Upacara Penghormatan Atas Bumi Suku Dayak Ngaju
----------------------------------------------------
Nenek moyang masyarakat Dayak Ngaju percaya bahwa setiap permukaan bumi ciptaan Hatalla, baik hutan dan Pemukiman
kampung pastilah punya penunggu. Penghuni kawasan berpohon rimbun itu
begitu dihormati sehingga masyarakat zaman dulu amat segan mengganggu
hutan. Karena itulah, mereka nyaris tak pernah menebang secara
membabi-buta.
Ekspresi untuk menghargai hutan dan Kampung, lewu
/ lebu itu dilakukan dengan manyanggar, sebuah upacara yang digelar
sebelum menebang pohon-pohon di hutan. Ritual dilakukan dengan memotong
babi atau sapi untuk dimakan bersama-sama. Dalam manyanggar, dilakukan
balian atau menabuh ketampung, yakni semacam gendang khas Dayak .
Manyanggar misalnya dilakukan warga yang hendak berladang. Kalau sistem
zaman dulu dilakukan dengan ladang berpindah dan butuh lahan cukup
luas, katanya.Manyanggar dilakukan untuk meminta restu kepada penunggu
lahan. Dalam upacara itu, disampaikan kisah-kisah mengenai alam dan
penunggunya yang harus dihormati. Mereka yang akan menebang pohon
menyampaikan maksudnya kepada penunggu dan memberi tahu bahwa syarat
berupa hewan kurban sudah dipenuhi.
Menebang pohon di hutan
merupakan kebiasaan masyarakat Dayak sejak dulu dan sampai sekarang
masih dilakukan. Kayu yang diambil antara lain berasal dari pohon karet,
angkang, dan katiau. Akan tetapi, saat ini manyanggar sudah kian jarang
digelar. Padahal, laju deforestasi di Kalimantan, bumi orang dayak kian
sulit untuk dibendung. Laju deforestasi Kalimantan setiap tahun
mencapai lebih dari 300.000 hektar. Perilaku itu sungguh berbeda dengan
budaya leluhur masyarakat Dayak yang memanfaatkan alam secara bijak.
Hidup masyarakat Dayak amat bergantung dari hutan yang menghasilkan
berbagai macam pangan. Dalam proses pengolahan pangan itu tentu
dibutuhkan kayu bakar. Akan tetapi, masyarakat Dayak zaman dulu tak
mengambil kayu secara berlebihan.
Prosesi upacara
Manyanggar dilakukan dengan meletakkan Tujuh gelas itu berisi tetesan
darah hewan yang telah dikurbankan. Di antaranya darah kerbau, kambing,
ayam hitam, dan ayam putih.Ketujuh wadah tadi tersusun di lantai
rumah-rumahan panggung berbahan kayu yang dindingnya dibalut kain
kuning. Pasah Keramat, demikian warga Dayak Ngaju menyebutnya.
Selain darah hewan kurban, di Pasah Keramat itu juga ditempatkan aneka
sesajen. Tiga cangkir berisi air putih dan jelantah diletakkan melingkar
bersama empat mangkok berisi beras dan gulungan uang serta rokok yang
ditancapkan.
Di bagian tengah, terdapat ‘sajian utama’ bagi para
makhluk gaib. Sebuah nampan berisi ketupat, ketan, kue apam, dan serabi
diletakkan di sana. Diiringi petikan kecapi dan tabuhan katambung serta
garantung, sejumlah laki-laki dan perempuan mengitari Pasah Keramat itu
dengan menari Manasai. Tawa dan senda gurau tampak dari wajah-wajah
mereka.
Hanya beberapa menit berselang, sesi menari Manasai
usai. Kegiatan berlanjut dengan ritual ngarunya yang digelar di panggung
utama.
Istilah ritual ini berasal dari kata karunya yang
berarti ‘menimang’ sekaligus mendoakan seseorang agar diberikan anugerah
kesehatan, kesejahteraan, dan penghidupan yang lebih baik oleh Ranying
Hatalla Langit Tuhan dalam kepercayaan umat Kaharingan. Dua orang secara
bergantian menjadi objek yang di-karunya. Ritual ini dilakukan oleh
lima orang basir balian. Mereka mendendangkan syair-syair sangiang
dengan menabuh alat musik berupa Katambung di depan orang yang
di-karunya.
Dalam Bahasa Dayak Ngaju, Uapacara ini dinamakan
menyanggar lewu, didaerah Kapuas, kahayan dan Katingan,sedangkan di
daerah Barito dan seruyan di sebut Manyyanggar lebu atau Manyanggar
Banua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar