Dayak Benuaq adalah salah satu anak suku Dayak di Kalimantan Timur.Berdasarkan pendapat beberapa ahli suku ini dipercaya berasal dari Dayak Lawangan sub suku Ot Danum dari Kalimantan Tengah. Lewangan juga merupakan induk dari suku Tunjung di Kalimantan Timur. Benuaq sendiri berasal dari kata Benua dalam arti luas berarti suatu wilayah/daerah teritori tertentu, seperti sebuah negara/negeri. pengertian secara sempit berarti wilayah/daerah tempat tinggal sebuah kelompok/komunitas. Menurut cerita pula asal kata Benuaq merupakan istilah/penyebutan oleh orang Kutai, yang membedakan dengan kelompok Dayak lainnya yang masih hidup nomaden. Orang Benuaq telah meninggalkan budaya nomaden. Mereka adalah orang-orang yang tinggal di "Benua", lama-kelamaan menjadi Benuaq. Sedangkan kata Dayak menurut aksen Bahasa Benuaq berasal dari kata Dayaq atau Dayeuq yang berarti hulu.
Menurut leluhur orang Benuaq dan berdasarkan kelompok dialek bahasa dalam Bahasa Benuaq, diyakini oleh bahwa Orang Benuaq justru tidak berasal dari Kalimantan Tengah, kecuali dari kelompok Seniang Jatu. Masing-masing mempunyai cerita/sejarah bahwa leluhur keberadaan mereka di bumi langsung di tempat mereka sekarang. Tidak pernah bermigrasi seperti pendapat para ahli. Salah satu versi cerita leluhur mereka adalah Aji Tulur Jejangkat dan Mook Manar Bulatn. Keduanya mempunyai keturunan Nara Gunaq menjadi orang Benuaq, Sualas Gunaq leluhurnya orang Tonyoy/Tunjung, Puncan Karnaq leluhurnya orang Kutai.
Orang Benuaq di kawasan hilir Mahakam dan Danau Jempang dan sekitarnya hingga Bongan dan Sungai Kedang Pahu mengaku mereka keturunan Seniang Bumuy.
Seniang Jatu dipercaya merupakan leluhur orang Benuaq di kawasan Bentian dan Nyuatan. Dikisahkan bahwa Seniang Jatu diturunkan di Aput Pererawetn, tepi Sungai Barito, sebelah hilir Kota Muara Teweh (Olakng Tiwey). Kedatangan suku (mungkin orang Lewangan, Teboyan, Dusun dan sebagainya) dari Kalimantan Tengah justru berasimilasi dengan Orang Benuaq, dan ini menyebabkan Orang Benuaq mempunyai banyak dialek.
Sedangkan orang Benuaq di kawasan hulu Kedang Pahu mengaku mereka keturunan Ningkah Olo. Menurut legenda Ningkah Olo pertama kali turun ke bumi, menginjakkan kakinya di daerah yang disebut dalam Bahasa Benuaq, Luntuq Ayepm (Bukit Trenggiling). Tempat ini diyakini sebagai sebuah bukit yang merupakan ujung dari Jembatan Mahakam, Samarinda Seberang, Kota Samarinda. Sisa Suku Dayak Benuaq di Kota Samarinda, akhirnya menyingkir ke utara kota, di kawasan Desa Benangaq, Kelurahan Lempake, Kecamatan Samarinda Utara. Jadi menurut orang Dayak Benuaq justru merekalah yang pertama menjejakkan kaki di Bumi Samarinda jauh sebelum Kerajaan Kutai resmi berdiri di abad 4 M. Selanjutnya sebagian keturunannya berangsung-angsur menuju muara Sungai Mahakam bermukim di Jahitan Layar dan Tepian Batu dan sekitarnya. Sebagian yang menuju muara Mahakam, selanjutnya berlayar/berjalan ke arah selatan (Balikpapan, Paser dan Penajam). Hal ini mungkin bisa menjelaskan hubungan kekerabatan Dayak Benuaq dan Paser. Orang Benuaq di Kecamatan Bongan, Kutai Barat, berbahasa Benuaq berdialeq Paser Bawo. Sebagian lagi menuju pedalaman Sungai Mahakam. Sebagian keturunan yang masih 'tertinggal' di Tenggarong, bermukim di Kecamatan Tenggarong dan Tenggarong Seberang.
Penyebaran Geografis Suku Dayak Benuaq
Suku Dayak Benuaq dapat ditemui di sekitar wilayah Sungai Kedang Pahu di pedalaman Kalimantan Timur dan di daerah danau Jempang. Di Kalimantan Timur, sebagian besar mendiami Kutai Barat dan merupakan etnis mayoritas (+/- 60 %). Mendiami di Kecamatan Bongan, Jempang, Siluq Ngurai, Muara Pahu, Muara Lawa, Damai, Nyuwatan, sebagian Bentian Besar, Mook Manar Bulatn serta Barong Tongkok, di Kabupaten Kutai Kartanegara mendiami daerah Jonggon hingga Pondok Labu, Kecamatan Tenggarong, kawasan Jongkang hingga Perjiwa, Kecamatan Tenggarong Seberang. Bahkan Bupati Pertama Kutai Barat adalah putra Dayak Benuaq, termasuk Doktor (DR) pertama Dayak Indonesia dalam studi non-teologi juga dari putra Dayak Benuaq dari Kutai Barat.
Karena kedekatan kekerabatan Orang Benuaq dengan Orang Lawangan dan warga di sepanjang Sungai Barito umumnya, maka terdengar selentingan pada Orang Benuaq, mereka merasa layak jika Kabupaten Kutai Barat bergabung dengan wacana Provinsi Barito Raya.
Kedekatan orang Benuaq dengan orang Paser dapat disimak dari cerita rakyat Orang Paser "Putri Petung" dan "Mook Manor Bulatn" cerita rakyat orang Tonyoy-Benuaq, kedua-duanya terlahir di dalam "Betukng" atau "Petung" salah satu spesies/jenis bambu. Selanjutnya dialek orang Benuaq yang berdiam di Kecamatan Bongan sama dengan bahasa orang Paser.
Kekerabatan Orang Benuaq dengan Orang Kutai
Mengenai nama Kutai, ada pendapat bahwa itu memang bukan menunjuk nama etnis seperti yang menjadi identitas sekarang. Sebaliknya ada yang berpendapat nama Kutai selain menunjuk pada teritori. Sumpah Palapa Patih Gajah Mada di Majapahit sempat menyebutkan Tunjung Kuta, ada pula yang mengatakan tulisan yang benar adalah Tunjung Kutai. Dulu dalam buku sejarah Kutai ditulis Kutei, padahal istilah Kutei justru merupakan istilah dalam Bahasa Tunjung Benuaq, entah kapan istilah tersebut berubah menjadi Kutai. Istilah Kutai erat pula dengan istilah Kutaq – Tunjung Kutaq dalam bahasa Benuaq. Di pedalaman Mahakam terdapat nama pemukiman (kota kecamatan) bernama Kota Bangun – sekarang didiami etnis Kutai. Menurut catatan Penjajah Belanda dulu daerah ini diami orang-orang yang memelihara babi, dan mempunyai rumah bertiang tinggi. Menurut Orang Tunjung Benuaq, istilah Kota Bangun yang benar adalah Kutaq Bangun. Demikian pula di sekitar Situs Sendawar ada daerah yang namanya Raraq Kutaq (di Kec. Barong Tongkok, Kota Sendawar ibukota Kutai Barat). Kutaq dalam bahasa Tunjung atau Benuaq berarti Tuan Rumah, jadi orang Tunjung Benuaq lebih dahulu/awal menyebut istilah ini dibandingkan versi lain yang menyebut Kutai berasal dari Bahasa Cina – Kho dan Thai artinya tanah yang luas/besar.
Nama Tenggarong (ibukota Kutai Kartanegara) menurut bahasa Dayak Orang Benuaq adalah Tengkarukng berasal dari kata tengkaq dan karukng, tengkaq berarti naik atau menjejakkan kaki ke tempat yang lebih tinggi (seperti meniti anak tangga), bengkarukng adalah sejenis tanaman akar-akaran. Menurut Orang Benuaq ketika sekolompok orang Benuaq (mungkin keturunan Ningkah Olo) menyusuri Sungai Mahakam menuju pedalaman mereka singgah di suatu tempat dipinggir tepian Mahakam, dengan menaiki tebing sungai Mahakam melalui akar bengkarukng, itulah sebabnya disebut Tengkarukng, lama-kelamaan penyebutan tersebut berubah menjadi Tenggarong sesuai aksen Melayu.
Perhatikan pula nama-nama bangsawan Kutai Martadipura dan Kutai Kartenagara, menggunakan gelar Aji(id)[1] – bandingkan dengan nama Aji Tullur Jejangkat pendiri Kerajaan Sendawar (Dayak) – ayah dari Puncan Karna leluhur orang Kutai. Sisa kebudayaan Hindu yang sama-sama masih tersisa sebagai benang merah adalah Belian Kenjong, Belian Dewa serta Belian Melas/Pelas. Ketiga belian tersebut syair/manteranya menggunakan bahasa Kutai.
Sistem Kepercayaan
Animisme dan Dinamisme merupakan kepercayaan nenek moyang bangsa Indonesia secara umum. Bagi orang Dayak khususnya kepercayaan Dayak Benuaq lebih dari Animisme dan Dinamisme, tetapi meyakini bahwa alam semesta dan semua makhluk hidup mempunyai roh dan perasaan sama seperti manusia, kecuali soal akal.
Oleh sebab itu bagi Suku Dayak Benuaq segenap alam semesta termasuk tumbuh-tumbuhan dan hewan harus diperlakukan sebaik-baiknya dengan penuh kasih sayang. Mereka percaya perbuatan semena-mena dan tidak terpuji akan dapat menimbulkan malapetaka. Itu sebabnya selain sikap hormat, mereka berusaha mengelola alam semesta dengan se-arif dan se-bijaksana mungkin.
Meskipun sepintas kepercayaan orang Dayak Benuaq seperti polytheisme, tetapi mereka percaya bahwa alam semesta ini diciptakan dan dikendalikan oleh penguasa tunggal yaitu Letalla. Letalla mendelegasikan tugas-tugas tertentu sesuai dengan bidang-bidang tertentu, kepada para Seniang, Nayuq, Mulakng dll. Seniang memberikan pembimbingan, sedangkan Nayuq akan mengeksekusi akibat pelanggaran terhadap adat dan norma.
Fungsi Patung (Belontakng) dalam Kepercayaan Dayak Benuaq
Terjadi kesalahan anggapan termasuk para ahli, bahwa Suku Dayak membuat patung untuk mereka sembah sebagai symbol sesembahan masyarakat Dayak Benuaq. Oleh karena kesalahan persepsi ini, seringkali masyarakat Dayak Benuaq dianggap suku penyembah berhala.
Banyak jenis patung yang dibuat Suku Dayak Benuaq bukan untuk disembah atau dipuja, tetapi justru harus diludahi setiap orang yang melewatinya. Ada juga patung yang dibuat untuk mengelabui roh jahat atau makhluk halus agar tidak menggangu manusia. Jadi patung lebih daripada wujud/tanda peringatan baik untuk berbuat baik atau larangan terhadap perbuatan jahat.
Sistem Sosial dan Adat Istiadat
Masyarakat Suku Dayak Benuaq menganut system matrilineal.
Dalam rangka pengelolaan alam semesta termasuk hubungan antar mahluk hidup dan kematiannya serta hubungan dengan kosmos, haruslah sesuai dengan adat istiadat dan tata karma yang telah diwariskan oleh nenek moyang orang Benuaq. Adat istiadat dan tata karma diwariskan sama tuanya dengan keberadaan Suku Dayak Benuaq di Bumi. Orang Suku Dayak Benuaq percaya bahwa Sistem Adat yang ada bukanlah hasil budaya, tetapi mereka mendapatkan dari petunjuk langsung dari Letalla melalui para Seniang maupun melalui mimpi.
Orang Dayak Benuaq, percaya bahwa system adatnya telah ada sebelum negara ini lahir. Itu sebabnya mereka tidak menerima begitu saja, pendapat yang mengatakan bahwa dengan lahir Negara dan aturan dapat menghilangkan aturan Adat Istiadat Suku Dayak Benuaq.
Paling tidak ada 5 pilar/tiang adat Suku Dayak Benuaq :
Adet
Purus
Timekng
Suket
Terasi
Kelimanya harus dijalankan / menjadi pegangan dalam melaksanakan adat istiadat di Bumi, jika tidak akan terjadi ketidak adilan dan kekacauan di masyarakat. Selain itu penyimpangan baik sengaja maupun tidak sengaja oleh pemangku adat akan mendapat kutukan dari Nayuk Seniang. Perwujudan dari kutukan ini bias berbentuk kematian baik mendadak maupun perlahan-lahan, juga bias berbentuk kehidupan selalu mendapat bencana/malapetaka serta susah mendapatkan rejeki.
Lou (dibaca: lo-uu ; Lamin)
Sebagaimana masyarakat Dayak umummya, Dayak Benuaq juga mempunyai tradisi rumah panjang. Dalam masyarakat Dayak Benuaq, tidak semua rumah panjang dapat disebut Lou (Lamin).
Rumah panjang dapat disebut lou (lamin) jika mempunyai minimal 8 olakng. Olakng merupakan bagian/unit lou. Dalam satu olakng terdapat beberapa bilik dan dapur. Jadi olakng bukan bilik/kamar sebagaimana rumah besar, tetapi olakng merupakan sambungan bagian dari lou.
Banyaknya olakng dalam rumah panjang bagi Suku Dayak Benuaq dapat menunjukkan level/bentuk kepemimpinannya. Itu sebabnya rumah panjang yang besar (lou) sering disebut kampong besar atau benua. Berdasarkan pengertian ini lou seringkali berkonotasi dengan kampong atau benua.
Berdasarkan ukuran dan system kepemimpinan rumah panjang, masyarakat adapt Dayak Benuaq membedakan rumah panjang sekaligus model pemukiman masyarakat sebagai:
Lou (lamin)
Puncutn Lou / Puncutn Benua
Puncutn Kutaq
Tompokng
Umaq (Huma / Ladang).
[sunting] Tanaa Adeut (Tanah Ulayat - Tanah Adat)
Hutan dan segala isinya bagi Suku Dayak Benuaq merupakan benda/barang adat. Itu sebabnya pengelolaannya harus berdasarkan system adat istiadat. Pada zaman Orde Baru Suku Dayak Benuaq mengalami zaman yang paling buruk. Hutan sebagai ibu pertiwi mereka disingkirkan dari orang Benuaq dengan berdalih pada Undang-Undang terutama pada Undang-Undang Agraria. Sehingga rejim Orba dengan mudah memisahkan Suku Dayak Benuaq dengan sumber satu-satu penghidupan mereka saat itu, ditambah lagi dengan disebarnya aparat keamanan dan pertahanan untuk menjadi tameng perusahaan-perusahaan HPH. Namun menjadi keanehan bahwa Orang Dayak (Benuaq)lah yang menyebabkan degradasi hutan besar-besaran sebagai dampak system perladangan bergulir, yang disebut-sebut sebagai perladangan berpindah.
Berdasarkan ciri/status hutan dapat dibedakan atas :
Urat Batekng
Simpukng Munan (Lembo)
Kebon Dukuh
Ewei Tuweletn
Lati Rempuuq
Lati Lajah
Berdasarkan suksesi hutan dapat dibedakan atas:
Bengkar Bengkalutn – Bengkaar Tuhaaq (Hutan Primer)
Bengkaar Uraaq (Hutan Sekunder Tua; 15-35 tahun)
Urat Batekng / Batekng (Hutan Sekunder Muda ; 10-15 tahun)
Balikng Batakng (7-10 tahun)
Kelewako (2-3 tahun)
Baber (1-2 tahun)
Umaaq (huma/ladang) 0 – 1 tahun
Prosesi Adat Kematian
Prosesi adat kematian Dayak Benuaq dilaksanakan secara berjenjang. Jenjang ini menunjukkan makin membaiknya kehidupan roh orang yang meninggal di alam baka. Orang Dayak Benuaq percaya bahwa alam baqa memiliki tingkat kehidupan yang berbeda sesuai dengan tingkat upacara yang dilaksanakan orang yang masih hidup (keluarga dan kerabat).
Alam baka dalam bahasa Benuaq disebut secara umum adalah Lumut. Di dalam Lumut terdapat tingkat (kualitas) kehidupan alam baqa. Kepercayaan Orang Dayak Benuaq tidak mengenal Nereka. Perbuatan-perbuatan jahat yang dilakukan Orang Dayak Benuaq telah mendapat ganjaran selama mereka hidup, baik berupa tulah, kutukan, bencana/malapetaka, penderitaan dll. Itu sebabnya Orang Dayak Benuaq meyakini jika terjadi yang tidak baik dalam kehidupan berarti telah terjadi pelanggaran adat dan perbuatan yang tidak baik. Untuk menghindari kehidupan yang penuh bencana, maka orang Dayak Benuaq berusaha menjalankan adat dengan sempurna dan menjalankan kehidupan dengan sebaik-baiknya.
Secara garis besar terdapat 3 tingkatan acara Adat kematian :
Parepm Api
Kenyaw
Kwangkey Kewotoq (Kwangkey)
Bahasa Benuaq
Bahasa Benuaq termasuk dalam Bahasa Lawangan dengan kode bahasa lbx.[rujukan?]
aab, akuuq - saya
ko - kamu/anda (tunggal)
ka - kamu/anda (jamak)
kaiq - kami
uhaq - dia (laki/perempuan)
ulutn - mereka
ootn, oon - apa
nceq - siapa
klemeq - bagaimana
on tulatn, on siotn - mengapa
momeq, bomeq - dimana
ituuq - ini
aruuh - itu
la duuh - ke sana
la tuuq - ke sini
bo/mo duuh - di sana
bo/mo ituuq - di sini
kakatn - mau
monyu - suka
mate - mati
bolupm - hidup
danum - air
tanaa - tanah, bumi
lati - hutan
daya - darah
uteuk - kepala
kami - tangan
bongkekng - punggung
pooq - paha
kokot/kenekng - kaki
bawe - perempuan/wanita, betina
sookng - laki
laki-lakeng - banci/waria
sunge - sungai
tasik - laut
noheun / kenohan - danau
Budaya Benuaq
Kain Ulap Doyo
Selain Keseniannya, Suku Dayak Benuaq, terkenal dengan kain khasnya yang disebut Ulap Doyo. Ini merupakan satu-satunya kelompok Dayak yang memiliki seni kerajinan kain. Dewasa ini kerajinan Ulap Doyo hanya dijumpai di Kecamatan Jempang.
Seni Patung dan Ukir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar