01

Minggu, 30 Juni 2013

KERAJAAN DAYAK : KERIS ZAMAN KERAJAAN BATAGUH


Pada Tahun 2009, Dua penyelam tradisional menemukan "keris" dan "kancip" raksasa (pemotong pinang) sepanjang 1,5 meter di sungai Kapuas, tepatnya di bawah jembatan Pulau Telo, Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah.Warga Desa Keramat, "digegerkan" dengan penemuan keris dan kancip pembelah pinang ukuran raksasa oleh dua penyelam tradisional yaitu Henry (21) dan Yanto (28), warga RT 2.

Ada hubungan sejarah dengan Kerajaan Bataguh

Kesimpulan sementara, senjata tradisional  tersebut terkait dengan Kerajaan Bataguh yang diyakini telah berdiri di Kapuas. "Pada waktu itu Kerajaan Bataguh dipimpin oleh seorang ratu bernama Nyai Undang," kata Manli, salah seorang tetua adat Dayak. 

Bentuk dari barang kuno yang ditemukan bukanlah senjata khas Dayak Kalimantan Tengah. Diperkirakan senjata-senjata dan perangkat masa silam ini diturunkan dengan kapal dalam rangka menyerang  Kerajaan Bataguh. Pertempuran diperkirakan terjadi sekitar tahun 1400 Masehi. "Kerajaan Bataguh memiliki area yang luas di Kapuas dan Pulau Telo," kata Manli.

Dia menjelaskan, sebelumnya juga telah ditemukan senjata di Sungai Kapuas dan tidak jauh dari pulau Telo. Temuan itu tepatnya di Mandomai, Kecamatan Kapuas Barat,  Kabupaten Kapuas. Temuan ini memperkuat dugaan dan analisis tentang pernah berdirinya kerajaan Bataguh yang berperang dengan orang asing.

Para penemu keris tua berukuran raksasa itu mengemukakan adanya tujuh buah lubang pada keris. Dia mengatakan, lubang-lubang itu menunjukkan bahwa senjata ini telah memangsa orang. "Sama seperti mandau pedang senjata khas Dayak, jika ada lubang di ujung, itu menandakan bahwa senjata tersebut telah pernah menghilangkan nyawa seseorang," katanya.

Ketua Dewan Adat Dayak Kapuas, Angie Rohan, mengatakan hal yang sama. Dia juga menduga adanya link antara temuan ini dengan Kerajaan Bataguh. Kedua benda tersebut diperkirakan berusia lebih dari 300 tahun. Dikatakannya, penemuan ini merupakan hal yang disebut dalam bahasa Dayak  sebagai "keberuntungan" karena tidak semua orang bisa mendapatkannya. "Benda-benda tersebut memiliki kekuatan magis. Biasanya, penemu Keris adalah orang yang terpilih," katanya.

KERAJAAN DAYAK : KERAJAAN BATAGUH, PULAU KUPANG


Daerah Bataguh Pematang Sawang memiliki kesan yang sangat berarti bagi sejarah asal usul Nyai Undang (Pimpinan Dayak) , para panglimanya serta penduduknya yang kini jadi misteri, kisah-kisahnya begitu terdengar sebagai kisah misteri yang sampai sekarang belum terungkap, namun demikian misteri yang selama ini melalui kisah-kisah antar masyarakat mulai terkuak, dengan ditemukannya peninggalan-peninggalan benda-benda seperti batu-batuan, kemudi, dan patung yang diperkirakan sebagai Patung Nyai Undang.Patung yang dimiliki oleh penduduk (Juhari/40 thn) sekitar di wilayah Kelurahan Pulau Kupang Kota Bataguh merupakan Patung yang terbuat dari Kayu Ulin yang menurut ceritanya merupakan patung yang mereka dapatkan dari mencari emas(mendulang emas) di sekitar lokasi Kerajaan Bataguh. Patung yang didapatkannya ini dikedalaman ± 3 meter dari permukaan tanah.



Patung dari kayu ulin ini berwujud patung manusia sebagai seorang perempuan yang bertelinga panjang dengan ketinggian ± 7 cm. Sebelah kanan daun telinga patung ini telah hilang sejak awal ditemukan, menurut pengamatan kami, telinga panjang adalah telinga yang dimiliki wanita dayak dewasa pada zaman dahulu dan masih ada beberapa wanita dayak di beberapa daerah yang melestarikannya hingga sekarang. Telinga panjang yang terbentuk karena wanita dayak dewasa menggunakan bandul di telinganya hingga menarik lubang daun telinga tempat bandul. Untuk kaum wanita dayak dulunya, jika telinganya semakin panjang dan bandul telinganya semakin banyak maka dia semakin cantik.
Patung ini merupakan salah satu bukti sejarah yang dapat menjadi petunjuk bagi penelitian mengenai adanya pengetahuan membuat patung oleh nenek moyang dayak yang ada di Kerajaan Bataguh.


Alkisah Temanggung Sempung sudah mengambil Nyai Nunjang menjadi istrinya dan di anugerahi seorang putri yang diberi nama Nyai Undang, seorang putri yang sangat cantik parasnya, seperti dewi turun dari kayangan. Maka Temanggung Sempung bermaksud akan mengambil Sangalang anaknya Mereng cucu dari Karangkang menjadi menantunya.


Maka tersiarlah kabar dimana-mana akan kecantikan Nyai Undang itu, dan berita itu pun sampailah kepada Raja Laut namanya Sawang. Maka datanglah Raja Sawang dengan balatentaranya, dengan maksud untuk mengawini Nyai Undang tersebut. Dan dia berjanji dengan semua balatentaranya, jika maksudnya untuk mengawini Nyai Undang itu tidak diterima, maka dia akan mengumumkan perang dengan kota Pulau Kupang itu.

Singkat cerita, dengan di iringi tempik sorak dan teriakan dari para pengiringnya, maka sampailah Raja Sawang di istana Nyai Undang tersebut. Tetapi malang akan tiba, waktu Raja Sawang akan melangkahkan kaki nya diatas Kayu-Nyilu dipintu gerbang istana, maka Raja Sawang terus jatuh, lemah lunglai segala sendi anggota tubuhnya, seperti orang yang tidak bertenaga lagi. Melihat akan hal yang demikian itu maka Nyai Undang lalu mengambil Dohong “Raca Holeng Joha, Kahajun Duun Suna Taja Panulang Karing, Hitan Iung Pundan, Sanaman Mantikei dari hulu Katingan Kuman Raha”. Oleh karena Sawuh (mengamuk) Nyai Undang terus turun mengamuk, semua balatentara Raja Sawang yang ada di Banama dibunuhnya. Balatentara Raja Sawang menderita kekalahan dan menyerah. Dan mereka yang hidup dijadikan tawanan dan dijadikan jipen atau budak beliannya.

Dari rakyat Raja Sawang dan Raja Nyaliwan (Raja Utara) yang masih hidup ada beberapa orang yang masih dapat melarikan diri dan membawa kabar tentang jalannya pertempuran. Setelah mendengar kabar inilah maka seluruh rakyat Raja Sawang berjanji akan menuntut balas untuk kematian Rajanya. Semua balatentara Raja Sawang yang menjadi tawanan tadi akhirnya kawin mengawin dengan suku dayak, sehingga mereka menjadi satu turunan yang besar yang akhirnya juga menjadi nenek moyang dari suku bakumpai ialah Tamanggung Pandung Tandjung Kumpai Dohong, dari suku barangas ialah Suan Ngantung Rangas Tingang, dari suku alalak ialah Imat Andjir Serapat.

Kabar bahwa Kerajaan Raja Sawang akan menyerang kota Pulau Kupang sampai pula ke Nyai Undang. Maka Nyai Undang mengirimkan utusannya ke Tumbang Pajangei. Dan bersama dengan utusannya itu dikirmkannya pula sebatang Lonjo Bunu atau tombak Bunu sebagai surat. Pesannya itu dikirimkannya kepada Rambang, Ringkai, Tambun, Bungai di Tumbang Pajangei. Yang mana maksud dari Tombak Bunu itu adalah meminta bala bantuan untuk berperang.

Dengan tidak berpikir panjang dan membuang-buang waktu lagi Rambang, Ringkai membawa Temanggung Bungai Andin Sindai anak Temanggung Sempung yang paling berani dan gagah perkasa, serta Raja Tambun Tandjung Ringkin Duhong anak Serupoi. Keduanya adalah pahlawan yang pangkamenteng pangkamamute. Karena kedua pahlawan ini belum pernah satu kalipun mengalami kekalahan.

Adapun nama-nama para panglima yang turut serta untuk membela Pulau Kupang adalah:
1. Njaring anak Ingoi dari Hulu Miri
2. Bungai anak Ramping dari Tumbang Miri
3. Temanggung Kandeng keponakan Piak Batu Nocoi Riang Naroi
4. Isoh Batu Nyiwuh
5. Etak kampong Tewah
6. Temanggaung Handjungan dari Sare Rangan
7. Temanggung Basi Atang dari Penda Pilang
8. Temanggung Sekaranukan dari Tumbang Manyangen
9. Temanggung Renda dari Baseha
10. Temanggung Rangka dari Tumbang Rio
11. Temanggung Kiting dari Tanjung Riu
12. Temanggung Lapas dari kampung Baras Tumbang Miwan
13. Temanggung Basir Rumbun dari teluk Haan
14. Temanggung Hariwung dari Tumbang Danau
15. Temanggung Dahiang bapa Buadang dari Sepang Simin
16. Temanggung Ringkai dan Tombong dari Tangkahen
17. Temanggung Uhen dari kampung Manen
18. Temanggung Kaliti dari Rawi
19. Rakau Kenan dari Tumbang Rungan
20. Temanggung Kandang Henda Pulang dari Sugihan (Guhong)
21. Temanggung Andin dari Pulau Kantan......

Tiada berapa lamanya berkat kerjasama dan saling mengerti satu akan yang lainnya, maka siaplah kota itu lengkap dengan persenjataannya. Dan diberilah nama oleh mereka akan kota itu “Kota Pematang Sawang” yang selalu siap sedia menerima kedatangan musuh. Istana tempat Nyai Undang dikepalai oleh Temanggung Rambang. Semua Panglima Perang dari sungai Barito, Kapuas, Kahayan, Katingan , Seruyan telah berkumpul didalam kota itu. Semua menjadi satu dengan tekad dan satu dasar ialah kerjasama yang erat. Tidak berapa lamanya, musuh(asang) pun datanglah. Jumlah Asang yang datang itu kurang lebih 10.000 orang banyaknya.

Sebelum peperangan dimulai maka Temanggung Rambang dan Temanggung Ringkai menenung sambil menyanyi. Maka dengan tiba-tiba datanglah burung Elang dan memberi tanda menang. Dengan tidak takut akan maut, mereka melawan dan menyerang musuh yang jauh lebih besar jumlahnya dari mereka. Dengan alat-alat senjata yang ada dan segala pusaka dari nenek moyang suku Dayak pertempuran berlangsung dengan seramnya. Darah mengalir dari tubuh balatentara musuh yang mati, membasahi tanah dan menjadikan air sungai berubah menjadi merah warnanya. Tetapi Panglima-Panglima suku Dayak semuanya tidak ada satu orang pun yang luka atau mati terbunuh oleh senjata musuh, karena mereka memakai pusaka dari Ranying.

Melihat akan ketangkasan serta keunggulan dari balatentara Nyai Undang yang pantang mundur itu, maka akhirnya mereka menyerah dengan marup. Di dalam peperangan yang demikian sengitnya itu, Temanggung Rambang lah yang sangat berjasa karena dia dapat memotong kepala asang tersebut. Semua kepala pasukan musuh mati terbunuh.

Setelah peperangan selesai maka di adakan lah pesta besar untuk memalas Temanggung Rambang dengan darah ayam, babi, sapid an darah orang yang dibunuhnya tadi, supaya tidak tulah karena demikianlah Adat Dayak. Selagi mengadakan pesta itu semua utusan suku Dayak dari seluruh Kalimantan di undang. Dalam pesta itu sudah berkumpul lebih kurang 35 wakil suku Dayak. Yang nama-namanya ada tertulis sebagai berikut:
1. Manan dari hulu Kahayan
2. Londoi dari Tabahoi
3. Djato dari Bahoi
4. Ibong dari Buit Kalimantan Utara
5. Ikuh dari Tinggalan (Tidong)
6. Tingang dari Bukat (Dayak Bukat)
7. Kuit dari hulu Rundit Bt Lupar
8. Parekoi dari Serawai
9. Tunda Luting dari Samba Katingan
10. Dekoi dari Malahoi
11. Unei dari dayak Sahiei
12. Tamban dari Katingan
13. Mahat dari Mahalat
14. Etas dari hulu Kapuas
15. Dalong dari Hampotong
16. Umbing dari Manuhing
17. Tukoh dari Mamaruh
18. Gana dari Mentaya
19. Nuhan dari Saruyan
20. Bakan dari Rungan
21. Sindi dari Miri
22. Bahon dari Bahaun
23. Sawang dari Siang
24. Djohan dari Taran
25. Sota Munan dari Maanyan
26. Pahan dari Kalangan
27. Sakai dari Serawai
28. Manoui dari Rakaoi
29. Punan dari Heban
30. Hinan dari Dusun
31. Djaman dari Kabatan
32. Ritu dari Uru
33. Lati dari Pari
34. Nanau dari Lamandau


Setelah selesai pesta tadi maka sampailah giliran pesta besar lagi untuk mengawinkan Temanggung Sangalang dengan Nyai Undang di Pematang sawang Pulau Kupang. Dan selain itu Mangku Djangkan membikin pesta besar di Pulau Kantan mengawinkan Njaring anak Ingoi dengan Manjang anak Mangku Djangkan, pesta itu tujuh hari tujuh malam lamanya.

Sedikit catatan tentang Pulau Kupang Pematang Sawang. Kota ini turun temurun berganti-ganti orangnya yang menjadi Raja disitu. Dan kotanya juga sering berganti. Hanya dalam tetek tatum tidak diceritakan tentang perubahan kota itu. Jaman sekarang di tempat itu ada terdapat meriam dan bekas peninggalan-peninggalan. Ditempat itu juga sudah diadakan parit yang di namai Terusan Bataguh. Hingga sekarang sering disebut kota Bataguh. Kayu-kayu ulin yang menjadi tiang dan tembok kota itu luasnya tidak kurang dari 5 kilometer persegi. 

(sumber dari Kalimantan Membangun)

KERAJAAN DAYAK : KERAJAAN NAN SARUNAI




Tanah di pulau Kalimantan memang merupakan tempat berbagai macam kelompok bangsa dan etnik yang datang dari berbagai asal dalam kurun waktu yang berbeda. Tulisan ini merujuk kepada salah satu bangsa penghuni pulau Kalimantan yaitu bangsa Dayak. Istilah Dayak berdasarkan catatan tertulis telah di gunakan oleh Hohendorff  dalam bukunya  “Radicale Beschrijving van Banjermassing” pada tahun 1757. Nama Dayak memang bukanlah nama endemik untuk menyebutkan bangsa tersebut. Nama tersebut dalam sejarahnya memang diberikan oleh peneliti dan penulis barat. Contohnya dalam dalam Hikayat Banjar tidak dikenal istilah dayak, yang dipakai adalah istilah orang Biaju atau negeri Biaju/Tanah Biaju yang merujuk kepada orang-orang yang tinggal di  Biaju Kecil, atau  sungai Kapuas Murung  di Kabupaten Kapuas sekarang dan  Biaju Besar atau  sungai Kahayan di wilayah Kabupaten Pulang Pisau sekarang. 

Belandalah yang kemudian  mengganti istilah Tanah Biaju menjadi afdeeling Tanah Dayak. Terlepas dari kontroversi penamaan dayak yang cenderung berkonotasi kepada orang yang hidup jauh dari laut atau orang darat, pada umumnya, sekarang ini, istilah Dayak telah diterima dan telah menjadi identitas bagi bangsa ini, sehingga istilah tanah Dayak atau Bangsa Dayak telah menjadi familiar untuk menyebut tanah air dan salah satu bangsa penghuni pulau Kalimantan, sehingga tidak penting lagi untuk diperdebatkan. Bangsa Dayak terbagi dalam enam rumpun besar, yakni: Apokayan (Keyah-Kayan-Bahau),Ot Danum-Ngaju,Iban, Murut, Klemantan dan Punan.

Dalam sejarahnya Bangsa Dayak yang terdiri dari ratusan etnis kurang lebih 405 etnis menurut J. U. Lontaan, (1975), telah memiliki tata pemerintahan dan hukum-hukum yang mengatur masyarakatnya. Ada beberapa locus kekuasaan yang tersebar di beberapa tempat seperti misalnya kerajaan Nek Riuh, Kerajaan Bangkule Rajakeng, kerajaan Bujakeng, dan Kerajaan Nan Sarunai yang berlokasi di Banua Lawas sekitar 24 km dari Kota Martapura menuju ke arah Rantau.   Kerajaan Nan Sarunai adalah  adalah kerajaan bangsa Dayak etnis Maanyan  yang diperkirakan berdiri pada tahun 1309. Penguasa pertama dari kerajaan ini adalah Japutra Layar yang memerintah 1309-1329.  Masa kerajaan Nan Sarunai diperkirakan semasa dengan Kerajaan Kuripan,  Kerajaan kuno di Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan  berdekatan dengan situs reruntuhan Candi Agung di Amuntai Tengah yang telah diteliti Kumartono dan Widianto pada tahun 1998.

Penelitian lebih lanjut kiranya dibutuhkan untuk merekonstruksi kebesaran kerajaan Nan Sarunai dan mengambil nilai-nilai luhur mengenai pandangan hidup, kepercayaan, tata cara pemerintahan dan hukum dan adat  yang berlaku pada masa itu dan telah terwariskan dalam bentuk hukum adat di masa kini.

KERAJAAN DAYAK : ANTARA SRIWIJAYA DAN TANJUNG PURI



Ada Pendapat yang mengtakan bahwa Suku Dayak adalah suku tertua di Nusantara. Suku Dayak memang lahir lebih dahulu ketimbang suku-suku yang lainnya. Berdasarkan peta persebaran sejarah nusantara, imigran berbagai bangsa mulai menjejakan kakinya di Kalimantan yang saat itu dikenal dengan sebutan Tanjung Nagara.

Gelombang imigran dari luar dimulai pada akhir zaman es (pleistocene) usai tepatnya sekitar 10.000-6.000 tahun lalu melalui jalur timur laut. Persebaran manusia di Kalimantan pun terus berkembang, ditambah adanya gelombang imigran proto melayu. Keberadaan Suku Dayak yang lebih dahulu menginjakan kakinya di Bumi Nusantara ini, membuat saya berasumsi jika adanya dugaan Suku Dayak merupakan nenek moyang Bangsa Indonesia. Begitu juga dengan perannya sebagai cikal bakal lahirnya kerajaan-kerajaan di Nusantara, salah satunya adalah Kerajaan Sriwijaya.

Berdasarkan Cerita Urang Sepuluh dari Banjar, Kalimantan Selatan, dijelaskan cucu pertama dari Anyan, yakni tokoh Suku Dayak Maanyan yang bernama Lua pergi ke tanah melayu. Saat itu, Melayu atau yang lebih dikenal dengan nama Malaka merupakan pusat perdagangan yang ramai. Orang Suku Dayak memang terkenal memiliki ilmu tinggi. Lua yang mengikuti jejak Sang Kakek, merantau ke Pulau Sumatera yang masih merupakan tanah Melayu.
Penyebutan nama sebagai identitas diri pada zaman dulu merupakan suatu hal yang tidak terlalu penting, sehingga kebanyakan setiap tokoh yang dikenal hanya akan dipanggil sesuai dengan kemampuan atau ilmu yang mereka miliki. Sehingga tidak heran pula, jika untuk setiap tokoh sejarah akan memiliki nama yang berbeda di setiap daerahnya. Itu yang terkadang membuat kebingungan saat akan membedah sejarah masa lampau. Mungkin, bisa saja itu salah satu taktik untuk menyamarkan identitas orang yang sama. Karena jika dipikir oleh akal manusia zaman sekarang, sangat tidak mungkin jika ada manusia yang bisa hidup dengan usia yang berabad-abad lamanya. Tapi saya beropini untuk zaman dulu, hal itu sangat mungkin terjadi.
Seperti halnya Lua yang merupakan cucu pertama dari Anyan, salah seorang tokoh besar Suku Dayak dari Kerajaan Purba Nan Marunai. Di Kalimantan Selatan, Luaberarti Naga. Jadi, bisa saja di Tanah Melayu, nama Lua berganti menjadi Naga.Sama seperti Raja Prameswara, Raja Sriwijaya ke-X yang berganti nama ketika mendirikan Kerajaan Malaka menjadi Iskandar Zulkarnaen atau Raja Gentar ALamkarena ilmu saktinya yang dapat menggentarkan alam.
Kecenderungan adanya dugaan Kerajaan Sriwijaya dilahirkan dari Kerajaan Purba yang dibangun Suku Dayak terlihat dari beberapa kesamaan seperti ornamen bunga teratai, warna kuning dan emas sebagai warna kebesaran, serta lambang naga yang merupakan hewan agung yang dipercaya Suku Dayak.
Jika benar seperti itu, Kerajaan Sriwijaya dapat diprediksi telah lahir sebelum abad ke 7 Masehi. Lahirnya Kerajaan Sriwijaya diduga lebih tua dari Kerajaan Kutai. Hal itu dijelaskan pada Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan M Batenburg pada 29 November 1920 lalu di Kampung Kedukan Bukit, Kelurahan 35 Ilir, Palembang, Sumatera Selatan. Dalam prasasti tersebut dijelaskan Dapunta Hyang melakukan perjalanan suci ke timur dengan membawa 2 laksa tentara.Berdasarkan cerita lainnya, Dapunta Hyang merupakan sebuah gelar yang mutlak disandang oleh semua Raja Sriwijaya. Sehingga patut dipertanyakan Raja Sriwijaya ke berapa yang melakukan perjalanan suci ke timur tersebut?

Pada abad ke-5 M berdiri sebuah kerajaan di Kalimantan Selatan bernama Kerajaan Tanjungpuri. Berdirinya kerajaan ini bermula dari kedatangan para Imigran Melayu dari Kerajaan Sriwijaya di pulau Sumatera pada sekitar abad ke- 4 M. Para Imigran Melayu yang mempunyai kebudayaan lebih maju dibanding penduduk lokal pada masa itu mendirikan perkampungan kecil di daerah pesisir Sungai Tabalong.
Para imigran tersebut berbaur bahkan melakukan perkawinan dengan penduduk setempat yakni Suku Dayak. Hasil dari perpaduan antara suku Melayu dan Dayak itulah yang akhirnya menjadi cikal bakal Suku Banjar. Semakin lama perkampungan di pesisir Sungai Tabalong itu semakin ramai sehingga akhirnya menjadi sebuah kerajaan kecil bernama kerajaan Tanjungpuri (diperkirakan terletak di kota Tanjung sekarang).
Keturunan Anyan dari anaknya Masari mendirikan kerajaan Candi Laras di Margasari (Kab. Tapin sekarang) pada Tahun 678 M. Bukti keberadaan Kerajaan Candi Laras adalah Tulisan di Prasasti “Kedukan Bukit” yang terdapat di kota Palembang bertahun 605 Saka/ 683 M berhuruf Pallawa. Isi tulisan “Dapunta Hyang mengadakan perjalanan suci dengan perahu dari Minanga Tamwan membawa dua laksa tentara menuju timur”.
Bukti lainnya adalah Prasasti Batung Batulis yang ditemukan di kompleks Candi Laras Margasari bertahun 606 Saka. Isi tulisannya adalah “Jaya Sidda Yatra” yang artinya perjalanan Ziarah. Menurut Arkeologi Nasional prasasti tersebut berasal dari Sriwijaya. Jadi dua buah prasasti tersebut mempunyai keterkaitan karena memiliki kesamaan yaitu berhuruf Pallawa.
Prasasti Kedukan bukit bertahun 605 Saka yang merupakan Tahun keberangkatan dari Sriwijaya dan Prasasti Batung Batulis bertahun 606 Saka yang merupakan Tahun kedatangan di Candi Laras Marga Sari, merupakan hal yang logis sebab perjalanan waktu itu mungkin saja mencapai setahun dari Sriwijaya ke Candi Laras di Pulau Kalimantan. Sehingga menghapus mitos selama ini yang mengatakan bahwa Candi laras didirikan oleh Ampu Jatmika asal Keling pada Tahun 1387 M.
Bukti lainnya lagi adalah ditemukannya Patung Buddha dipangkara, patung tersebut dikenal sebagai azimat keselamatan bagi pelaut Sriwijaya yang beragama Buddha. Jadi sebenarnya yang datang ke Candi Laras di Marga Sari itu adalah rombongan dari kerajaan Sriwijaya pada Tahun 683 M.
Cerita lain menyebutkan, Raja Sriwijaya yang datang ke tanah Kalimantan dikenal juga dengan sebutan Datuk Rimba atau Raja Gentar Alam. Jika menilik nama Sang Tokoh, hal itu menjelaskan Raja Sriwijaya yang melakukan perjalanan suci ke timur tersebut adalah Prameswara yakni, Raja Sriwijaya ke-X. Hal itu menjelaskan, pada abad ke 7 Masehi bukan merupakan masa awal berdirinya Kerajaan Sriwijaya, melainkan masa awal kejayaan Kerajaan Sriwijaya yang mulai melakukan perluasan wilayahnya dengan cara asimilasi ke berbagai daerah. Kemudian dari cara ekspansi Kerajaan Sriwijaya itulah yang juga melahirkan Kerajaan besar lainnya seperti Kerajaan Majapahit, Kerajaan Sunda, dan Kerajaan Minangkabau.

ejarah kerajaan Nan Sarunai terkait erat dengan kehidupan orang-orang suku Dayak Maanyan, salah satu sub suku Dayak tertua di tanah Borneo. Kerajaan Nan Sarunai adalah pemerintahan purba yang muncul dan berkembang di wilayah yang sekarang termasuk dalam daerah administratif propinsi Kalimantan Selatan, Indonesia, tepatnya di antara wilayah kabupaten Hulu Sungai Utara dan Kabupaten Tabalong.
Kerajaan Nan Sarunai merupakan bagian awal dari riwayat panjang Kesultanan Banjar, salah satu pemerintahan kerajaan terbesar yang pernah ada di Kalimantan Selatan.
Pemerintahan yang pertamakali menjadi cikal bakal Kesultanan Banjar adalah Kerajaan Nan Sarunai. Kerajaan purba yang dikelola oleh orang suku Dayak Maanyan ini disebutkan dengan nama yang berbeda-beda. Selain Nan Sarunai, nama-naman lain yang juga diyakini sebagai nama kerajaan ini adalah Kerajaan Kuripan, Kerajaan Tanjungpuri, dan Kerajaan Tabalong disertakan karena kerajaan ini terletak di tepi sungai Tabalong. Sungai Tabalong adalah anak sungai Bahan, sedangkan Sungai Bahan adalah anak sungai Barito yang bermuara ke laut Jawa.
Nama Nan Sarunai sendiri dimaknai dengan arti “Sangat Termasyhur” (Ideham, eds., 2003). Penamaan ini bisa jadi mengacu pada kemasyhuran suku Dayak Maanyan di masa silam, dimana mereka terkenal sebagai kaum pelaut yang tangguh, bahkan mampu berlayar hingga ke Madagaskar di Afrika. Selain itu, ada pendapat lain yang mengatakan bahwa nama Sarunai berasal dari kata “Serunai” yakni alat musik sejenis seruling yang mempunyai tujuh lubang. Alat musik ini sering dimainkan orang-orang suku Dayak Maanyan untuk mengiringi tari-tarian dan nyanyian. Konon, Raja dan rakyat kerajaan Nan Sarunai sangat gemar menari dan menyanyi. Sebenarnya istilah lengkapnya adalah Nan Sarunai, kata “Nan” diduga berasal dari bahasa Melayu yang  kemudian dalam lidah orang Maanyan dilafalkan hanya dengan ucapan Sarunai saja. Dengan demikian, nama “Nan Sarunai” berarti sebuah kerajaan dimana raja dan rakyatnya gemar bermain musik (Sutopo  Ukip, 2008).
Suku Dayak Maanyan, pendiri Kerajaan Nan Sarunai, adalah salah satu sub suku Dayak tertua di Borneo, suku Dayak Maanyan termasuk dalam rumpun Ot Danum yang juga dikenal dengan nama Dayak Ngaju. Pada awalnya, orang-orang suku Dayak Maanyan menetap di tepi sungai Barito bagian timur (sekarang menjadi Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah). Oleh karena itu, orang-orang suku Dayak Maanyan mendapat sebutan Kelompok Barito Timur. Orang-orang suku Dayak Maanyan adalah kaum pelaut yang tangguh. Pada sekitar tahun 600 M, orang-orang suku Dayak Maanyan diduga pernah berlayar ke Madagaskar, sebuah pulau di pesisir timur Afrika. Pencapaian luar biasa yang berhasil dilakukan suku Dayak Maanyan ini seperti yang ditulis oleh Hudson yang menyebutkan bahwa ada kesamaan antara bahasa orang Madagaskar dengan bahasa orang Maanyan (Hudson dalam Indonesia, 4 Oktober 1967:17).
Ketangguhan melaut orang-orang suku Dayak Maanyan lama-kelamaan mulai berkurang karena terjadi proses pendangkalan di lingkungan maritim tempat mereka hidup. Areak pesisir yang selama ini menjadi lingkungan mereka sehari-hari mengalami penyurutan dan perlahan-lahan berubah menjadi daratan sehingga orang-orang Dayak Maanyan kehilangan budaya maritim yang dulu mereka miliki. Pada zaman purba, wilayah Kalimantan bagian tengah masih berwujud teluk besar. Fenomena pendangkalan ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya migrasi yang dilakukan oleh orang-orang Dayak Maanyan. Daerah tujuan para imigran suku Dayak Maanyan adalah di tempat yang dalam Hikayat Banjar disebut dengan nama Pulau Hujung Tanah. Sedangkan Negarakertagama kaya pujangga Majapahit, Mpu Prapanca, yang ditulis pada tahun 1365 M, menyebut tempat itu sebagai Tanjung Negara (http://banjarcyber.tripod.com). Terdapat dua lokasi di masa sekarang yang diperkirakan merupakan bekas wilayah Pulau Hujung Tanah, yakni Amuntai dan Tanjung, yang keduanya terletak tidak jauh dari pegunungan Meratus yang memang dikisahkan membentang di timur Pulau Hujung Tanah, tempat dimana Kerajaan Nan Sarunai berdiri.
Orang-orang suku Dayak Mongoloid yang merupakan gelombang migrasi orang-orang Dayak pertama ke wilayah Kalimantan Selatan. Peradaban suku Dayak Maanyan dibuktikan dengan ditemukannya fosil-fosil manusia purba di Gua Batu Babi di Kabupaten Tabalong (Tajuddin Noor Ganie, 2009). Penelitian tentang “ekskavasi Situs Gua Babi Tahap V Kabupaten Tabalong Propinsi Kalimantan Selatan” yang dilakukan oleh Harry Widianto dan Hadini (1999/2000) menyebutkan bahwa banyak sekali peninggalan bersejarah yang ditemukan di  Gua Babi, antara lain berupa artefak batu, tulang, komponen tubuh manusia, dan cangkang moluska (Widianto & Handini, dalam Laporan Penelitian Arkeologi Banjarmasin, 1999/2000).

Sejauh ini belum banyak referensi yang bersifat ilmiah dan secara proporsional menjelaskan tentang riwayat Kerajaan Nan Sarunai mengingat usia kerajaan ini yang sudah sangat tua. Sumber-sumber yang digunakan selama ini adalah cerita tutur yang termaktub dalam Hikayat Banjar. Hikayat Banjar adalah manuskrip tua yang telah lama dikenal di Kalimantan Selatan sejak zaman Kesultanan Banjar. Riwayat Nan Sarunai sangat sedikit disinggung, terutama menjelang keruntuhannya. Kisah tentang Kerajaan Nan Sarunai dalam Hikayat Banjar lebih menyerupai tradisi lisan, yakni nyanyian Suku Dayak Maanyan (wadian) yang kemudian ditransformasikan secara turun temurun. Tradisi lisan orang Dayak Maanyan mengisahkan bahwa mereka sudah memiliki negara suku bernama Nan Sarunai (MZ Arifin Anis, 1994). Nyanyian wadian menceritakan peristiwa tragis tentang runtuhnya Kerajaan Nan Sarunai akibat serangan dari Kerajaan Majapahit pada sekitar abad ke-13 (Ideham, /eds., /2007:16). Menurut Johannes Jacobus Ras (1968).

Salah satu bukti adalah ditemukannya peninggalan arkeologis yang diduga kuat berasal dari zaman di mana Kerajaan Nan Sarunai masih eksis. Jejak arkeologis Nan Sarunai di masa purba itu adalah sebuah candi yang ditemukan di Amuntai. Amuntai adalah salah satu tempat yang sangat mungkin menjadi tempat bermukim orang-orang Suku Dayak Maanyan yang kemudian mendirikan peradaban Kerajaan Nan Sarunai. Pada tahun 1996, dilakukan pengujian terhadap candi tersebut. Hasil penyelidikan itu cukup mengejutkan karena hasil pengujian terhadap sampel arang candi yang ditemukan di Amuntai tersebut menghasilkan kisaran angka tahun antara 242 hingga 226 Sebelum Masehi (Kusmartono & Widianto, 1998:19-20). Jika penelitian ini benar adanya, maka usia Kerajaan Nan Sarunai jauh lebih tua dibandingkan dengan Kerajaan Kutai Martapura di Kalimantan Timur (berdiri pada abad ke-5 M) yang selama ini diyakini sebagai kerajaan tertua di nusantara.

Kamis, 27 Juni 2013

DAYAK BIDAYUH DI SARAWAK

Bidayuh adalah istilah kolektif untuk mengelompokkan beberapa sub suku Dayak Darat di Sarawak. Pada zaman kolonial, kelompok ini lebih dikenal dengan nama “Land Dayak” atau “Dayak Darat”. Istilah ini digunakan untuk membedakan mereka dari orang Iban yang biasa disebut “Sea Dayak” atau “Dayak Laut”. Istilah Land Dayak semata-mata didasarkan atas lokasi pemukiman mereka yang sebagian besar berada di daerah pedalaman, hulu-hulu sungai, dan dataran tinggi. mm


Dayak Bidayuh adalah masyarakat yang mendiami kawasan barat daya Sarawak, terutamanya Bahagian Serian, Kuching dan di barat Kalimantan. Mereka terdiri daripada empat sub suku yaitu:
  1. Selakau/Lara (Daerah Lundu)
  2. Jagoi/Singai (Daerah Bau)
  3. Biatah (Daerah Kecil Padawan)
  4. Bukar/Sadong (Daerah Serian)
  5. Kuching Tengah / Bidayuh Baru / Bidayuh Moden (Kawasan Tengah Antara Padawan Dengan Bau)
Mereka kebanyakannya beragama Kristen. Pada zaman dahulu suku kaum Bidayuh tinggal di rumah panjang. Secara umum penempatan rumah panjang suku kaum Bidayuh terletak jauh di kawasan pendalaman dan tanah tinggi. Ini adalah bagi tujuan keselamatan iaitu sukar untuk dikesan oleh musuh.Struktur rumah panjang kaum Bidayuh tidak jauh bedanya dengan struktur rumah panjang masyarakat Iban di Sarawak. Atap rumah panjang kaum Bidayuh diperbuat daripada atap rumbia atau sagu, manakala dindingnya pula dibuat dari bambu buluh. Pelantar atau lantai rumah panjang pula diperbuat daripada papan atau buluh manakala tiangnya pula diperbuat daripada kayu belian.

Rumah panjang masyarakat Bidayuh terbahagi kepada 3 bahagian yaitu kamar atau bilik utama, awah dan tanju. kamar utama dapat kita samakan dengan ruang utama kediaman pada masa sekarang. Di dalam kamar ini masyarakat Bidayuh umumnya meletakkan barang-barang peribadi milik keluarga dan keturunan mereka seperti gong, tempayan, tembikar dan sebagainya. Ruang ini juga berfungsi sebagai tempat tidur di kala malam hari. Awah pula adalah bahagian pelantar di luar rumah panjang masyarakat Bidayuh dan lazimnya ia bertutup dan beratap. Ia dapatlah disamakan dengan berandah rumah pada masa ini. Di "awah" masyarakat Bidayuh menjalankan kegiatan keseharian mereka seperti menganyam, berbual, membuat peralatan bertani dan sebagainya. Ruangan Awah juga akan digunakan untuk sebarang upacara keagamaan seperti perkahwinan, pantang larang dan pesta-pesta tertentu seperti pesta gawai dan sebagainya. "tanju" pula adalah bahagian terluar di dalam rumah panjang masyarakat Bidayuh. Bahagian tanju agak terdedah dan lazimnya ia tidak bertutup mahupun beratap. Tanju lazimnya digunakan untuk menjemur hasil tuaian masyarakat Bidayuh seperti padi, lada, jagung dan sebagainya.

Bahasa

Bahasa Bidayuh agak unik berbanding bahasa-bahasa yang lain yang terdapat di Sarawak. Keunikan ini adalah berdasarkan sebutan,pertuturan, gerak gaya dan alunan yang dipertuturkan. Lazimnya, bahasa Bidayuh akan berubah intonasi dan bahasa mengikut kampung dan daerah tertentu. Hal ini menyebabkan suku kaum ini sukar untuk berkomunikasi dengan satu sama lain sekiranya mereka adalah suku atau dari daerah yang berlainan. Sebagai contoh, suku Bidayuh dari kawasan Serian menyebut "makan" ialah "ma-an" manakala suku Bidayuh dari kawasan Padawan pula menyebut "makan" sebagai "man". Ada juga bidayuh yang baru dikenali sebagai Bidayuh Kuching Tengah atau "Bidayuh Moden ( Baru ), oleh kerana bahasa dan adat yang bercampur dari bidayuh bau jagoi dan bidayuh padawan.Kaum Bidayuh ini boleh ditemui dikawasan perkampungan berdekatan dengan bandar kuching iaitu : 1. Kampung Tematu Simorang 2. Kampung Semeba 3. Kampung Sudat 4. Kampung Bumbok

Pakaian Tradisional

Warna hitam adalah warna utama dalam pemakaian masyarakat Bidayuh. Bagi Kaum wanita masyarakat Bidayuh, pakaian lengkap adalah termasuk baju berlengan pendek atau separuh lengan dan sepasang kain sarung berwarna hitam paras lutut yang dihiasi dengan manik manik halus pelbagai warna disulami dengan kombinasi warna utama yaitu putih, kuning dan merah. Tudung kecil separuh tinggi dengan corak anyaman yang indah atau penutup kepala daripada kain berwarna warni dengan sulaman manik halus adalah pelengkap hiasan kepala wanita masyarakat Bidayuh. Kaum lelaki masyarakat Bidayuh pula umumya mengenakan sepasang baju berbentuk baju hitam separa lengan atau berlengan pendek dengan sedikit corak berunsur flora dan celana hitam atau cawat yang berwarna asas seperti biru, merah dan putih. Kain lilit kepala pula adalah pelengkap hiasan kepala kaum lelaki masyarakat ini.

Seni Musik

Bagi masyarakat Bidayuh, musik memainkan peranan yang penting dalam setiap upacara keagamaan yang mereka jalankan. Musik ini berperanan menaikkan semangat, mengusir roh jahat dan sebagai pententeram kepada semangat roh. Musik juga memainkan peranan dalam pemberitahuan motif sesuatu upacara yang dijalankan. Umumnya musik tradisional masyarakat Bidayuh terdiri daripada sepasang gong besar terbagi daripada dua yaitu Oguong dan Kitaak, canang, Gendang atau Pedabat dan Tawak (sejenis gong kecil. Terdapat juga alat musik tradisional yang lain seperti serunai/seruling dan gitar buluh. Namun alat musik seumpama ini amat kurang dimainkan kerana proses pembuatannya yang agak rumit.

Senjata Tradisional

Lembing, tombak, parang ilang (parang pendek), sumpit, "jepur" (seakan samurai) dan "rira" (meriam kecil)adalah peralatan senjata yang lazimnya digunakan oleh masyarakat ini untuk berperang pada zaman dahulu kala. Manakala peralatan senjata seperti parang, cangkul dan sabit selalunya digunakan untuk kegiatan pertanian.




William Nais penerima gelar datuk adalah salah seorang putera terbaik Dayak Bidayuh yang juga bergelar temanggung, pernah mendirikan Dayak Bidayuh National Association (1955). Beberapa buku tentang Dayak Bidayuh di Sarawak pernah ia tulis termasuk salah satunya adalah artikel Dayak Bidayuh Culture atau Kebudayaan Dayak Bidayuh. Dayak Bidayuh Culture merupakan salah satu artikel yang terangkum dalam buku besar yang berjudul Customs and Traditions of the Peoples of Sarawak. Artikel tersebut ditulis untuk memperkenalkan kebudayaan Dayak Bidayuh pada peringatan 25 tahun Sarawak bergabung dengan Malaysia. 

William Nais memaparkan penggolongan Dayak Bidayuh. Disebutkan bahwa Dayak Bidayuh di Sarawak digolongkan dalam empat kelompok etnis, yaitu (1) kelompok Bukar Sadong, kelompok ini merupakan kelompok yang terbesar di Sarawak, terdiri dari 126 kampung. Perkampungan mereka terletak di hulu Sungai Sadong, masuk ke dalam wilayah Distrik Serian; (2) kelompok Bipuruh, yang merupakan kedua terbesar sesudah Bukar Sadong, terdiri dari 81 kampung yang tersebar di daerah pedalaman Distrik Kucing; (3) kelompok Bau-Jagoi, kelompok yang terbesar ketiga, dengan 43 kampung, berdomisili di wilayah Distrik Bau, dan (4) kelompok Selako-Lara, kelompok Bidayuh yang terkecil dengan 41 kampung, yang terletak di wilayah Distrik Lundu’. 

Menurut Sensus (Banci) tahun 1988, Dayak Bidayuh hanya berjumlah 133.253 jiwa atau 8,3 % dari total penduduk Sarawak yang berjumlah 1.600.000 jiwa. Sebelum kedatangan Misionaris Katolik Roma ke Brunai tahun 1691, orang Bidayuh di Sarawak sering menjadi sasaran pengayauan orang Iban, Lanun, maupun para pencari kepala dari sub suku Dayak lain. Ada yang dibunuh, ditawan sebagai budak. Yang masih selamat melarikan diri ke hutan. Di dalam hutan, mereka mengadakan pertemuan membicarakan nasib mereka. Selanjutnya disepakati untuk mengirim seorang yang bernama Bai Pangol bertapa ke Banjaran Kelingkang. 

Di Banjaran Kelingkang, Bai Pangol bertemu dengan makhluk gaib yang disebut Kamang. Kamang berkata kepada Bai Pangol, “Jika kamu ingin hidup berkecukupan makan dan minum, bebas dari sakit penyakit, kamu harus berani membunuh musuh-musuhmu dan mengambil kepalanya. Namun, saya ingatkan kepadamu, jangan membunuh orang yang tidak bersalah, orang sakit, wanita, dan anak-anak, karena jiwa mereka akan membalas dendam dalam bentuk wabah penyakit dan gempa bumi yang akan menimpa seluruh penduduk.” Kamang tersebut kemudian memberikan jimat yang disebut inyo kamang kepada Bai Pangol untuk digunakan di medan perang. Kamang tersebut berpesan bahwa sebelum berangkat ke medan perang, pasukan yang mau ikut berperang, terlebih dahulu harus meminta petunjuk kepada burung malam yang disebut Bimanuk Ngarum. Jika petunjuknya baik, akan menang perang. Orang yang akan pergi berperang harus melumuri badannya dengan jimat. 
Sesudah memperoleh bahan berupa jimat dan petuah dari kamang, Bai Pangol pun pulang ke rumahnya di Bukar Sadong. Bai Pangol inilah yang kemudian memperkenalkan tujuan memotong kepala musuh dan cara-cara memberikan penghormatan kepada tengkorak. Upacara penghormatan terhadap tengkorak kering inilah yang disebut sebagai Gawai Tikurok. 
Proses Pelaksanaan Gawai Tikurok
Gawai Tikurok diadakan empat tahun sekali selepas panen. Gawai Tikurok terdiri dari tiga tingkatan, yaitu tingkat pertama disebut Gawai Nyibaru (penghormatan terhadap tengkorak yang ada di rumah tempat kepala (Baruk). Caranya dengan memukul gong, gendang, menembakkan senapan lantak, meriam, dan berbagai alu-aluan. Tingkat kedua disebut Gawai Mukah, dan ketiga disebut Gawai Nyakan.Tujuan umum Gawai Tikurok adalah untuk menciptakan ketentraman, kesejahteraan, dan kebajikan bagi penduduk kampung; memohon agar dianugerahi makanan, binatang buruan, dan buah-buahan yang berlimpah; memohon agar dijauhkan dari penyakit, gempa bumi, dan cuaca buruk; dan penyembuhan dari penyakit.

Perangkat Adat dan Bahan untuk Upacara Adat
Bahan persembahan yang diperuntukkan bagi tengkorak dan para kamang terdiri dari tuak yang dicampur dengan darah ayam disimpan dalam buluh; beras kunyit yang ditabur di atas tengkorak; nasi dalam bungkusan kecil sebagai makanan harian tengkorak, kunyit yang diparut dan diletakkan dalam daun manah, (daun rinyuakng: Dayak Kanayatn, Red.); tembakau, limau nipis, daun sirih, buah pinang dan gambir; keladi merah atau ubis bireh yang disukai oleh kamang; pisang embun, nasi dalam buluh kecil untuk Kamang Tariu; ayam goreng yang dipotong kecil-kecil; ikan siluang yang dibungkus dengan daun; dan rokok apong yang diselipkan pada rahang tengkorak. Sedangkan, bahan-bahan utama untuk penyelenggaraan Gawai Tikurok terdiri dari dua ekor babi – seekor untuk peserta yang hadir dalam upacara tersebut - seekor untuk pahlawan atau Baku Rasi yang mendapatkan kepala musuh. Jika Baku Rasi sudah meninggal, maka babi ini dipersembahkan untuk arwahnya; dan tiga ekor ayam jantan muda yang digunakan sewaktu melakukan upacara. Tempat untuk menyimpan tengkorak dan bahan-bahan persembahan tersebut di atas, disebut Tiang Sadong. Orang yang memimpin upacara Gawai Tikurok disebut Tua Gawai atau Ranjak. 

Setiap keluarga menyumbangkan beras atau bary rayi dan beras pulut untuk dimasak dalam buluh dan dibungkus dengan daun atau sungkoi. Sedangkan bahan lain yang disiapkan oleh penduduk terdiri dari pekasam ikan siluang, tuak dari pohon aren, kunyit dan kulit buah (menyarin) untuk mandi peserta upacara, jenis daun tumbuhan yang disebut mabu, bambu munti’ berwarna kuning, kain putih untuk menghias Tiang Sadong, lilin putih, cangkang kulit telur yang sudah diasapkan dan diikat-tujuh biji seikat, campuran pinang, tembakau, sirih, gambir dan limau. Orang yang ditunjuk sebagai calon tua gawai harus mempunyai dulang untuk menyimpan bahan persembahan tersebut. 

Gawai Tikurok ini menyebar ke setiap sub suku Dayak Bidayuh di perbatasan Kab. Bengkayang dan Sanggau dengan wilayah Sarawak, Malaysia. Segala perangkat adat, inti upacara dan tujuannya sama, hanya istilah yang dipakai berbeda sesuai dengan nama sub suku masing-masing. Pada Dayak Bidayuh Tadatn dan Liboi di tepi Sungai Biang dan Kumba, Seluas, upacara ini disebut Nyubeg Bak, dan dalam bahasa Melayu disebut Nyobeng.
  
Isi artikel Dayak Bidayuh Culture dalam buku Customs and Traditions of the Peoples of Sarawak (1988) ini, mengungkapkan cara hidup orang Dayak Bidayuh secara lengkap. Bahasan utamanya diawali dengan kehidupan di rumah panjang. Di sini dijelaskan bahwa sebelum mendirikan rumah panjang, para tetua dan tokoh Dayak Bidayuh terlebih dahulu harus mendengar isyarat burung dengan mendengarkan suara burung tertentu pada sore hari menjelang malam. Suara burung ini, diterjemahkan oleh Tukang Tuta. Tujuannya adalah untuk meminta izin kepada roh penunggu tanah tempat akan didirikan rumah panjang tersebut. 

Pada zaman dulu, rumah panjang orang Bidayuh didirikan di dataran tinggi, hulu sungai, dan kawasan pegunungan. Tujuan utamanya untuk menghindari serangan musuh yang mereka sebut pinyamun ‘pengayau’.Perkampungan orang Bidayuh, diperintah oleh: (a) Tua Kampung, yang bertanggung jawab mengelola kampung; (b) Tukang Tuta, seorang ahli penterjemah bunyi-bunyi burung, serangga atau firasat; (c) Dayung Ranjak, ahli dalam upacara; (d) Bara Pinamang, sekelompok laki-laki dewasa yang mempelajari tentang pemujaan roh-roh di gunung; (e) Nyamba Biruri, seorang dukun, dan (f) Komiti Pimain Asar, sebuah panitia yang bertanggung jawab menyelenggarakan festival, tari-tarian dan upacara pengobatan Dayak Bidayuh.

Di Sarawak, ada kira-kira 80% orang Bidayuh bekerja sebagai petani. Di antaranya menanam padi, memelihara ternak, menanam karet, kakao, dan tanaman buah-buahan. Sedangkan 20%-nya bekerja sebagai pegawai negeri dan pegawai swasta di perusahaan perkebunan dan lainnya. Namun, dewasa ini, generasi muda Bidayuh lebih suka bekerja di perusahaan swasta, hotel, maupun restoran yang ada di kota, baik di Kucing maupun Kuala Lumpur. Cukup banyak pula orang Bidayuh yang mengenyam pendidikan tinggi di universitas, seperti di UNIMAS-Sarawak, UKM-Bangi, dan perguruan tinggi bergengsi lainnya.


Rabu, 26 Juni 2013

HUBUNGAN SUKU-SUKU DAYAK DENGAN SUKU MELAYU BANJAR DI SELATAN BORNEO

Perkawinan Sultan Banjar Dengan Puteri-Puteri Dayak.

Dari tradisi lisan suku Dayak Ngaju dapat diketahui, isteri raja Banjar pertama yang bernama Biang Lawai beretnis Dayak Ngaju.Sedangkan isteri kedua raja Banjar pertama yang bernama Noorhayati, menurut tradisi lisan suku Dayak Ma'anyan, berasal dari etnis mereka.Jadi perempuan Dayak-lah yang menurunkan raja-raja Banjar yang pernah ada.Dalam Hikayat Banjar menyebutkan salah satu isteri raja Banjar ketiga Sultan Hidayatullah juga puteri Dayak, yaitu puteri Khatib Banun, seorang tokoh Dayak Ngaju.

Dari rahim puteri ini lahir Marhum Panembahan yang kemudian naik tahta dengan gelar Sultan Mustainbillah.
Putri Dayak berikutnya adalah isteri raja Banjar kelima Sultan Inayatullah, yang melahirkan raja Banjar ketujuh Sultan Agung.Sultan Tamjidillah Al-Wajikoebillah (putera Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam) juga lahir dari seorang puteri Dayak berdarah campuran Tionghoa yaitu Nyai Dawang.

Sultan Muhammad Keman.

Salah satu sayap militer Pangeran Antasari yang terkenal tangguh dan setia, adalah kelompok suku Dayak Siang Murung dengan kepala sukunya Tumenggung Surapati.Hubungan kekerabatan sang Pangeran melalui perkawinannya dengan Nyai Fatimah yang tak lain adalah saudara perempuan kepala suku mereka, Surapati.Dari puteri Dayak ini lahir Sultan Muhammad Seman yang kelak meneruskan perjuangan ayahnya sampai gugur oleh peluru Belanda tahun 1905.Dalam masa perjuangan tersebut, Muhammad Seman juga mengawini dua puteri Dayak dari Dayak Ot Danum.Putranya, Gusti Berakit, ketika tahun 1906 juga mengawini putri kepala suku Dayak yang tinggal ditepi sungai Tabalong.Sebagai wujud toleransi yang tinggi, ketika mertuanya meninggal, Sultan Muhammad Seman memprakarsai diselenggarakannya Tiwah, yaitu upacara pemakaman secara adat Dayak (Kaharingan).


Puteri Mayang Sari.

Puteri Mayang Sari yang berkuasa di Jaar-Singarasi, kabupaten Barito Timur adalah puteri dari raja Banjar Islam yang pertama (Sultan Suriansyah) dari isteri keduanya Norhayati yang berdarah Dayak, cucu Labai Lamiah tokoh Islam Dayak Ma'anyan.Walau Mayang Sari beragama Islam, dalam memimpin sangat kental dengan adat Dayak, senang turun lapangan mengunjungi perkampungan Dayak dan sangat memperhatikan keadil-makmuran masyarakat Dayak dimasanya.Itu sebab ia sangat dihormati dan makamnya diabadikan dalam Rumah Adat Banjar di Jaar, kabupaten Barito Timur.

Perang Banjar.

Eratnya persahabatan Banjar-Dayak, juga karena kedua suku ini terlibat persekutuan erat melawan Belanda dalam Perang Banjar.Setelah terdesak di Banjarmasin dan Martapura, Pangeran Antasari beserta pengikut dan keturunannya mengalihkan perlawanan kedaerah Hulu Sungai dan sepanjang sungai Barito sampai kehulu Barito, dimana terdapat beragam etnis Dayak terlibat didalamnya.Perang antar koalisi etnis Banjar bersama etnis Dayak disatu pihak versus Belanda dan antek-anteknya dipihak lain, sebagaimana watak peperangan pada umumnya, jauh lebih banyak duka dari pada sukanya.

Kedua suku serumpun ini sudah merasa bersaudara senasib sepenanggungan, dimana harta benda, jiwa raga, darah dan air mata sama-sama tumpah ditengah api perjuangan mengusir penjajah.

Beberapa pahlawan perang Banjar dan perang Barito dari etnis Dayak :
¤ Tumenggung Surapati, meninggal 1904 dimakamkan di Puruk Cahu, Murung Raya.
¤ Panglima Batur, dari suku Dayak Siang Murung, dimakamkan dikomplek makam Pangeran Antasari, Banjarmasin Utara, Banjarmasin.
¤ Panglima Unggis, dimakamkan didesa Ketapang, kecamatan Gunung Timang, Barito Utara.
¤ Panglima Sogo, yang turut menenggelamkan kapal Onrust milik Belanda 26 desember 1859, di Lewu Lutung Tuwur, makamnya didesa Malawaken, kecamatan Teweh Tengah, Barito Utara.
¤ Panglima Batu Balot (Tumenggung Marha Lahew), panglima wanita yang pernah menyerang Fort Muara Teweh tahun 1864-1865, makamnya didesa Malawaken (Teluk Mayang), kecamatan Teweh Tengah, Barito Utara.
¤ Panglima Wangkang dari suku Dayak Bakumpai di Marabahan, putera dari Damang Kendet dan ibunya wanita Banjar dari Amuntai.
¤ Perang Muntallat tahun 1861 juga menyebabkan gugurnya dua putera Ratu Zaleha yang dimakamkan didesa Majangkan, kecamatan Gunung Timang, Barito Utara.



Dammung Sayu.
Merupakan seorang pemimpin masyarakat suku Dayak Ma'anyan Paju Sapuluh yang telah berjasa dalam membantu salah seorang kerabat raja Banjar yang bersembunyi diwilayahnya dari pengejaran pihak Belanda.
Karena itu akhirnya Belanda membumi-hanguskan perkampungan suku ini yang terletak didesa Magantis, Tamiang Layan, Dusun Timur, Barito Timur. Pihak kerajaan Banjar yang berjuang melawan penjajah Belanda mengangkat Dammung Sayu sebagai panglima dengan gelar Tumenggung dan memberikan seperangkat payung kuning dan perlengkapan kerajaan.



Sangiang.
Toleransi antara suku Banjar dan Dayak, juga dapat dilihat dari sastera suci suku Dayak Ngaju, Panaturan.
Digambarkan disana, raja Banjar (Raja Maruhum) beserta puteri Dayak yang menjadi isterinya Nyai Siti Diang Lawai adalah bagian leluhur orang Dayak Ngaju.Bahkan mereka juga diproyeksikan sebagai Sangiang (Manusia Illahi) yang tinggal di Lewu Tambak Raja, salah satu tempat di Lewu Sangiang (perkampungan para Dewa).Karena sang raja beragama Islam maka disana disebutkan juga ada Masjid.

Balai Hakey.



Secara sosiologis-antropologis antara etnis Banjar dan Dayak diibaratkan sebagai Dangsanak Tuha dan Dangsanak Anum (saudara tua dan muda).rang Banjar yang lebih dahulu menjadi muslim disusul sebagian etnis Dayak yang Bahakey (Berislam), saling merasa dan menyebut yang lain sebagai saudara.Mereka tetap memelihara toleransi hingga kini.Tiap ada upacara Ijambe, Tewah dan sejenisnya, komunitas Dayak selalu menyediakan Balai Hakey, tempat orang muslim dipersilahkan menyembelih dan memasak makanannya sendiri yang dihalalkan menurut keyakinan Islam.


Intingan Dan Dayuhan.

Toleransi antara suku Banjar dan suku Dayak Bukit dipegunungan Meratus didaerah Tapin di Kalimantan Selatan, juga dapat dilihat pada mitologi suku bangsa tersebut.Dalam pandangan mereka, Urang Banjar adalah keturunan dari Intingan (Bambang Basiwara), yaitu Dangsanak Anum (Adik) dari leluhur mereka yang bernama Dayuhan (Ayuhan).Meskipun kokoh dengan kepercayaan leluhur, suku Dayak Bukit selalu menziarahi Masjid Banua Halat yang menurut mitologi mereka dibangun oleh Intingan, ketika saudara leluhur mereka tersebut memeluk agama Islam.

Hubungan persahabatan yang erat antara orang Banjar dengan Dayak jelas kelihatan ketika kedua-dua suku itu berjuang bersama-sama melawan Belanda dalam Perang Banjar (1858-1905). Meskipun ketika berlakunya peperangan itu tidak dinafikan ada ketua suku Dayak yang berpihak di sebelah Belanda, tetapi penyertaan dan sokongan suku Dayak dalam Perang Banjar itu nampaknya sangat terserlah. Dalam peperangan yang memakan masa yang agak panjang itu, ramai pahlawan perang itu terdiri daripada etnik Dayak, antaranya yang paling menonjol ialah Tumenggung Surapati, Panglima Batur (dari suku Dayak Siang Murung), panglima Unggis, Panglima Sogo, Panglima Batu Balot (seorang wanita), dan panglima Wangkang (dari suku Dayak Bakumpai).

Pada zaman kolonial Belanda pula, hubungan persaudaraan dan ikatan keluargaan antara orang Banjar dengan orang Dayak masih berterusan. Namun, berbanding dengan orang Dayak, lebih banyak orang Banjar yang berpeluang memasuki birokrasi kolonial, sekurang-kurangnya sebagai pegawai rendah. Dengan itu, orang Dayak terus menjadi subordinat kepada orang Banjar yang menjadi pegawai kerajaan kolonial itu seperti pada zaman Kesultanan juga.

Hubungan Orang Banjar dan Dayak Masa Kini

Walaupun orang Banjar dan orang Dayak berasal dari masa silam yang sama, tetapi kini masa silam yang sama itu mungkin tidak penting lagi. Yang lebih menonjol kini ialah identitas yang baru – orang Banjar dan orang Dayak adalah dua kumpulan etnik yang berbeda Dan atas identiti baru itu, dua suku yang bertetangga  Banjar dan Dayak telah terlibat dengan persaingan dalam pelbagai bidang kehidupan. Dengan itu, Hairus Salim (1996: 227) menganggap bahawa hubungan orang Banjar dengan orang Dayak kini ialah hubungan yang tak selalu mesra.

Hubungan orang Banjar dengan orang Dayak yang tidak selalu mesra itu telah diungkapkan oleh Anna Lowenhaupt Tsing (1993), seorang ahli antropologi dari Universiti California, dalam kajiannya tentang Dayak Meratus atau Dayak Bukit, yang banyak bermukim di sekitar pergunungan Meratus di Kalimantan Selatan. Walaupun “hubungan kultural” antara orang Banjar dan Dayak telah terputus apabila Banjar ditegaskan sebagai identiti mereka yang beragama Islam, dan orang Dayak pula ialah orang yang non Islam, tetapi menurut Tsing (1993) hubungan ekonomi dan politik yang berasaskan kawasan antara kedua-dua suku tetap berlangsung terus. Hubungan ekonomi dan politik yang berasaskan kawasan itu pada masa kebelakangan ini diatur oleh “pentadbiran negara”.

Dari segi ekonomi, orang Banjar sebenarnya terlibat dengan hubungan perdagangan yang intensif dengan suku Dayak Meratus, malah merekalah yang menjadi perantara bagi perkembangan ekonomi wilayah (Hairus Salim 1996: 230). Orang Banjar mendominasi pasar minggu kecil diujung jalur yang menuju pegunungan Meratus. Keperluan-keperluan suku Dayak seperti pakaian, garam, perkakas logam dan barang-barang mewah lainnya disalurkan oleh orang Banjar. Sementara itu dengan berjalan kaki atau naik rakit, orang Dayak Meratus datang ke pasar tersebut untuk menjual rotan, getah, kacang, kayu ulin, kayu kemenyan dan hasil-hasil hutan yang lain kepada orang Banjar, yang kemudian menjualnya juga ke bandar.

Walau bagaimanapun, hubungan perdagangan antara orang Banjar dengan orang Dayak itu berlangsung dalam keadaan yang sangat tidak seimbang. Sebagai perantara, orang-orang suku Banjar mempunyai kedudukan tawar menawar yang lebih tinggi. Mereka dapat menetapkan harga mengikut kemauan mereka, yang menyebabkan suku Dayak Meratus selalu merasa dirugikan. Akan tetapi, orang Dayak tidak dapat berbuat apa-apa, karena mereka tidak mempunyai pilihan lain.

Selain itu, orang-orang Dayak Meratus juga tidak berpuas hati karena mereka tidak mempunyai kemampuan untuk mendapatkan kredit daripada pedagang Banjar; jauh dari pemilik sarana pengangkutan, truk atau motorboat, gudang, dan tempat pengeringan getah, yang semuanya dimiliki oleh orang Banjar; tidak mempunyai jaringan untuk mendapatkan modal, kemudahan-kemudahan penyimpanan, dan tempat tinggal di bandar Banjarmasin; akses yang sangat terbatas untuk mengetahui keadaan pemasaran dan seterusnya (Tsing 1993: 55-56).

Perhubungan perdagangan yang tidak seimbang itu, diperkuatkan pula oleh hubungan orang Banjar yang rapat dengan “negara”. Orang Banjar adalah penguasa politik pada peringkat wilayah. Bahkan kepentingan negara di kalangan suku Dayak diartikulasikan oleh kepentingan-kepentingan suku Banjar. Di daerah Meratus, ‘’kepentingan pemerintah menjelma menjadi kepentingan orang Banjar. Ini ialah kerana pegawai-pegawai pemerintah pada peringkat kabupaten dan kecamatan, dan pegawai tentera, pertanian dan kesihatan yang melakukan hubungan dengan orang Dayak ialah orang-orang suku Banjar. Dengan itu, negara dan kepentingan nasional tampil di kalangan Dayak Meratus dengan wajah Banjar.

Wajah “negara” dalam artikulasi kepentingan suku Banjar itu diperlihatkan Tsing (1991) misalnya dalam dasar negara mengenai pembangunan masyarakat terasing pada tahun 1970-an. Dalam pentadbiran dasar itu, pada tahun 1971 suku Dayak Meratus dimasukkan sebagai salah satu dari masyarakat terasing. Maka pegawai pemerintah yang kebanyakannya terdiri daripada orang Banjar telah membuka hutan untuk menjadi tempat tinggal baru bagi orang Dayak Meratus. Bagaimanapun, dengan pembukaan hutan itu, orang Banjar juga mendapat kesempatan untuk berpindah ke kawasan baru tersebut, dengan jaminan mendapat perkhidmatan dan tanah. (Tsing 1991: 45). Sebagai akibatnya, tidak lama selepas itu, pemukiman baru itu telah didominasi oleh orang Banjar, kerana penguasaan mereka terhadap jalur perdagangan dan politik wilayah. Sementara itu, orang Dayak Meratus sendiri terus tersingkir, bahkan kemudian banyak yang pulang ke tempat mereka yang asal.

Tidak dinafikan masyarakat Dayak Meratus berpeluang mengenal kemajuan melalui artikulasi oleh pegawai pemerintah dari suku Banjar. Mereka mempelajari ekonomi global daripada pedagang Banjar. Orang Meratus juga mengenali birokasi negara di tingkat wilayah melalui orang Banjar. Akan tetapi, hubungan itu tetap bersifat artifisial, karena dalam banyak hal justru membuat orang Dayak semakin jatuh dan jauh terpinggir dari yang mereka alami sejak zaman pra-kolonial dan kolonial (Hairus Salim 1996: 231).

Perhubungan orang Banjar dengan orang Dayak masa kini memasuki tahap yang baru, apabila mulai tahun 2000, suku Dayak Meratus terlibat dengan konflik yang agak serius dengan golongan penguasa Kalsel yang terdiri daripada orang Banjar. Hal ini berkaitan dengan dasar dan tindakan Sjachriel Darham, Gubernor Kalsel masa itu yang nampaknya tidak mengambil kira kepentingan orang Dayak. Sjachriel Darham telah membenarkan sebahagian Hutan Lindung Pegunungan Meratus, tempat tinggal orang Dayak, seluas 46,270 hektar, diberikan kepada perusahaan perkebunan berskala besar, PT Kodeco Group, yang berasal dari Korea Selatan.

Sebagaimana yang diketahui suku Dayak Meratus telah mendiami kawasan pegunungan Meratus itu sejak turun temurun. Hutan itu merupakan sumber kehidupan mereka, kerana memang di situlah tempat tinggal mereka sejak lama. Oleh itu, sudah tentu suku Dayak Meratus tidak menyetujui Hak Pengusahaan Hutan (HPT) kawasan hutan itu diserahkan kepada pengusaha besar. Apatah lagi pemberian konsesi kepada perusahaan dari Korea itu akan melibatkan alih fungsi sebahagian kawasan pergunungan Meratus dari hutan lindung kepada hutan produksi.

Mendengar kawasan hutan lindung itu akan dijadikan kawasan Hak Penguasaan Hutan (HPH) Kodeco, ratusan warga masyarakat Dayak Meratus berkali-kali turun ke Banjarmasin untuk mengadakan tunjuk perasaan, sama ada kepada DPRP mahupun kepada Gabenor sendiri. Sejak tahun 1998 hingga awal 2000 dikatakan lebih 20 kali warga pedalaman itu mengadakan tunjuk perasaan ke Banjarmasin dengan tuntutan yang sama: menolak kawasan Meratus dijadikan kawasan HPH. Namun, tuntutan mereka tidak pernah diberi perhatian yang sewajarnya. (Kompas,1 Ogos 2001).

Tuntutan warga Dayak Meratus itu akhirnya didengar oleh beberapa LSM. Mereka memberi sokongan dengan membentuk Aliansi Meratus yang merupakan gabungan 33 LSM. Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak Kalsel (LMMD-KS) dan LSM Telapak Indonesia yang beribu pejabat di Bogor juga memberi sokongan moral kepada warga Dayak Meratus dengan mengecam Pemda Kalsel.

Para aktivis itu jugalah yang meneruskan tuntutan warga Dayak Meratus, sama ada kepada Gabenor Sjachriel mahupun kepada DPRD tempatan. Namun, pihak Pemda bertindak balas untuk melumpuhkan gerakan itu dengan mengadukan Koordinator Aliansi Meratus, Hairansyah kepada pihak polis dengan tuduhan menghasut rakyat untuk mengadakan tunjuk perasaan.
Ketika isu yang berkaitan dengan pemberian sebahagian hutan lindung Pegunungan Meratus kepada perusahaan besar itu belum lagi selesai, timbul pula isu lain yang melibatkan kawasan yang sama, iaitu pemberian hak melombong kepada pengusaha perlombongan emas, PT Meratus Sumber Mas oleh pemerintah daerah. Tindakan pemerintah daerah ini mendapat tentangan daripada kira-kira 750 orang perwakilan dari 300 balai (rumah besar pusat kegiatan adat) yang tersebar di seluruh Kalimantan Selatan, yang mengadakan kongres selama empat hari, berakhir pada 26 Jun 2003 di Samarinda (Kompas 1 Julai 2003). 

Namun, penentangan warga Dayak Meratus itu nampaknya tidaklah mendapat perhatian yang sepatutnya daripada pemerintah daerah yang dikuasai oleh orang Banjar. Oleh yang demikian, sebuah LSM terkenal yang prihatin tentang masalah alam sekitar, yaitu WALHI, dalam beritanya pada 2 Juni 2006 menyatakan:“…Hutan Lindung Meratus, kawasan hutan asli yang masih tersisa di Propinsi Kalimatan Selatan, “rumah terakhir” masyararakat Dayak Meratus saat ini menjadi kawasan yang paling terancam. Saat ini pemerintah dan pengusaha tambang serta perkebunan skala besar melakukan berbagai cara, termasuk memecah masyarakat Dayak Meratus melalui perubahan tapal batas antar kabupaten, sayangnya kebutuhan masyarakat bertolak belakang dengan keinginan pemerintah daerah (Walhi 2006). Apabila disebut pemerintah daerah tentulah merujuk kepada orang Banjar, kerana orang Banjarlah yang merupakan penguasa pada peringkat tersebut. Ini bermakna konflik antara orang Dayak dengan orang Banjar masih berterusan.

Kesimpulan

Meskipun orang Banjar berasal dari orang Dayak, ataupun dari percampuran orang Dayak dengan pelbagai suku yang lain, tetapi setelah orang Banjar memeluk agama Islam dan mendirikankan kerajaan Islam Banjar, perpisahan antara kedua suku itu nampaknya sudah merupakan sesuatu yang berkekalan. Mungkin sejak zaman dahulu lagi, orang Dayak yang tidak memeluk agama Islam memilih tinggal di kampung yang berasingan dari kampung orang Banjar; di tempat yang umumnya terletak di pedalaman.

Kemunculan kerajaan Islam Banjar pada abad ke-16, nampaknya menandakan bermulaanya kedudukan orang Dayak sebagai subordinat kepada orang Banjar, karena orang Banjar adalah kelas pemerintah yang wilayah pemerintahannya meliputi juga kawasan yang didiami oleh orang Dayak. Kedudukan orang Dayak sebagai subordinat kepada orang Banjar ini boleh dikatakan tidak berubah pada zaman penjajahan dan lebih jelas lagi pada zaman selepas kemerdekaan, kerana pada zaman selepas kemerdekaan memang orang Banjarlah yang menduduki jawatan penting dalam pemerintahan daerah, di samping mereka juga yang menguasai perdagangan yang melibatkan orang Dayak.

Jika kita lihat hubungan orang Banjar dengan orang Dayak pada masa mutakhir, hubungan mereka nampaknya bukan sahaja tidak mesra, malah sudah melibatkan konflik yang agak serius. Hubungan tidak mesra itu sudah kelihatan sejak lama, melibatkan golongan pedagang Banjar dan penguasa Banjar, yang jelas lebih berkuasa ke atas orang Dayak Kini timbul pula isu baru yang menimbulkan konflik, iaitu tindakan pemerintah daerah yang diketuai oleh Gabenor dari etnik Banjar yang memberikan kawasan hutan tempat tinggal orang Dayak Meratus kepada pengusaha perkebunan dan perlombongan besar.

Tidaklah dinafikan pemberian kawasan hutan untuk diusahakan oleh pengusaha besar itu ada juga faedahnya kepada orang Dayak, misalnya dari segi wujudnya peluang pekerjaan, dan mungkin terbinanya jalan yang akan menghubungkan kawasan tempat tinggal orang Dayak dengan kawasan bandar. Namun, sebagaimana yang terbukti dari kajian di tempat lain, (lihat Syarif Ibrahim Alqadrie 1994, 244-260; Patingi Y.A.Aris 1994, 261-66), kesan negatif dari aktiviti pembukaan kawasan hutan dan perlombongan itu kepada kehidupan penduduk setempat jauh lebih banyak dari kesan positifnya. Itulah sebabnya orang Dayak tidak menyetujui kawasan hutan tempat tinggal mereka diberikan kepada pengusaha besar.
Walau bagaimanapun, kedudukan orang Dayak sebagai subordinat kepada orang Banjar nampaknya tidak memungkinkan mereka menentang dasar pembangunan penguasa Banjar yang merugikan mereka, dan dengan itu sangatlah sukar mereka keluar dari kehidupan mereka yang mundur dan terpinggir. Barangkali orang Dayak hanya mungkin keluar dari keadaan mundur dan terpinggir itu, setelah melalui satu masa yang agak lama, khasnya setelah mereka mencapai taraf pendidikan yang memadai dan dengan itu dapat menduduki jawatan penting dalam pemerintah daerah, sama ada dalam bidang birokrasi mahupun politik. Memang sebagaimana yang sering berlaku, orang Dayak hanya mungkin bermobiliti ke atas, walaupun agaknya secara beransur-ansur, melalui jalan pendidikan.