas, informasi lisan ataupun tertulis yang berasal dari masa lalu tetaplah penting sebagai titik tolak bagi langkah awal menuju penggalian sumber yang lebih mendalam dan akurat.
            Untuk menjelaskan tentang asal-usul etnik Bakumpai dari sudut pandang historis, paling tidak secara tentatif bisa bersandar pada kutipan Maulani yang merujuk pada Bock:1

Asal-usul suku Bakumpai yang dikelompokkan sebagai salah satu sub etnik dari ras Kahayan, diduga berasal dari suatu desa yang juga menyandang nama Bakumpai di hulu sungai Barito. Mereka menyebar ke Selatan mendiami sepanjang sungai Barito, berbelok ke sungai Kahayan dan sungai Mentaya Sampit sampai ke Tumbang Samba (Kasongan), Kalimantan Tengah. Dalam persebaran itu etnik Bakumpai bertemu dengan suku Melayu dan mulai memeluk agama Islam pada awal tahun 1688 melalui penyebar agama Islam dari Demak. Dari hulu sungai Barito orang-orang Bakumpai menyebar ke hulu sungai Mahakam di Long Putih mengalir sampai ke Long Iram.

            Pada sisi yang lain, berbicara tentang Bakumpai tidak hanya semata-mata representasi etnik, tetapi juga merupakan representasi yang berhubungan dengan geografis, jika Bakumpai dipahami sebagai etnik maka ia tidak dibatasi oleh sekat-sekat geografis, namun jika Bakumpai dipahami sebagai sebuah wilayah, maka lingkupnya sudah pasti terbatas.
            Adapun Bakumpai dalam konteks geografis yang dibahas di sini adalah yang berpusat di Marabahan. Mengenai asal-usul keberadaan Bakumpai sebagai sebuah wilayah, dalam hal ini didasarkan pada salah satu informasi yang menjelaskan sebagai berikut:2

Pada abad ke-15 Banua Bakumpai belum ada. Baru pada awal abad ke-16 (1525) bermula dengan datangnya sebuah jukung (perahu) dari arah Barat sungai Barito yang didayung satu keluarga terdiri dari lima orang, dua laki-laki dan tiga perempuan. Ciri orang tersebut kulit dan rambut berwarna kemerah-merahan (pirang. Pen.), sehingga disebut Datu’ Habang Rambut (Datu’ Bahandang Balau. Pen.). Diduga mereka berkebangsaan Spanyol.......

Sebelum ada lebu (Banua) Bakumpai. Sungai Barito sudah ada, bermuara ke laut jawa, mengudik ke hulu atau ke Utara dan berujung di Banua Lima. Jika kita melihat peta kabupaten Barito Kuala yang membujur dari Selatan ke Utara (kecamatan Kuripan) melaui jalur air dari Marabahan ke Kuripan kita melalui beberapa desa, yaitu: desa Banitan, Palingkau, Balukung, Jambu, Hampelas, Kabuau,  Jarenang, Palangkau dan desa Kuripan.

Konon ceritanya jalur air yang melewati 4 desa (Banitan, Palingkau, Balukung dan Jambu) pada mulanya hanya merupakan tanah rawa, selokan alami dan hanya diketahui sebagai jalan babi, rusa dan marga satwa lainnya. Selokan tersebut lama-lama saling terhubung menjadi parit (sungai kecil). Dengan derasnya arus air ke arah hulu, lama-lama parit semakin lebar sehingga dapat dilalui jukung, akhirnya tembus sampai ke desa Ulu Benteng sekarang. Selanjutnya diceritakan bahwa jukung yang didayung lima orang tersebut terus menghilir melalui parit, dan mereka pun ke desa Ulu Benteng.

Ulu Benteng pada mulanya masih merupakan hutan belukar. Nah di desa itulah mereka bermalam. Karena keadaan tanah cukup tinggi, mereka sepakat untuk menetap, akhirnya mendirikan hubung (gubuk). Akhirnya hanya dalam kurun waktu puluhan tahun mulailah orang-orang berdatangan dan tak heran tempat itu menjadi perkampungan yang dalam bahasa Bakumpai disebut Lebu (Banua).

Selama puluhan tahun mereka hidup bertetangga, aman ruhui rahayu. Tetapi apa yang terjadi, seiring dengan perjalanan waktu, pada suatu malam Banua tersebut terbakar dan menghabiskan semua rumah. Konon ceritanya sebelum terbakar, antara penduduk sudah saling bertengkar, berkelahi dan dihasut oleh pihak luar, sehingga akhirnya saling membakar. Setelah terbakar semua penduduk cerai berai, tak seorangpun yang tinggal. Mereka pindah. Ada yang ke hulu, ke hilir, tetap tidak jauh dari lokasi kebakaran.

Arus perpindahan ini dapat digambarkan sebagai berikut: perpindahan ke arah seberang disebut kampung lepasan, ke arah hulu disebut kampung Ulu Benteng, ke arah hilir meliputi beberapa kampung; yaitu kampung Pasar, kampung Bentok (Tengah), kampung Basahab, kampung Timbuk Ngambu, kampung Ngawa Masjid, kampung Sungai Madang, Kampung Jembatan Tiga, kampung Baliuk Ngaju, kampung Senali (Baliuk Ngawa), Kampung Bagus, kampung Sungai Lukut dan kampung Rumpiang.

.........Konon ceritanya bahwa di antara yang pindah ke hilir ada sebuah jukung (perahu) membawa seekor ayam jantan kambudiwasi (pada bagian ekor ada selembar bulu warna putih). Menurut kepercayaan mereka ayam tersebut bisa memberi isyarat tanda baik atau buruk. Tidak seberapa jauh dari tempat semula (+2 Km) ayam tersebut berkokok tiga kali. Mereka yakin kokok ayam tersebut adalah pertanda baik untuk singgah dan akan memulai hidup baru di tempat itu.

Alhasil mereka segera membersihkan hutan/semak sehingga dalam waktu tidak lama sudah berdiri rumah. Dalam kurun waktu selanjutnya penduduk bertambah banyak sehingga menjadi sebuah kampung.

Orang pertama yang mendirikan rumah, bernama Datu’ Jalul, dan rumahnya disebut rumah Dukup. Kampung tersebut adalah cikal bakal adanya kampung Bentok (Tengah) sekarang.


            Mengenai pendiri kampung Bentok (Tengah) ada sedikit informasi, sebagaimana terdapat dalam catatan silsilah Datu’ Jalul. Berdasarkan catatan tersebut, sang pendiri Datu’ Jalul bin Malik diperkirakan lahir sekitar antara tahun 1755-1760. Ia memiliki dua orang istri yang bernama Nurmi dan Halimah. Dari kedua istrinya inilah nantinya yang menurunkan orang-orang Bakumpai di kampung Bentok (Tengah). Adapun mengenai pembangunan rumah Dukup menurut catatan didirikan sekitar tahun 1785. Menurut para tetuha di Marabahan rumah ini merupakan salah satu yang tertua.3
            Selain Datu’ Jalul bin Malik, pada generasi sesudahnya ada beberapa orang tokoh agama dan pejuang yang lahir dari kampung ini. Seperti Panglima (Demang) Kendet, Panglima Bantaur, Panglima Punduh, Panglima Odi, Syeikh Datu’ Abdusshamad, H. Abdul Majid, H. Abdul Aziz (Ki Demang Wangsa Negara), H. Martaib (Singa Braja), Panglima Wangkang, Samauddin (Ki Rangga Niti Negara), Syeikh H. Abu Thalhah dan Qadhi H.M. Djafri.4
            Pada perkembangan berikutnya, menurut Helius5 berdasarkan laporan Schwaner, sejak abad ke-19 Bakumpai telah berubah menjadi sebuah distrik utama yang meliputi beberapa daerah disepanjang alur Barito, seperti: Balawang, Marabahan, Kuripan, Paminggir, Mengkatib, Patai, Siong, Dayu, Paku dan Karau. Selain itu sebutan Bakumpai juga digunakan untuk menyebut Negeri utama Marabahan atau Muara-bahan. Adapun mengenai kegiatan penduduknya, mereka bermata pencaharian sebagai pedagang. Menurut Schwaner orang-orang Marabahan memiliki ratusan armada perahu dagang. Sedangkan jumlah penduduknya pada tahun 1845 berjumlah 5265 orang. Pada umumnya orang-orang Bakumpai menganggap dirinya merdeka, meskipun mereka berada di mana saja, dan mereka hanya taat pada negeri induknya di Bakumpai.
            Bakumpai jika dilihat dari segi nilai strategisnya pada saat itu memang banyak memberikan keuntungan bagi penduduknya.

“Bakumpai adalah kunci bagi perdagangan kira-kira 2300 mil persegi geografis Borneo (Kalimantan). Produksi Negara dan Barito, dan sejumlah besar komoditi dari sungai Kapuas, dan sungai Kahayan, menemukan jalan mereka ke dunia perdagangan melalui negeri ini (Marabahan)”.6


Perjumpaan Islam dengan Bakumpai    

            Peralihan keyakinan keagamaan secara umum ataupun yang lebih terbatas pada region-region tertentu, tampaknya memiliki beberapa alasan, dan tidak hanya sebagaimana yang tertangkap dipermukaan, yang selalu bisa diukur secara empirik, misalnya lewat interaksi sosial antara kelompok pendatang dengan penduduk asli. Dalam konteks historis, interaksi sosial yang terjadi di masa lalu memungkinkan segala macam perjumpaan pada ranah agama dan budaya, yang berdampak pada adanya perubahan besar dalam kehidupan sekelompok masyarakat atau etnik. Perubahan besar tersebut misalnya seperti konversi agama suatu etnik, hal ini tentulah merupakan bagian dari peristiwa historis, dan alasan perjumpaan dalam ranah interaksi sosial merupakan alasan yang sangat logis untuk diterima ketimbang menerima sejumlah informasi yang sarat dengan nuansa magis. Tetapi di sinilah kadang-kadang perbedaan yang sangat kentara terlihat, masyarakat atau sekelompok etnik tertentu memiliki pemahaman sejarahnya sendiri, di mana unsur-unsur magis dan sakral merupakan sesuatu yang tak terpisahkan ketika mereka meramu sejarahnya. Sedangkan para sejarawan positivistik cenderung mereduksi sejumlah fakta, sejauh itu dianggap logis, yang sudah barang tentu membuang jauh-jauh kandungan unsur-unsur magis dan yang sakral dari sejarah, namun yang jelas antara keduanya berbeda secara epistemologis. Satu sisi, ini juga merupakan bentuk dominasi dari sejarah tulisan terhadap sejarah lisan, karena sejarah yang positivistik lebih mengutamakan kekuatan data tulisan ketimbang lisan. Data lisan sering dicurigai tidak memiliki kemurnian, serta akurasinya lemah.
            Jika diukur dari sudut pandang positivistik, penulisan sejarah mengenai  sejumlah etnik Dayak tentulah mengalami banyak kesukaran, dalam kasus Bakumpai misalnya, pencarian tentang data sejarah berupa catatan-catatan orang lokal terasa sangat sulit dijumpai selain dari informasi-informasi lisan, namun sekarang sumber informasi lisan itupun sudah mulai langka.
            Ketika berbicara tentang perjumpaan antara Islam dan Bakumpai dari sudut pandang informasi lisan, sudah pasti tidak bisa dipisahkan dari unsur-unsur magis dan sakral, keajaiban spiritual merupakan daya tarik yang luar biasa bagi orang-orang Bakumpai.
            Terkait dengan fenomena di atas, secara umum Reid tampaknya menyadari hal ini sebagaimana dalam kutipan sebagai berikut:7

Hampir seluruh kronik Asia Tenggara menggambarkan peristiwa-peristiwa gaib yang menyertai peralihan sebuah negara menjadi Islam, namun perbedaan di antara jenis campur tangan Ilahiah itu tentu perlu pula diperhatikan. Kronik-kronik Melayu seperti kronik Pasai, Melaka dan Patani tidak berbeda secara mencolok dengan cerita yang berasal dari bagian dunia lain. Titik berat kronik tersebut adalah pewahyuan lewat mimpi, seperti kronik tentang penguasa Pasai dan kemudian Melaka, atau kemudian mu’jizat wali Allah, seperti Shaikh Sa’id dari Pasai yang menyembuhkan penguasa Patani (Brown 1953 : 41-42, 52-54; “Hikayat Raja-Raja Pasai”, 116-120; Hikayat Patani,I: 71-75; lihat pembahasan teks-teks ini dalam Drewes 1968: 436-438). Kronik-kronik ini tidak ragu menggambarkan kekuasaan para penguasa dan asal-usul negara dengan menggunakan konsep kekuatan magis (kesaktian) yang berasal dari masa pra-Islam, namun tampak jelas deskripsi proses Islamisasi dijaga agar tetap berada di dalam batas-batas yang dapat diterima oleh kalangan Muslim disebagian besar dunia. Dalam tradisi Islam jawa dan Tradisi Banjar yang menjadi turunannya, kita menemukan unsur-unsur kepercayaan pra-Islam secara lebih terang-terangan. Motif perpindahan agama paling jelas ditunjukkan dalam Hikayat Bandjar adalah bahwa pemimipin jipang dari jawa timur ”sangat terkesima ketika melihat pancaran (cahaya) Raja Bungsu (yaitu: Raden Rahmat).” Dia berlutut di depan Raja Bungsu dan memohon untuk diislamkan (Hikayat Bandjar, 420).     

            Dari kutipan di atas, fenomena persentuhan Islam dengan dengan kepercayaan lokal diberbagai wilayah di Asia Tenggara, atau lebih sempit lagi Nusantara merupakan persentuhan yang dilandasi oleh perjumpaan pada kesamaan kecenderungan, yaitu adanya minat yang sama dalam merespon nilai-nilai spritualitas, daya tarik ritualnya, serta muatan dari pengalaman spiritual yang diperoleh. Secara kongkrit dan sederhana perjumpaan ini bisa dilihat ketika Islam masuk ke Nusanatara, yang tampak adalah dominannya unsur-unsur mistis yang menyertainya, yang sudah barang tentu lebih banyak menekankan pada hal-hal gaib. Begitu juga dengan tradisi-tradisi lokal di Nusantara, isi pengalaman keagamaan yang berhubungan dengan dunia gaib bukanlah sesuatu yang baru, tetapi merupakan roh dari tradisi itu sendiri. Dengan ungkapan lain perjumpaan Islam dengan kelompok-kelompok etnik di Nusantara didasarkan pada kedalaman penghayatan aspek religius-magis.
            Persoalan di atas, jika ditarik pada ranah yang lebih spesifik, yaitu dalam konteks perjumpaan Islam dengan etnik Dayak Bakumpai, maka terlihat perubahan yang sangat signifikan, di mana konversi berlangsung secara massif. Lagi-lagi daya tarik aspek religius-magis memiliki tarikan yang sangat kuat. Jika diamati dari ekspresi keagamaan orang-orang Bakumpai, maka dapat disimpulkan,  bahwa ketika mereka bersentuhan dengan Islam, yang pertama-tama mereka kenal adalah unsur-unsur mistisnya, sedangkan unsur-unsur doktrin formalnya agak sedikit belakangan. Meskipun demikian sangat berbeda  kasusnya jika dibanding dengan Islam jawa yang lebih kental nuansa sinkretisnya, sedangkan Islam Bakumpai tetap menekankan keseimbangan antara ranah eksoteris dan esotreis, atau dalam istilah yang populer dikalangan orang-orang Bakumpai keselarasan antara Syari’at, Thariqat, Haqiqat dan Ma’rifat.8
            Pernyataan di atas tidak berpretensi untuk menyimpulkan secara tergesa-gesa mengenai bentuk perjumpaan Islam dengan etnik Dayak Bakumpai. Anggapan di atas tentunya tidak hanya didasarkan pada ekspresi yang tampak dipermukaan saja, tetapi juga merujuk pada pengalaman-pengalaman yang multi-varian, dan diperkaya oleh informasi-informasi lisan lintas generasi, serta tingkah laku yang berhubungan dengan tindakan praktis religius. Tindakan praktis religius tidak hanya tercermin dalam kegiatan-kegiatan ritual, tetapi bagaimana mereka menyelaraskan serta meresapkannya dengan pengetahuan esoteris yang mereka milki.
            Sehubungan dengan persoalan di atas, informasi-informasi lisan serta pengalaman-pengalaman masa lalu yang telah diperoleh secara berantai, yang telah melintas bentangan zaman dari beberapa generasi, meskipun agak terbatas, namun sangat membantu dalam melihat bagaimana orang-orang Bakumpai mendefinisikan dirinya setelah mengalami perjumpaan dengan Islam pada masa-masa awal hingga enam generasi belakangan.

Pesona Sufisme Bagi Orang-Orang Bakumpai
            Secara umum, aura sufisme memiliki pesona yang sanggup mengubah peta kawasan dunia Timur pada masa-masa awal Islam, namun ini tidak dipahami dalam pengertian yang negatif semata-mata sebagai sebuah pertarungan politik, ini merupakan sisi lain dari perjumpaan lintas tradisi, atau perjumpaan antar kearifan.
            Kepulauan nusantara yang juga ditaburi aura sufisme, sebagaimana telah disinggung sebelumnya dalam tulisan Reid, perjumpaan dengan Islam dalam hal ini tidak selalu dilihat sebagai sebuah upaya pendekatan yang bersifat politis, misalnya sebuah negara taklukan mesti tunduk dengan suka rela atau terpaksa menerima agama baru dari penakluknya. Dalam konteks nusantara pendekatan yang bersifat politis pada satu sisi mungkin hanya merupakan efek sekunder. Alasan ini bisa dimafhumi karena pengaruh kuat sufisme tidak menyentuh fisik, tetapi justru menyentuh permukaan batin masyarakat lokal hingga ke dasarnya.
            Begitu juga dalam konteks Bakumpai, keislaman mereka bukanlah karena mereka orang-orang taklukan kerajaan Islam Banjar, mereka adalah orang-orang merdeka yang menganggap dirinya lebih dahulu memeluk Islam dari tetangganya orang Banjar.9
            Dari penuturan, tampaknya pengaruh kuat sufisme dalam perjumpaannya dengan orang-orang Bakumpai sangat intens sekali. Jejak-jejak ini masih tersisa dengan adanya beberapa individu dan kelompok-kelompok kecil yang tetap mempertahankan bentuk penghayatan agama melalui jalan mistis dengan tetap mempertahankan syari’at. 10
            Kecenderungan orang-orang Bakumpai pada masa awal dalam menghayati sufisme, sebagaimana berdasarkan tuturan lisan adalah karena semata-mata menganggap kehidupan Islam sufistik sebagai jalan yang ideal untuk mencapai kesempurnaan. Orang-orang Bakumpai sering menyebut ajaran-ajaran sufistik dengan istilah Ilmu Kasampurnaan, ilmu ini merupakan sarana menuju perjumpaan atau penyatuan dengan Yang Maha Agung, atau dalam istilah Bakumpai hasupa den ji-halus mate (berjumpa dengan Yang Maha Memiliki Penglihatan tajam/halus, secara hafiah berarti Yang Halus Mata).11
            Kemudian pada perkembangan berikutnya, Ilmu Kasampurnaan tidak lagi sepenuhnya menjadi sarana untuk mencapai perjumpaan atau penyatuan dengan Tuhan saja, tetapi mengalami perluasan fungsi, yang dimaksud dengan fungsi di sini adalah kegunaan yang berhubungan persoalan-persoalan keduniaan, misalnya untuk memperoleh kesaktian. Sehubungan dengan hal ini, ada beberapa macam pengertian tentang kesaktian yang ingin dicapai, yang meliputi: Ilmu Kataguhan (ilmu kebal senjata), Ilmu Gancang (ilmu kekuatan super), Ilmu Mam-palemo Sanaman (ilmu melemahkan Besi), Ilmu Banihau (ilmu menghilangkan diri), dan masih ada beberapa istilah tentang ilmu-ilmu kesaktian yang juga berafiliasi pada ritual-ritual yang bernuansa sufistik, atau dalam istilah lokal dengan praktek balampah. Di antara sekian macam ilmu kesaktian tersebut, ada ilmu yang menjadi puncak segala kesaktian, yang disebut dengan Ilmu Jida Balawan (ilmu tanpa perlawanan, di mana musuh segan tak berdaya). Konon ceritanya ketika orang mampu menguasai ilmu ini dengan sempurna, maka ketika ia menghadapi musuh, ia tidak perlu mengeluarkan energi untuk bertarung, tidak memerlukan kekebalan, karena musuh dengan sendirinya akan menjadi lemah tak berdaya. Selain itu kesaktian juga terkait dengan kemampuan menyembuhkan penyakit yang bersifat fisik dan ruhani (Ilmu Ketabiban).12
            Namun perluasan fungsi di atas pada dasarnya hanya merupakan bentuk sekunder dari perkembangan sufisme lokal. Kembali ke persoalan sebelumnya, mengenai penghayatan yang lebih murni ke jalan menuju sebuah perjumpaan melalui Ilmu Kasampurnaan, maka pengalaman kasyfi (penyingkapan spiritual) lebih bermakna nilainya dari kesaktian, meskipun tidak harus menolak efek-efek magis yang bersifat sekunder, yang muncul sebagai hasil dari pengamalan dan penghayatan Ilmu Kasampurnaan tersebut.
            Sisi lain yang lebih spesifik mengenai ketertarikan orang-orang Bakumpai terhadap sufisme adalah karena daya tarik karamah,  secara harfiah karamah berarti kemuliaan, dalam pandangan umum dipahami sebagai bagian integral dari kualitas spiritual yang dimiliki oleh para orang suci (Wali), karamah biasanya terkait dengan peristiwa-peristiwa magis atau berhubungan dengan keajaiban-keajaiban yang tidak lazim dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Karamah bukanlah sesuatu yang karena diusahakan, sebagaimana melalui praktek-praktek ritual untuk memperoleh kesaktian. Jika dalam hal ini riyadhah dan mujahadah ditujukan untuk memperoleh kesaktian, maka dalam konteks Ilmu Kasampurnaan yang lebih murni, riyadhah dan mujahadah ditujukan untuk mencapai kedekatan kepada Tuhan (al-Qurb). Karamah bukan tujuan, ia merupakan anugerah Tuhan yang tidak bisa ditolak, dan tidak juga dikehendaki oleh orang yang berkhidmat menuju perjumpaan dengan Yang Maha Agung. Contoh dari karamah itu misalnya seperti kemampuan seorang Wali yang dapat shalat mengawang-awang di udara, kemampuan berjalan di atas air, berwudhu dengan menceburkan diri ke dalam air, tetapi yang basah hanya anggota wudhunya saja. Namun kadang-kadang ada hal yang unik, di mana seseorang memperoleh karamah tanpa melalui riyadhah (olah spiritual) dan mujahadah (berjuang secara konsisten), fenomena ini dalam tradisi sufi disebut dengan jadzbah (tarikan langsung dari Tuhan), atau juga melalui inisiasi, yang berupa pemberkatan melalui kehadiran para Wali Allah atau dengan kehadiran salah seorang Nabi secara ruhaniyah.
            Kecenderungan sufi awal di Marabahan tampaknya yang lebih menonjol adalah ciri jadzbah-nya, kondisi jadzbah berlangsung hingga masuknya sufisme yang terlembaga seperti thariqat, paling tidak dari abad ke-17 hingga awal abad ke-18. dalam tradisi jadzbah, ada salah seorang sufi yang hidup se zaman dengan Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. Ia adalah Datu’ Sulaiman. Tokoh ini memang sangat unik.13 Pada mulanya ia bukanlah seorang yang taat beragama, menurut penuturan lisan, ia tidak pernah shalat hingga usia 40 tahun, namun pada usia ini pula ia memperoleh pencerahan spiritual, setelah mengalami titik balik, di mana ia berpaling dari urusan-urusan yang murni duniawi kepada hal-hal yang lebih religius. Pada saat itu pula ia mulai berfikir mendalami agama secara lebih serius, sehingga ia berniat untuk mempelajarinya. Untuk mewujudkan niatnya, ia mengajak dua orang kawannya  ke Martapura untuk belajar agama secara lebih intensif kepada Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, namun di tengah perjalanan ia berjumpa  dengan Khidr melalui pertemuan yang sangat unik, lalu ia diberi pemberkatan dan tidak jadi pergi ke Martapura. Setelah pertemuan itu ia mengalami perubahan yang sangat luar biasa, ia dianugerahi kecerdasan intuitif, sehingga ia mampu menyerap pengetahuan tanpa belajar, misalnya ia memilki kemampuan  berbahasa Arab tanpa pernah belajar, termasuk mengetahui isi kitab, tanpa mengenal sebelumnya kitab tersebut. Ia juga pernah menulis tafsir esoteris  tentang surah Yâsîn.14
            Setelah peristiwa perjumpaan dengan Khidr, menurut penuturan lisan Datu’ Sulaiman pernah berkirim surat kepada Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari dalam rangka mencocokkan pengetahuan spiritual yang telah diperolehnya, apakah bersesuaian dengan isi pengetahuan spiritual yang dimiliki Syeikh Arsyad. Dalam surat itu ia menulis hanya dengan satu huruf alif (), dan Syeikh Arsyad pun menjawab suratnya, dengan menyatakan kecocokannya.15 
            Pada fase berikutnya, yaitu abad ke-18, perkembangan sufisme di Marabahan mengarah pada aliran thariqat yang terlembaga, titik awal perubahan ini ditandai dengan kehadiran salah seorang anak dari Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, yaitu Mufti Jamaluddin yang kawin dengan penduduk lokal, yang bernama Samayah binti Sumandi. Kemudian dari pasangan ini lahir seorang putera yang bernama Abdusshamad, yang kelak di kemudian hari menjadi Wali besar di tanah Dayak, atau lebih dikenal dengan Datu’ Abdusshamad Bakumpai yang dikenal memiliki keunikan spiritual beserta karamah-karamahnya.16  
            Pada masa Datu’ Abdusshamad inilah puncak perkembangan sufisme di Marabahan, di mana ia mengembangkan thariqat Naqsyabandiyah dengan suluk-nya, dan juga thariqat Syadziliyah. Ia memilki banyak murid dari berbagai pelosok di Kalimantan Selatan dan Tengah, namun yang terlacak hanya murid-murid suluk-nya di Marabahan saja, sebagaimana yang diperoleh dari informasi lisan, di antaranya adalah: H.Muhammad Arsyad, H. Zawawi, Maswedah dan Wajinah.17
            Pengembangan thariqat pada fase berikutnya diteruskan oleh keturunannya, Syeikh H. Abu Thalhah, Qadhi H. Muhammad Djafri, Syeikh H. Muhammad Bidjuri dan Syeikh H. Muhammad Basiyuni.18
            Fase berikutnya menunjukkan bahwa perkembangan thariqat mengalami stagnasi, ajaran-ajaran sufistik mulai terpisah dari ingatan generasi sekarang, meskipun ada perkembangan yang menggembirakan dengan mulai dikembangkannya kembali thariqat.
            Namun pada sisi yang lain, bagaimanapun tetap saja ada sesuatu yang mengkhawatirkan, karena secara lisan, sejarah sudah mulai redup, jejaknya hampir musnah. Para tetuha satu demi satu mulai menghilang, sejarahpun secara perlahan turut menghilang ditelan bumi, karena sejarah bagi orang Bakumpai berada di ujung lidah mereka, sejarah bagi mereka tidak ditulis di atas kertas, tetapi disurat dalam ingatan. Inilah ambang batas yang memperihatinkan, ketika ingatan-ingatan tentang sejarah mereka “lupa” diwariskan ke generasi berikutnya.

Varian Islam Etnik Dayak yang Berada di Pinggiran Sejarah     
            Adanya kategori-kategori tentang etnik-etnik secara umum telah menciptakan posisi subordinate bagi keberadaannya. Terciptanya kategori-kategori tersebut selalu merujuk pada kepentingan kelas kolonial, dan memberi dampak pada muatan kesadaran etnik-etnik terjajah, yang kemudian diwariskan kepada generasi belakangan.
            Ketegori-kategori yang dimaksud terkait dengan bagaimana identitas dirumuskan berdasarkan konteks lokalitas tertentu. Dalam kasus ini misalnya muncul pembagian yang bersifat dikotomis ketika melihat hubungan antara agama dan etnik, yang lengkap dengan rujukan makna–makna yang diciptakan, dan kemudian ditempatkan pada ruang-ruang bawah sadarnya. Ketika orang menyebut kata Dayak, maka referensi yang tertanam di bawah sadar itu akan muncul secara “mekanik” ke permukaan pikiran. Gambaran-gambaran bawah sadar itu berreproduksi dan membantu tersusunnya makna yang mewujud secara artikulatif, serta memiliki kesan yang sangat mendalam. Kita bisa menyaksikan betapa mengakarnya makna tentang kata Dayak, yang selalu digunakan untuk menyebut non-muslim, identik sebagai orang Kristen atau orang Kaharingan. Pada satu sisi, ketika orang menyebut kata Melayu, maka pemaknaan itu merujuk pada identitas muslim. Dalam hal ini Melayu mengalami perluasan pemaknaan, “Melayu” bukan lagi identitas etnik yang bersifat tunggal dan asli, tetapi ia di-setting untuk menyerap kelompok etnik yang lain ke dalam identitas dirinya atas dasar kesamaan agama. 
            Kasus di atas tampaknya menyimpan sesuatu yang laten, yang tidak telalu jelas tampak dipermukaan realitas, ekspresi-ekspresi yang samar kadang-kadang seperti ingin menguatkan yang laten, tapi sekali lagi ini tidak terlepas dari kontruksi yang sangat kolonial, dan dibalik yang laten itu ada struktur nalar terbalik, yang setiap saat berperan menguatkan yang laten tersebut.
            Dalam konteks struktur nalar terbalik, identitas ditentukan oleh dua pertarungan kekuatan, antara simbol dan muatan yang terkandung di dalamnya. Dari kasus di atas, konstruk tentang “Melayu” dicitrakan memiliki karakter yang kuat untuk mencerminkan Islam, “Melayu” bisa menjadi kata ganti untuk Islam dalam rangka menjelaskan Islam itu sendiri. Sedangkan “Dayak” berada dalam posisi subordinate ketika berdampingan dengan agama. Pencitraan yang dimunculkan di sini, posisi Kristen lebih dominan untuk mencerminkan “Dayak”, atau dalam refensi lokal, Kristen merupakan kata ganti dari “Dayak”, atau dalam istilah Banjar sering disebut urang sabalah.  
            Berdasarkan cerminan di atas, tampaknya sejarah agama dan etnik di tingkat lokal dibangun melalui struktur nalar terbalik, sehingga bisa jadi pada dasarnya kita terkurung dalam medan magnet referensi pemaknaan yang sangat kolonial. Dalam struktur nalar terbalik ini ada yang dikuatkan dan ada yang dlemahkan.
            Efek lain dari struktur nalar terbalik yang dikotomis ini adalah telah berperan menutup realitas tentang Dayak itu sendiri, pemaknaan tentang Dayak dilemahkan, referensi pemaknaannya dikacaukan.              Dayak tidak lagi dilihat sebagai sebuah realitas plural, Dayak terkurung dalam identitas yang di setting  dalam kata gantinya, sehingga identitas lain menjadi sub-altern, misalnya Islam dan Kaharingan. Dengan demikian Dayak telah mengalami pengerucutan dari segi keluasan cakupannya, apa yang selain Kristen dalam konstruksi kolonial berupaya dieksklusikan, namun identitas Kaharingan adalah varian lain yang tidak bisa dipisahkan dari ke-Dayakan, meskipun ada streotype negatif yang selalu mengiringinya, misalnya yang sudah umum, “makan orang”, mangayau dan lain sebagainya. sedangkan ketika terjadi perjumpaan antara Dayak dengan Islam maka identitas ke-Dayakan itu mengalami pengaburan. Ada semacam rasa takut yang diciptakan terhadap rasa ke-Dayakan ketika menjadi Islam, padahal Dayak itu sendiri merupakan kesatuan identitas yang menaungi keragaman sub etniknya tanpa harus membedakan agamanya. Namun stereotype-stereotype yang dibentuk berdasarkan perspektif kolonial ini terlanjur menyebar secara pervasif ke dalam ingatan-ingatan, sehingga  menabiri realitas lain, yaitu perjumpaan Islam dan Dayak.
            Dengan demikian selama ini Dayak Islam diisolir dalam sangkar identitas yang lain, juga dalam peta sejarah, ia berada dipinggiran narasi besar dan hampir tanpa sejarah. Paling tidak Dayak Islam dalam posisi ini telah menjelma menjadi sebuah sejarah sub-altern.
            Memunculkan Dayak Islam dalam konteks sejarah sub-altern, tidak lain sebagai sebuah counter narasi yang mencoba melepaskan pandangan-pandangan atau streotype hegemonik. Dengan ungkapan lain Dayak Islam sebenarnya memiliki varian lain dengan kekhasan lokalitasnya, yaitu Islam Bakumpai. Ini membuktikan bahwa Dayak Islam tidak selalu Melayu. Karena kuatnya asumsi terhadap ke-Melayuan itulah, maka Islam Bakumpai tidak pernah dikaji sebagai yang khas Dayak.
            Terhadap persoalan di atas, mungkin definisi tentang Dayak perlu ditata ulang dengan membuang kandungan muatan streotype yang menjajah ingatan selama beberapa generasi. Dayak harus didefinisikan secara utuh, di mana apa yang seharusnya tercakup di dalamnya terakomodir, serta tidak bertentangan dengan realitas lokalnya. Dengan demikian identitas yang terbelah oleh tajamnya pisau kolonial harus ditautkan kembali.


Penutup
           
            Air terus mengalir di antara celah-celah anak sungai, berapapun banyaknya anak sungai itu ia memiliki muara yang satu, begitu pulalah dengan keragaman etnik atau sub etnik Dayak.
            Selama ini tampaknya ada aliran anak sungai yang tersumbat salurannya oleh banyak macam ragam sampah identitas yang turut mengalir di dalamnya, sehingga air kehidupan tidak terlalu lancar mengalir ke anak sungai lainnya, oleh sebab itulah segala macam ragam sampah identitas tadi bisa merusak harmonitas antar sub etnik.
            Membiarkannya hidup mengalir apa adanya mungkin lebih baik, tanpa harus mencemarinya, karena di sanalah keindahan warna-warni keragaman menghiasinya.         
            Bagaimana pun, pada dasarnya Dayak Muslim tidak bisa dipisahkan dari sub etnik lainnya, karena urat nadinya mengalirkan darah yang sama, sehingga secara emosional tidak pernah terputus dari pikiran dan ingatan. Mungkin dalam konteks ini semangat Bahampahari perlu disegarkan kembali.

 Dipresentasikan dalam annual conference Kajian Islam di Lembang, Bandung, tanggal 26-30 Nopember 2006. Staff Pengajar jurusan Teologi dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin,  IAIN Antasari Banjarmasin. 


 Dipresentasikan dalam annual conference Kajian Islam di Lembang, Bandung, tanggal 26-30 Nopember 2006. OLeh Ahmad SyadzaliStaff Pengajar jurusan Teologi dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin,  IAIN Antasari Banjarmasin.

Footnote :
1 Z.A. Maulani, “Pedalaman Kalimantan: Kearifan Budaya dan Etnik” dalam Demokrasi dan Pembangunan Daerah, CRDS, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000 h.140-141.
2 Bran. S, Lebu Bakumpai, tth, tanpa halaman. Versi lain menyebutkan bahwa Datu’ Bahandang Balau bukan berasal dari Spanyol, tetapi menurut pendapat lain berkebangsaan Portugis.
3 Dalam Catatan Silsilah.
4 Dalam Lebu Bakumpai, dan beberapa informasi lainnya.
5 Helius Sjamsuddin, Pagustian dan Temenggung Akar sosial, Politik, Etnis dan Dinasti. Perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah 1859-1906. Balai Pustaka, Jakarta, 2001. h. 45-46.
6 Ibid. h. 49.
7 Anthony Reid, Charting the shape of early modern south east Asia, terj. Sori Siregar (et al.) (Sejarah Modern Awal di Asia Tenggara), LP3ES, Jakarta, 2004. h.20-22.
8 Informasi diperoleh dari HMS.
9 Dari informasi lisan, juga sebagaimana terdapat dalam Helius Sjamsuddin.
10 Bagi mereka, pengetahuan esoteris (kebatinan) tidak semata-mata diperbincangkan, tetapi dihayati secara mendalam dalam rangka menuju peniadaan diri, orang-orang yang hidup di zaman ini menganggap pengetahuan tersebut antik dan langka, mereka biasanya menyebutnya ilmu Uluh Batuh (ilmu orang terdahulu).
11 Informasi dari MZ. Dalam bahasa yang umumnya di kenal di dunia Islam disebut dengan al-Lathîf, yang merupakan salah satu nama Tuhan dari 99 nama.
12 Informasi diperoleh dari HMS.
13 Informasi dari HS.
14 Informasi dari MZ.
15 Informasi dari MZ.
16 Lihat Ahmad Syadzali, “Gerakan Tashawwuf Lokal al-‘Alimul ‘Allamah Syeikh Datu’ ‘Abdusshmad Bakumpai di Tanah Dayak” dalam Jurnal Kandil, edisi 4 tahun II, Februari 2004, yang juga merujuk kepada Manaqib.
17 Informasi dari HMS.
18 Informasi dari HN dan HMS.


Selasa, 09 Juli 2013

SUKU DAYAK SAMPIT






Sampit adalah ibu kota Kabupaten Kotawaringin Timur di Kalimantan Tengah, Indonesia. Sampit merupakan salah satu permukiman tertua di Kabupaten Kotawaringin Timur, nama kota ini sudah ada disebut di dalam Kakawin Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 maupun di dalam Hikayat Banjar yang bagian terakhirnya ditulis pada tahun 1663.Sampit sebagai Ibukota Kabupaten Kotawaringin Timur merupakan salah satu kota terpenting di Provinsi Kalimantan Tengah. Di samping karena secara ekonomis merupakan daerah kabupaten yang relatif maju juga karena terletak di posisi yang strategis. Dilihat dari peta regional Kalimantan Tengah, kota Sampit sebelumnya terletak di tengah-tengah dan ini menyebabkan posisinya sangat strategis. Misalnya, warga dari Buntok mau ke Pulau Jawa, maka akan lebih dekat jika melewati Kota Sampit daripada harus ke Kota Banjarmasin. Begitu pun kalau dari Palangkaraya, Kuala Pembuang, maupun Kasongan. Jadi, posisi strategis tersebut akan meningkatkan keunggulan komparatif pelabuhan laut Sampit yang dimiliki daerah ini, terutama akan menarik perekonomian dari kabupaten yang ada di sekitar wilayah Kotawaringin Timur.

Batang Danum Kupang Bulan
Kota Sampit terletak di tepi Sungai Mentaya. Dalam bahasa Dayak Ot Danum, Sungai Mentaya itu disebut batang danum kupang bulan (Masdipura; 2003). Sungai Mentaya ini merupakan sungai utama yang dapat dilayari perahu bermotor, walaupun hanya 67 persen yang dapat dilayari. Hal ini disebabkan karena morfologi sungai yang sulit, endapan dan alur sungai yang tidak terpelihara, endapan gosong, serta bekas-bekas potongan kayu.

Hingga kini, yang masih menjadi pertanyaan banyak orang adalah asal kata Sampit itu sendiri. Versi Pertama menyatakan bahwa orang pertama yang membuka daerah kawasan Sampit pertama kali adalah orang yang bernama Sampit yang berasal dari Bati-Bati, Kalimantan Selatan sekitar awal tahun 1700-an. Sebagai bukti sejarah, makam “Datu” Sampit sendiri dapat ditemui di sekitar Basirih. “Datu” Sampit mempunyai dua orang anak yaitu Alm. “Datu” Djungkir dan “Datu” Usup Lamak. Makam keramat “Datu” Djungkir dapat ditemui di daerah pinggir sungai mentaya di Baamang Tengah, Sampit dengan nisan bertuliskan Djungkir bin Sampit. Sedangkan makam “Datu” Usup Lamak berada di Basirih.

Menurut sumber lainnya, kata Sampit berasal dari bahasa Tionghoa yang berarti “31” (sam=3, it=1). Disebut 31, karena pada masa itu yang datang ke daerah ini adalah rombongan 31 orang Tionghoa yang kemudian melakukan kontak dagang serta membuka usaha perkebunan (Masdipura; 2003). Hasil usaha-usaha perdagangan perkebunan ketika itu adalah rotan, karet, dan gambir. Salah satu areal perkebunan karet yang cukup besar saat itu yakni areal di belakang Golden dan Kodim saat ini.

Benua Usang
Pada 1836, penduduk kemudian pindah ke Seranau yang dulunya bernama Benua Usang (sekarang: Mentaya Seberang) di mana para pedagang-pedagang Tionghoa waktu itu juga mulai berdatangan dan menetap di sana. Namun, sesuai kepercayaan masyarakat Tionghoa, bahwa suatu kota harus dibangun menghadap matahari terbit. Sedangkan Seranau menghadap matahari terbenam,yang menurut perhitungan hongsui Tionghoa dianggap kurang baik. Karena itulah, mereka membangun pemukiman baru diseberang Seranau (Sampit sekarang) yang menghadap matahari terbit.

Kerajaan Sungai Sampit
Versi lain, menurut legenda rakyat setempat yang masih hidup kini, bahwa Sampit pada masa itu berbentuk sebuah kerajaan bernama Kerajaan Sungai Sampit dan diperintah oleh Raja Bungsu. Sang baginda memiliki dua putra masing-masing Lumuh Sampit (laki-laki) dan Lumuh Langgana (perempuan). Diceritakan, kerajaan Sungai Sampit akhirnya musnah akibat perebutan kekuasaan antara saudara kandung tersebut.

Lokasi kerajaan Sungai Sampit ini diperkirakan sekitar perusahaan PT Indo Belambit sekarang (Desa Bagendang Hilir). Beberapa tahun lampau, tiang bendera kapal bekas kerajaan yang terbuat dari kayu ulin besar masih ada dan terkubur lumpur di bawah dermaga PT Indo Belambit tersebut. Bukti-bukti lain yang menguatkan dugaan ini,bahwa di lokasi tersebut pernah pula ditemukan pecahan keramik takala dilakukan penggalian alur parit. Bukti ini kian menguatkan dugaan bahwa di lokasi ini pernah ada Kerajaan Sungai Sampit yang pada masa itu sudah mengadakan kontak dagang dengan bangsa-bangsa luar seperti dari Tiongkok, India bahkan Portugis.

Diperkirakan, Kerajaan sungai Sampit berdiri pada masa kekuasaan Dinasti Ming di Tiongkok (abad ke-13).Hal ini dapat dicermati dari ramainya lalu lintas perdagangan dari Tiongkok yang demikian maju sampai kemudian runtuhnya Dinasti Ming dan merek banyak yang lari kearah selatan (Kalimantan). Diceritakan pula, bahwa Puteri Junjung Buih, istri dari Pangeran Suryanata, pernah pula berkunjung ke kerajaan sungai Sampit. Seperti diketahui, Pangeran Suryanata (berkuasa antara 1400-1435) adalah seorang pangeran dari kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Prabu Wirakarrama Wardhana sekitar 1389-1435 (Masdipura; 2003).

Putri Junjung Buih
Bila ditelisik lebih jauh, Kerajaan Sungai Sampit ini usianya lebih tua dari Negara Dipa (abad ke-14),sehingga di buku Negarakertagama, Kesultanan Banjar (1526) tidak tertulis karena merupakan dinasti penerus dari Kerajaan Negara Dipa, kerajaan Hindu yang terletak di tepi sungai Tabalong. Terbukti pula, kala Putri junjung Buih hendak dikawinkan dengan Pangeran suryanata,40 kerajaan besar dan kecil pada waktu itu bermufakat untuk menyerang Negara Dipa. Namun, mereka dapat ditaklukkan dan sejak itulah kerajaan-kerajaan itu menjadi vazal Kerajaan Banjar. Bukti-bukti ini dapat ditelusuri pada Traktat Karang Intan di mana Sampit sebagai salah satu wilayah yang diserahkan kepada VOC.

Kota Sampit juga pernah disebut-sebut di dalam buku kuno Negarakertagama. Pada masa itu disebutkan, terutama pada masa keemasan Kerajaan majapahit, yang diperintah oleh Raja Hayam Wuruk dengan mahapatihnya yang tersohor yaitu Gajah Mada.Di salah satu bagian buku yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada 1365 itu disebutkan, bahwa pernah dilakukan ekspedisi perjalanan Nusantara di mana salah satu tempat yang mereka singgahi adalah Sampit dan Kuala Pembuang.

Kata Dayak dalam bahasa lokal Kalimantan berarti orang yang tinggal di hulu sungai. Hal ini mengacu kepada tempat tinggal mereka yang berada di hulu sungai-sungai besar. Agak berbeda dengan kebudayaan Indonesia lainnya yang pada umumnya bermula di daerah pantai, masyarakat suku Dayak menjalani sebagian besar hidupnya di sekitar daerah aliran sungai pedalaman Kalimantan.
Dalam pikiran orang awam, suku Dayak hanya ada satu jenis. Padahal sebenarnya mereka terbagi ke dalam banyak sub-sub suku. Menurut J.U. Lontaan, terdapat sekitar 405 sub suku Dayak yang memiliki kesamaan sosiologi kemasyarakatan namun berbeda dalam adat-istiadat, budaya dan bahasa yang digunakan. Perbedaan tersebut disebabkan oleh terpencarnya masyarakat Dayak menjadi kelompok-kelompok kecil dengan pengaruh masuknya kebudayaan luar.

Setiap sub suku Dayak memiliki budaya yang unik dan memberi ciri khusus pada komunitasnya. Misalnya tradisi memanjangkan telinga yang dilakukan oleh wanita suku Dayak Kenyah, Kayan dan Bahau. Lalu ada juga tradisi kayau atau perburuan kepala tokoh-tokoh masyarakat yang menjadi musuh suku Dayak Kendayan.
Itulah sekilas warna-warni sub suku Dayak yang menghuni pulau Borneo. Semoga dengan makin mengenal keragaman budaya bangsa makin memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.

Suku Dayak Sampit adalah subetnis Dayak Ngaju yang mendiami sepanjang tepian daerah aliran sungai Sampit atau sungai Mentaya di Kabupaten Kotawaringin Timur,  Kalimantan Tengah. Suku Dayak Sampit merupakan suku baru yang muncul dalam sensus tahun 2000 dan merupakan 9,57% dari penduduk Kalimantan Tengah, sebelumnya suku Sampit tergabung ke dalam suku Dayak pada sensus 1930.
Suku Dayak Ngaju (Biaju) adalah suku asli di Kalimantan Tengah. Suku Ngaju merupakan suku baru yang muncul dalam sensus tahun 2000 dan merupakan 18,02%  dari penduduk Kalimantan Tengah, sebelumnya suku Ngaju tergabung ke dalam suku Dayak dalam sensus 1930.


Kebudayaan Dayak Sampit
Bahasa Sampit
Bahasa Sampit adalah sebuah bahasa Melayu Dayak/Malayic Dayak (Austroanesi) yang dituturkan di kecamatan Baamang, Seranau dan Mentawa Baru, Kabupaten Kotawaringin Timur, provinsi Kalimantan Tengah, Indonesia. Bahasa Sampit salah satu dari 9 bahasa dominan yang terdapat di Kalimantan Tengah.
Bahasa Sampit adalah sebuah bahasa yang wilayah pemakaiannya meliputi kecamatan Baamang, Mentawa Baru dan Seranau di kabupaten Kotawaringin Timur yaitu salah satu kabupaten di propinsi Kalimantan Tengah. Kabupaten ini berbatasan langsung dengan dua kabupaten baru dari hasil pemekaran wilayah pada tahun 2002 yaitu kabupaten Katingan dan kabupaten Seruyan.
Daerah Sampit terletak di sepanjang tepi sungai Mentaya, dalam bahasa Ot Danum sungai Mentaya ini disebut “batang danum kupang bulau” (‘sungai tempat emas’). Nama yang populer di kalangan masyarakat ini menarik karena kehidupan masyarakat Sampit dahulu tidak terpisahkan dari sungai. Daerah hunian masyarakat yang terletak berseberangan di sepanjang aliran sungai ini memungkinkan penduduknya bermata pencaharian utama sebagai peladang, pemilik kebun karet, dan pencari rotan di hutan. Kotawaringin Timur sebagai sebuah kabupaten luas wilayahnya 17.000 Kilometer persegi. Setelah pemekaran wilayah penduduknya mencapai 284.043 jiwa. Kabupaten ini terdiri dari 10 kecamatan, yang ibukotanya adalah Sampit yang terletak di Mentawa Baru.
Selain di kota Sampit, bahasa Sampit juga dipakai di Baamang wilayah kecamatan Baamang dan Mentaya Seberang wilayah Kecamatan Seranau.
Pada mulanya penduduk asli penutur bahasa Sampit bermukim di kampung-kampung yang saling berjauhan letaknya tersebar di daerah aliran sungai. Mobilitas penduduknya terhambat akibat kondisi geografis yang terisolasi. Lagi pula kampung-kampung itu kebanyakan terpencil oleh hutan rimba, rawa-rawa, bukit dan sungai mempersulit kontak antar kelompok. Keadaan seperti itu menyebabkan penutur bahasa yang sama setelah terpisah dalam kelompok-kelompok lama kelamaan menjadi kendala saling paham semakin berkurang.
Dengan demikian, karena kondisi geografis di sekitarnya, bahasa Sampit yang semula mempunyai tingkat saling paham yang tinggi dengan bahasa Tamuan dan Mentaya 2 lama kelamaan terpisah sebagai bahasa yang berbeda. Sedangkan, wilayah pakai bahasa Sampit di Sampit, Baamang dan Mentaya Seberang masih memiliki tingkat pemahaman yang tinggi. Sampit mulai muncul sebagai isu nasional ketika terjadi konflik antar etnik pada awal tahun 2001. Kemudian peristiwa itu memicu bangkitnya semangat etnosentris etnik Dayak yang mempererat hubungan etnik Sampit dan dayak Ngaju karena penghormatan kepada tradisi leluhur yang sama. Hubungan budaya itu secara kronologis berkembang dalam perjalanan waktu karena hubungan yang ada sekarang merupakan kelanjutan dari masa lampau. Mitologi mereka menuturkan adanya hubungan etnis Sampit dan Dayak Ngaju karena tradisi leluhur yang dipelihara dan melalui bahasa ritual yang dimanfaatkan menjalin hubungan dengan para leluhur mereka merupakan bukti kebersamaan Sampit dan Dayak Ngaju.
Budaya Sampit yang peduli terhadap tradisi itu memperlihatkan bukti adanya pertalian antar bahasa dan budaya Sampit sebagai kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Bukti kebersamaan etnik Sampit dan Dayak Ngaju lainnya juga dapat dilihat dari adanya bangunan peninggalan berupa Sandung di wilayah Sampit dan Mentaya seberang. Sandung, merupakan bangunan tinggi berukuran kecil terbuat dari kayu besi yang dihiasi ukiran-ukiran indah dan ditempatkan di pekarangan rumah, tempat untuk menyimpan abu tulang belulang nenek moyang atau kerabat yang telah meninggal. Di sekitar sandung berdiri pula tiang-tiang peringatan (sapundu) penyembelihan hewan korban yang didirikan setelah upacara tiwah.
Tiwah adalah upacara pembakaran tulang dari orang yang telah meninggal, merupakan upacara yang terpenting dalam ritus kematian masyarakat Dayak ngaju. Hal ini menunjukkan bahwa budaya Sampit juga mengenal adanya upacara tiwah dalam rangkaian ritual adat kematian.
Masih terdapat silang pendapat tentang status bahasa Sampit di kalangan para sarjana. Pendapat yang dikemukakan oleh Hudson (1967) secara tersurat mengenai status bahasa Sampit menarik perhatian karena ia memasukan bahasa Sampit ke dalam subkelompok Melayu. Pendapat ini tidak didukung oleh sejumlah fakta yang dikemukakan oleh sarjana lain yang berpendapat bahwa bahasa Sampit lebih dekat hubungannya dengan bahasa Dayak Ngaju.

Agama dan Keyakinan

Etnis Dayak sebagai salah satu etnis di Indonesia, merupakan etnis terbesar yang menghuni pulau Kalimantan. Etnis ini tersebar merata mulai dari Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan hingga Kalimantan Timur. Etnis Dayak umumnya tinggal di daerah aliran sungai dan daerah pantai. Hal ini dapat diketahui dengan tumbuhnya kota-kota ditepi sungai besar, seperti Pontianak yang berada di muara sungai Kapuas, Palangkaraya yang berada di tepi laut Jawa, Banjarmasin yang berada di aliran sungai Barito, Balikpapan dan Samarinda yang berada di tepi selat Makassar.  
Menurut kepercayaan Dayak, asal–usul nenek moyang suku Dayak diturunkan dari langit yang ketujuh ke dunia dengan menggunakan Palangka Bulau (tandu suci yang terbuat dari emas). Mereka diturunkan dari langit ke dunia di empat tempat yaitu: di Tantan Puruk Pamatuan di hulu Sungai Kahayan dan Barito, di Tantan Liang Mangan Puruk Kaminting (Bukit Kaminting), di Datah Takasiang, hulu sungai Rakaui (Sungai Malahui Kalimantan Barat), dan di Puruk Kambang Tanah Siang (hulu Barito). Dari tempat–tempat tersebut kemudian tumbuh dan berkembang dalam tujuh suku besar yaitu: Dayak Ngaju, Dayak Apu Kayan, Dayak Iban  dan Hebab, Dayak Klemantan atau Dayak Darat, Dayak Murut, Dayak Punan dan Dayak Ot Danum.

Kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Dayak pada awalnya adalah Hindu Kaharingan yang berarti “air kehidupan” (Koentjaraningrat, 1990). Agama Islam mulai berkembang sejak abad ke-XV ketika kerajaan Hindu Mulawarman mengalami kemunduran. Agama Islam di Kalimantan berkembang dengan pesat terutama di daerah pesisir selatan mulai dari Balikpapan di Kalimantan Timur, Banjarmasin di Kalimantan Selatan hingga Palangkaraya di Kalimantan Tengah.

Penyebaran Islam ini melalui interaksi dan pernikahan antara etnis Dayak dengan etnis pendatang yang beragama Islam seperti Madura, Jawa, Arab dan Melayu. Adanya interaksi dan perkawinan campuran tersebut banyak mendorong etnis Dayak untuk masuk Islam, sedangkan etnis Dayak yang tidak mau memeluk agama Islam umumnya menyingkir ke pedalaman dan mempertahankan adat istiadat. Sehingga terjadilah pameo, etnis Dayak yang beragama Islam umumnya tinggal di pesisir pantai dan orang Dayak non Islam mengungsi di pedalaman.

Suku Dayak terbagi dalam Dayak Muslim dan Non Muslim. Yang termasuk Dayak Muslim adalah Suku Dayak Bakumpai, Suku Dayak Bukit, Suku Dayak Sampit, Suku Dayak Paser, Suku Dayak Tidung, Suku Dayak Melanau, Suku Dayak Kedayan, Suku Dayak Embaloh, Suku Dayak Sintang, Suku Dayak Sango dan Suku  Dayak Ngabang.
Sedangkan suku Dayak Non Muslim jumlahnya lebih banyak lagi. Yaitu Suku Dayak Abal, Suku Dayak Abai, Suku Dayak Banyadu, Suku Dayak Bakati, Suku Dayak Bentian, Suku Dayak Benuaq, Suku Dayak Bidayuh, Suku Dayak Darat, Suku Dayak Dusun, Suku Dayak Dusun Deyah, Suku Dayak Dusun Malang, Suku Dayak Kenyah, Suku Dayak Lawangan, Suku Dayak Maanyan, Suku Dayak Mali, Suku Dayak Mayau, Suku Dayak Meratus, Suku Dayak Mualang, Suku Dayak Ngaju, Suku Dayak Ot Danum, Suku Dayak Samihim dan lain-lain yang diperkirakan jumlahnya mencapai tiga ratus sub suku.
Keenian
Suling Balawung


Suling balawung merupakan pembuktian bahwa apresiasi kedudukan wanita dalam masyarakat dayak bukan lah hanya isapan jempol semata ini di butikan dengan penghargaan tertinggi terhadap peran kaum wanita dayak turut di berikan dalam aspek apresiasi bermusik yang menciptakan suling balawung sebagai bentuk suling khusus bagi perempuan dayak.
-  Karungut
Menurut kepercayaan suku dayak di kalimantan tengah , pada jaman dahulu manusia di turunkan dari langit bersamaan palangka bulau ( tetek tatum ). pada waktu berada di bumi paangka bulau adalah alat untuk menurunkan manusia dari langit ke bumi oleh ranying hatalla langit atau dewa para petinggi suku dayak . maka , dari itulah mulai adanya alunan suara atau tembang-tembang. maka sejak itulah karungut muncul.bahasa yang digunakan dalam karungut adalah bahasa sangiang atau sejenis bahasa dayak ngaju. yang sangat tinggi sastra nya di gunakan dalam upacara adat dan berkomunikasi dengan roh halus.


Tari Dayak Sampit
Tarian bausik rasa merupakan garapan baru yang diolah secara kontemporer tanpa meninggalkan akar budaya dayak pedalaman sampit. Yang bermakna memadu kasih. mengisahkan serangkaian perjalanan muda mudi dayak sampit dari awal pertemuan, masa pacaran hingga perkawinan..dengan kekuatan cinta yang mengakar , menjadikan cinta mereka abadi sampai maut memisahkan.

Bahasa Sampit adalah sebuah bahasa yang wilayah pemakaiannya meliputi kecamatan Baamang, Mentawa Baru dan Seranau di kabupaten Kotawaringin Timur yaitu salah satu kabupaten di propinsi Kalimantan Tengah. Kabupaten ini berbatasan langsung dengan dua kabupaten baru dari hasil pemekaran wilayah pada tahun 2002 yaitu kabupaten Katingan dan kabupaten Seruyan. Daerah Sampit terletak di sepanjang tepi sungai Mentaya, dalam bahasa Ot Danum sungai Mentaya ini disebut “batang danum kupang bulau”.

Nama yang populer di kalangan masyarakat ini menarik karena kehidupan masyarakat Sampit dahulu tidak terpisahkan dari sungai. Daerah hunian masyarakat yang terletak berseberangan di sepanjang aliran sungai ini memungkinkan penduduknya bermata pencaharian utama sebagai peladang, pemilik kebun karet, dan pencari rotan di hutan.Kotawaringin Timur sebagai sebuah kabupaten luas wilayahnya 17.000 Kilometer persegi. Setelah pemekaran wilayah penduduknya mencapai 284.043 jiwa. Kabupaten ini terdiri dari 10 kecamatan, yang ibukotanya adalah Sampit yang terletak di Mentawa Baru. Selain di kota Sampit, bahasa Sampit juga dipakai di Baamang wilayah kecamatan Baamang dan Mentaya Seberang wilayah Kecamatan Seranau.

Pada mulanya penduduk asli penutur bahasa Sampit bermukim di kampung-kampung yang saling berjauhan letaknya tersebar di daerah aliran sungai. Mobilitas penduduknya terhambat akibat kondisi geografis yang terisolasi. Lagi pula kampung-kampung itu kebanyakan terpencil oleh hutan rimba, rawa-rawa, bukit dan sungai mempersulit kontak antar kelompok. Keadaan seperti itu menyebabkan penutur bahasa yang sama setelah terpisah dalam kelompok-kelompok lama kelamaan menjadi kendala saling paham semakin berkurang. Dengan demikian, karena kondisi geografis di sekitarnya, bahasa Sampit yang semula mempunyai tingkat saling paham yang tinggi dengan bahasa Tamuan dan Mentaya2 lama kelamaan terpisah sebagai bahasa yang berbeda. Sedangkan, wilayah pakai bahasa Sampit di Sampit, Baamang dan Mentaya Seberang masih memiliki tingkat pemahaman yang tinggi.

Sampit mulai muncul sebagai isu nasional ketika terjadi konflik antar etnik pada awal tahun 2001. Kemudian peristiwa itu memicu bangkitnya semangat etnosentris etnik Dayak yang mempererat hubungan etnik Sampit dan dayak Ngaju karena penghormatan kepada tradisi leluhur yang sama. Hubungan budaya itu secara kronologis berkembang dalam perjalanan waktu karena hubungan yang ada sekarang merupakan kelanjutan dari masa lampau. Mitologi mereka menuturkan adanya hubungan etnis Sampit dan Dayak Ngaju karena tradisi leluhur yang dipelihara dan melalui bahasa ritual yang dimanfaatkan menjalin hubungan dengan para leluhur mereka merupakan bukti kebersamaan Sampit dan Dayak Ngaju. Budaya Sampit yang peduli terhadap tradisi itu memperlihatkan bukti adanya pertalian antar bahasa dan budaya Sampit sebagai kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Bukti kebersamaan etnik Sampit dan Dayak Ngaju lainnya juga dapat dilihat dari adanya bangunan peninggalan berupa Sandung di wilayah Sampit dan Mentaya seberang. Sandung, merupakan bangunan tinggi berukuran kecil terbuat dari kayu besi yang dihiasi ukiran-ukiran indah dan ditempatkan di pekarangan rumah, tempat untuk menyimpan abu tulang belulang nenek moyang atau kerabat yang telah meninggal. Di sekitar sandung berdiri pula tiang-tiang peringatan (sapundu) penyembelihan hewan korban yang didirikan setelah upacara tiwah3. Tiwah adalah upacara pembakaran tulang dari orang yang telah meninggal, merupakan upacara yang terpenting dalam ritus kematian masyarakat Dayak ngaju. Hal ini menunjukkan bahwa budaya Sampit juga mengenal adanya upacara tiwah dalam rangkaian ritual adat kematian.

Masih terdapat silang pendapat tentang status bahasa Sampit di kalangan para sarjana. Pendapat yang dikemukakan oleh Hudson (1967) secara tersurat mengenai status bahasa Sampit menarik perhatian karena ia memasukan bahasa Sampit ke dalam subkelompok Melayu. Pendapat ini tidak didukung oleh sejumlah fakta yang dikemukakan oleh sarjana lain yang berpendapat bahwa bahasa Sampit lebih dekat hubungannya dengan bahasa Dayak Ngaju.
Sesuai dengan uraian di atas, penelitian ini cenderung lebih menerima pendapat yang terakhir karena diasumsikan hubungannya yang erat antara budaya dan bahasa dayak yang memperlihatkan kedekatan hubungan antara bahasa Sampit dan Dayak Ngaju. Walaupun, penelitian ini berseberangan pendapat dengan pendapat yang diajukan Hudson, penelitian ini lebih berdasarkan perspektif linguistik diakronis, jika dibandingkan dengan hasil penelitian terdahulu karena penelitian tersebut lebih terfokus pada kajian sinkronis. Pendapat lain yang baru dijelaskan secara sinkronis berseberangan dengan pendapat Hudson di atas ditinjau dari pendekatan sinkronis seperti yang diuraikan dalam tinjauan pustaka.Ini menunjukan bahwa kekerabatan antara bahasa Sampit dengan Dayak Ngaju lebih erat jika diamati hubungannya dengan bahasa Banjar dan Proto Melayik Adelaar (1992).


Senin, 08 Juli 2013

SUKU DAYAK LIMBAI




Suku Dayak Limbai, berdomisili di Kayan Hulu dan Serawai di kabupaten Melawi provinsi Kalimantan Barat Indonesia. Suku Dayak Limbai ini dikelompokkan ke dalam rumpun Ot Danum.Orang Limbai di Kecamatan Serawai bermukim di Nusa Bakti, Desa Nanga Mentatai, dan Karya Jaya.Suku Dayak Limbai juga sering dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu orang Limbai Pantai dan Limbai Darat.


Populasi suku Dayak Limbai di kecamatan Serawai berjumlah 1.047 jiwa dari keseluruhan penutur bahasa Limbai.Tradisi lisan yang ada adalah cerita daerah dan pengobatan. Dalam cerita daerah dikisahkan mengenai cerita-cerita kepahlawanan. Dalam pengobatan cerita-ceritanya dilagukan. Lagu untuk pengobatan disebut belian. Tradisi pengobatan dilakukan selama satu malam, setelah itu barulah dia mulai menyembuhkan si sakit. Kebanyakan yang bisa melakukan ritual pengobatan ini adalah laki-laki. Hal ini berbeda dengan masyarakat dari suku Uud Danum, yang lebih banyak bisa melakukan ritual pengobatan ini adalah wanita, yang biasa di sebut jaja.

Masyarakat Limbai bermukim jauh ke arah daratan adalah dengan tujuan untuk menghindari para pengayau pada masa perang "kayau" di masa dulu, dahulunya mereka lebih banyak berpergian melalui sungai. Dengan bermukim di tengah daratan, mereka sulit sekali ditemukan musuh-musuhnya.
Suku Dayak Limbai tidak diketahui asal-usulnya, namun dari cerita turun temurun bahwa yang menjadi Temenggung pertama orang Limbai adalah Tumak Baya dari Kelopok dan Bonau dari Guhung Berajang. Sedangkan yang menjadi pemimpin Bonuh Limbai adalah Cai Elai dari Kelait.

Bahasa Dayak Limbai sangat mirip dengan beberapa bahasa lainnya di daerah Melawi, seperti bahasa Dayak Kubitn dan bahasa Dayak Kenyilu. Contoh persamaan kata yang menonjol adalah adanya kata abon untuk mengatakan ‘tidak ada’.



Masyarakat Dayak Limbai bertahan hidup dengan mata pencaharian utama berladang (sawah di perbukitan), menyadap karet. Sebagai mata pencarian tambahan mereka berkebun sayur-sayuran, memelihara ternak ayam dan sapi serta kehidupan hutan juga masih mereka jalani seperti mencari kayu untuk bahan bangunan sebagian untuk dijual dan mereka juga berburu binatang dan menangkap ikan. Tidak sedikit juga dari masyarakat Dayak Limbai bekerja sebagai pegawai negeri, karyawan swasta dan menjadi pedagang.

Subsuku Dayak Limbai adalah salah satu subsuku yang berada di Kabupate Melawi.

Orang Limbai di Kecamatan Serawai bermukim di Nusa Bakti, Desa Nanga Mentatai, dan Karya Jaya. Berdasarkan tempat pemukiman, orang Limbai juga seringkali dibedakan menjadi dua, yaitu orang Limbai pantai dan Limbai Darat.

Dulu masyarakat Limbai sengaja bermukim jauh ke arah daratan adalah dengan tujuan untuk menghindari para pengayau. Pada zaman perang kayau dulu, orang lebih banyak berpergian melalui sungai. Dengan bermukim di tengah daratan, mereka sulit sekali ditemukan musuh-musuhnya.

Meski belum diketahui asal-usulnya, namun ditemukan informasi bahwa yang menjadi temenggung pertama orang Limbai adalah Tumak Baya dari Kelopok dan Bonau dari Guhung Berajang. Sedangkan yang menjadi pemimpin Bonuh Limbai adalah Cai Elai dari Kelait.

Bahasa yang dituturkan oleh orang Limbai ini secara umum hamper sama dengan beberapa bahasa lainnya di daerah Melawi, seperti bahasa Kubitn dan kenyilu. Salah satu contoh persamaannya yang menonjol adalah adanya kata abon untuk mengatakan ‘tidak ada’.

Penutur bahasa Limbai di Kecamatan Serawai berjumlah 1.047 jiwa (5,64%) dari keseluruhan penutur bahasa Limbai.

Tradisi lisan yang ada adalah cerita daerah dan pengobatan. Dalam cerita daerah dikisahkan mengenai cerita-cerita kepahlawanan. Dalam pengobatan cerita-ceritanya dilagukan. Lagu untuk pengobatan disebut belian. Tradisi pengobatan dilakukan hamper satu malam dan setelah itu barulah dia mulai menyembuhkan si sakit. Kebanyakan yang bisa melakukan ritual pengobatan ini adalah laki-laki. Hal ini berbeda dengan masyarakat dari suku Uud Danum, yang lebih banyak bisa melakukan ritual pengobatan ini adalah wanita, yang biasa di sebut jaja.

Sistem pemerintahan Adat

Terdapat dua system pemerintahan yang berlaku di kampung Bunyau yaitu pemerintahan adat dan pemerintahan formal (desa, dusun). Pemerintahan Adat adalah Ketemenggungan. Terdapat 4 ketemenggungan pada suku Dayak Limbai di Kecamatan Menukung yaitu Ketemenggungan Pelaik Keruap, Ketemenggungan Batas Nangka, Ketemenggungan Mawang Mentatai dan Ketemenggungan Siai.

Ketemenggungan Pelaik Keruap meliputi kampung pelaik Keruap, Tanjung Beringin, Entubu, Lalau, Guhung Keruap, Pongga Hulu, Teluk Rabin, Labang Manyam. Ketemenggungan Batas Nangka meliputi kampung Bunyau, Batas Nangka, Landau Leban, Kenolin, Lengkong Sangsang, Nusa Pauh, Lanjau, Trapao Mawan. Ketemenggungan Mawang Mentatai meliputi kampung mawang mentatai, mengkilau, Nusa poring, Dawai, sekujang, beloyang dan dan Ketemenggungan Siai meliputi kampung siai, sungkup.

Dalam catatan sejarah, Temenggung yang pernah bertugas di ketemenggungan Batas Nangka adalah Temenggung Keneng sampai tahun 1958 yang berdomicili di Kenolin, Temenggung Akah dari tahun 1958-1974 berdomicili di Batas Nangka, dan Temenggung Senarong hingga sekarang berdomicili di Kenolin. Temenggung Batas Nangka ini wilayah kekuasaannya berbatasan dengan ketemenggungan Pelaik Keruap dan Ketemengungan Mawang Mentatai.[1]
Sejak keluarnya UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, maka berlakulah sistem pemerintahan desa dan dusun. Sistem pemerintahan Ketemenggungan terpecah dan tidak utuh lagi. Kebijakan tersebut, sebagaimana diulas oleh banyak teori pascareformasi, berdampak negatif terhadap pemerintahan adat dan kehidupan sosial politik masyarakat desa. Terjadi tumpang tindih anatara kewenangan pemimpin pemerintahan adapt (temenggung dengan pemerintahan formal (kepala Desa). Kaburnya kewenangan dan batas wilayah tersebut membingungkan masyarakat adat, terutama dalam upaya penyelesaian sengketa atau persoalan-persoalan lain yang mereka hadapi. Selain itu, hadirnya desa membuat pengurus adat seperti temenggung dan ketua adat menjadi kurang proaktif dalam menyelesaikan masalah karena mengira persoalan itu menjadi kewenangannya kepala desa atau kepala dusun.