Menurut Basir Upo atau Basir Handepang Telon yang bernama Thian Agan 1), Palangka Bulau Lambayung Nyahu adalah tempat atau wadah persegi
empat yang terbuat dari kayu, dengan cirri utamanya adalah ada hiasan
kepala dan ekor burung Tingang. Pada zaman dahulu Palangka adalah wahana transportasi antara Pantai Danum Sangiang (Alam Atas) dengan Pantai Danum Kalunen (Dunia Manusia).
Dalam Panaturan, yaitu ceritera suci orang Dayak Ngaju, 2) dituturkan bahwa leluhur manusia yang berdiam di dunia ini adalah Maharaja Bunu. Pada mulanya Ia tinggal di Pantai Danum Sangiang yaitu Alam Atas bersama dua orang saudara kembarnya yaitu Maharaja Sangiang dan Maharaja Sangen. Mereka bertiga anak dari Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut Kameloh Janjulen Karangan manusia laki-laki dan manusia pertama yang diciptakan oleh Ranying Mahatala Langit.
Karena memiliki Sanaman Leteng senjata yang mematikan maka Maharaja Bunu diturunkan ke Pantai Danum Kalunen (dunia ini) dengan Palangka Bulau Lambayung Nyahu di puncak bukit Samatuan (bukan Pamatuan). Bukit itu menurut Panaturan terdapat di antara Kahayan Rotot dan Kahayan Katining.
Juga dituturkan bahwa ada beberapa kali Palangka dipakai sebagai wahana transportasi antara Alam Atas dan Dunia Manusia. Pertama dipakai untuk menurunkan Maharaja Bunu yaitu leluhur umat manusia di dunia. Kedua, dipakai ketika menurunkan Parei Manyangen Tingang yaitu bulir-bulir padi untuk umat manusia. Ketiga, dipakai ketika menurunkan Bawin Ayah yaitu para pengajar ritual Kaharingan ketika manusia telah lupa tata-cara mengadakan ritual.
Dalam beberapa ritual Palangka, dipakai untuk meletakkan sesajen dan persembahan. Palangka bukanlah ancak, terlalu banyak orang salah kaprah menyamakan palangka dengan ancak. Ancak adalah tempat meletakkan sesajen yang terbuat dari anyaman bamboo, atau daun kelapa. Sedangkan Palangka terbuat dari kayu/papan sehingga dapat diberi ornament burung Enggang. Dapat dikatakan, palangka mezbah Dayak untuk meletakkan persembahan suci bagi Para Leluhur dan Maha Pencipta.
Catatan Kedua
The Land of Tambun-Bungai
“Selamat Datang di Kalimantan Tengah Bumi Tambun-Bungai. Welcome to Central Kalimantan, The Land of Tambun-Bungai”. Demikianlah
bunyi salah satu ungkapan yang sering terdengar dalam kata sambutan
atau pudato para pejabat penting di kota Palangka Raya. Tentu saja
ungkapan ini tidak hadir dengan sendirinya, tetapi lahir dari proses
berpikir masyarakat Kalimantan Tengah tentang tanah, wilayah, daerah
atau bumi tempat mereka tinggal. Di kalangan masyarakat Ot Danum dikenal
tokoh pahlawan sukè yang bernama Tambun dan Bungai. Secara serampangan
seringkali “Bumi Tambun-Bungai” dihubungi dengan nama dua pahlawan suku
tersebut. Apakah memang demikian atau ada penjelasan lain?
Hal
pertama yang harus diklarifikasi adalah Tambun dan Bungai tidak mesti
nama orang atau manusia. Hans Schärer 3) dalam buku klasnya Die Gottesidee der Ngaju Dajak in Süd Borneo
memaparkan bahwa Tambun dan Bungai adalah symbol dari Allah Dualitas
orang Dayak Ngaju. Orang Dajak Ngaju mengakui dan mempercayai adanya
Allah Tertinggi yang mempunyai aspek maskulin dan aspek feminine. Aspek
maskulin memakai simbol Burung Enggang (Bungai) dan aspek feminin dengan simbol Ular Naga (Tambun).
Dalam
proses penciptaan alam semesta, dua aspek ini tampil bersama, demikian
juga dalam beberapa ritual tertentu, sehingga dikenal istilah Tambun haruei Bungai
yang artinya Ular Naga yang manunggal dengan Burung Enggang atau Ular
Naga yang adalah juga Burung Enggang. Sebutan tersebut menyatakan bahwa
dua asepk itu (feminin-maskulin) adalah tunggal, esa, dan satu-kesatuan.
Konsepsi Tambun Bungai atau Tambun haruei Bungai,
oleh orang Dayak Ngaju, divisualisasi dalam bentuk lukusan perahu
dengan bentuk gabungan Ular Naga dan Burung Enggang, atau peti mati,
atau ukiran pada Sangaran. Kerapkali juga orang tua Dayak
memberi nama anaknya Tambun atau Bungai. Tokoh pahlawan Ot Danum
Bungai-Tambun harus dilihat dalam konsep ini, mereka adalah dualitas
karena itu dituturkan bahwa Tambun piawai bertempur di air, sedangkan
Bungai di daratan.
Konsepsi
Allah Dualitas itu menurut Schärer telah menjadi titik sentral dan
sangat menguasai kehidupan orang Dayak Ngaju. Konsepsi ini menjadi template berfikir orang Dayak Ngaju. Misalnya deinisi manusia yang saleh atau manusia yang Belom Bahadat
bagi mereka adalah manusia yang membiarkan dirinya dituntun, dibimbing
dan berada di bawah lingkup hidup kekuasaan Allah Dualitas ini. Begitu
juga ketika mereka mendefinisikan bumi atau dunia tempat mereka tinggal
sekarang, dengan nada puitis yang indah mereka mengatakan ini adalah Lewu Injal Tingang, tempat sementara yang dipinjamkan oleh Ranying Magatalla Langit (Tingang atau Bungai, aspek maskulin). Kemudian dituturkan bahwa Lewu Injam Tingang itu berada du atas punggung Naga Air (Aspek feminin).
Karena itulah hingga kini orang-orang Dayak yang saleh (bahadat)
melihat Bumi sebagai Ibu dan Langit sebagai Bapak. Ketika mereka
menapak kakinya di tanah sesungguhnya ia berada di atas punggung Sang
Ibu yaitu Tambun dan berada di bawah lindungan Sang Bapak yaitu Bungai.
Ia tidak sendiri dab tidak pernah sendiri, tetapi senantiasa bersama
Tambun dan Bungai, Ibu dan Bapaknya, Allah Tertingginya yaitu Ranying Mahatalla Langit, Jatha Balawang Bulau. Karena itu juga mereka menyebut tempat kediaman mereka sebagai Bumi Tambun Bungai.
(Bersambung….)
Catatan:
Marko Mahin adalah penggiat studi dan penelitian tentang agama, budaya, bahasa dan sejarah di
Kalimantan Tengah. Pekerjaan sebagai dosen biasa di STT-GKE
Banjarmaasin mengampu mata kuliah Agama Kaharingan, dan Kebudayaan
Dayak. Lulus S1 dari Sekolah Tinggi
Teologi Jakarta, menyelesaikan Program Master di Universitas Leiden –
Belanda, sekarang ini sedang menulis Disertasi Doktoral di Program
Pasca-Sarjana Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Indonesia.
1). Wawancara pribadi, Palangka Raya, 21 Maret 2009.
2). Kini Panaturan telah menjadi Kitab Suci umat Kaharingan. Lihat Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan (MB-AHK) 2003. Panaturan, Palangka Raya :MB-AHL.
3).
Hans Schärer adalah seorabg missionaris berkebangsaan Swiss yang telah
bekerja di Kalimantan Tengah selama 7 tahun menjelang Perang Dunia Kedua
(1932-1939).Dalam kurun waktu 1939-1944, ia studi doktoral bidang
Etnologi di Universitas Leiden – Belanda. Di bawah
bimbingan J.P.B. de Josselin de Jongn ia menulis disertasi yang berjudul
Die Gottesidee der Ngaju Dajak in Süd Borneo. Disertasi yang ditulis
dalam bahasa Jerman itu kemudian diterbitkan oleh E.J.Brill-Leiden pada
tahun 1946, kemudian versi Bahasa Inggris diterbitkan oleh Martinus
Nijhoff pada tahun 1963 dengan judum Ngaju Religion : The Conception of
God among A South Borneo eople. Terjemahan bahasa Indonesia akan diterbitkan bulan Oktober 2009 oleh Lembaga Studi Dayak -21
Mantap juga ceritanya, lanjutkan jadi Penulis Opini di blog saya dx...
BalasHapus