DAYAK BAHAU BUSANG
Pedalaman Kalimantan yang dibelah beberapa aliran sungai besar menyimpan berbagai kisah peradaban anak manusia. Dalam kelembaban hutan lebat di tepi-tepi sungai, hidup kelompok masyarakat adat yang menyebut dirinya Suku Dayak. Tubuh mereka biasanya bertato dan memakai anting hingga membuat panjang daun telinga. Masyarakat Dayak telah menjaga hidupnya dari ancaman kehancuran alam dengan berbagai kearifan sejak ratusan tahun silam.
Salah satunya menganggap semua benda di alam memiliki roh dan perasaan seperti manusia. Karena itu, mereka tidak menganggap lebih tinggi dari pada alam. Manusia serta alam saling menjaga dan menyelamatkan. Aliran sungai yang menjadi jantung kehidupan dan jalur untuk berhubungan dengan masyarakat luar dijaga dan dibiarkan tetap apa adanya. Contohnya, Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Sejak ratusan silam, aliran air dan hutan di tepiannya tak pernah berubah. Padahal lebih dari satu masyarakat adat menggunakan jalur sungai ini.
Masyarakat asli Pulau Borneo ini seakan sangat hafal setiap denyut Sungai Mahakam. Hal itu tampak saat bertemu jeram atau riam. Mereka sudah tahu cara menghindarkan diri dari bahaya arus Sungai Mahakam. Salah satu Suku Dayak yang mendiami hulu Sungai Mahakam di kawasan Long Pahangai, Kutai Barat adalah Bahau Busang.
Suku Bahau Busang sempat menjalani hidup berpindah-pindah dari hutan ke hutan. Mereka bertahan hidup dengan bercocok tanam dan berburu hewan. Pola hidup ini mulai ditinggalkan Suku Dayak Bahau Busang sejak abad ke-19.Suku Bahau ini seketurunan dengan Suku Tunjung. Dimana ada empat saudara yang merupakan anak dari Tulur Aji Jejangkat dan Mook Manor Bulnat yang bernama Jelivan Benaq dan merupakan orang yang melahirkan keturunan suku Bahau. Anak pertama Sualas Gunaan melahirkan Suku Tunjung, Nara Gunaq melahirkan suku Benuaq, Jelivan Benaq melahirkan Suku Bahau, Puncan Karnaaq melahirkan Suku Kutai, Tantan Cunaq melahirkan Suku Kenyah.
Menurut cerita kedua putra Tulir Aji Jangaat pergi menaiki perahu. Puncan Karnaaq pergi ke arah hilir dan Jeliban Benaq pergi kearah hulu sungai dan kemudian menetap di wilayah hulu sungai Mahakam dan menguasai daerah disekitar Tering.
Sub Suku
Suku Dayak Bahau dapat dibedakan kedalam 2 kelompok besar yaitu Bahau Modang, Bahau Busang, dan Bahau Saq. Dari ketiga kelompok suku ini dibedakan pula kedalam 14 anak sub suku. (namun dibawah ini tidak dibedakan mana yang termasuk kelompok Busang, Modang atau Saq)
Ma’suling
Ma’urut
Ma’tepe
Ma’rekue
Ma’tuan
Ma’mehaq
Ma’sem
Ma’keluaq
Ma’aging
Ma’bole
Ma’Bengkelo
Ma’wali
Ma’ruhuq
Ma’palo
Suku Dayak Bahau Busang memilih menetap di Kampung Long Pahangai. Perubahan pola hidup ini tidak serta merta menghilangkan adat kebiasaan suku ini. Berburu babi dan ikan masih dijalani. Menjalankan kegiatan ini berarti juga harus melaksanakan semua ritual dan norma yang melekat sebelumnya. Saat kaum pria telah menemukan lokasi perburuan, yang pertama dilakukan ialah memohon izin kepada roh leluhur. Mereka memohon agar terbebas dari petaka saat berburu. Mereka melarang menggunakan bom atau racun ikan.
Hanya senjata rakitan dengan anak panah yang diperbolehkan sebagai alat berburu. Tak hanya ikan tembilang yang didapat kaum pria saat berburu. Hiu Mahakam sering menjadi sasaran mata anak panah para pemburu Suku Dayak Bahau Busang. Kesibukan sehari-hari untuk mencari makan tidak membuat Suku Dayak Bahau Busang lupa bersyukur kepada Sang Pencipta.
Mereka beranggapan "Amay Tingai" yang menjadi Tuhan mereka akan menjauhkannya dari berbagai musibah. Salah satu upacara sebagai wujud syukur Bahau Busang adalah ritual "Dangai". Selain ungkapan rasa syukur, upacara ini untuk meneguhkan mereka dalam menjalani kehidupan.
"Upacara Adat Dangai/Dange" ini merupakan warisan leluhur kami sebagai perwujudan interaksi manusia dengan pencipta dan alam semesta, melalui upacara Adat Dangai manusia akan lebih memahami pentingnya keselarasan kehidupan antara manusia, alam dan pencipta. Upacara adat Dangai mengandung nilai dan kekuatan tinggi baik dari 'Ame Tinge' (Tuhan) maupun roh-roh leluhur," katanya. Dalam bahasa Dayak Bahau , Dangaiberasal dari kata 'ange' (undangan) dan 'mange' (mengundang). Jadi "Dange" adalah pelaksanaan upacara adat Bahau Busaang yang mengundang banyak orang (mange), baik masyaraat di suatu kampung maupun dari luar kampung.
Upacara Dangai selalu diiringi tetabuhan musik tradisional. Bersamaan dengan suara gendang bertalu-talu, sejumlah wanita dengan pakaian adat keluar satu per satu dari sebuah rumah. Ini merupakan awal ditandainya ritual Dangai. Mereka berjalan beriringan mengikuti irama musik untuk menggelar ritual tanah, prosesi awal Dangai. Sedikit tanah sebagai simbol media yang telah memberi kesuburan dan kemakmuran, pohon berikut akarnya, dan potongan kecil papan lantai dikumpulkan. Bahan-bahan yang diambil dari suatu tempat yang dianggap suci itu lalu ditaruh di lamin besar. Selanjutnya para wanita itu mengitarinya 16 kali yang merupakan simbol kebersatuan alam.
Prosesi selanjutnya adalah ritual di bawah atap janur. Ritual ini ditandai dengan pemanjatan doa dan mantera oleh para “dayung” atau pemuka agama yang semuanya perempuan untuk meminta izin pada roh leluhur agar Dangai berjalan lancar. Dua prosesi ini disebut dengan "ngetalun". Pada upacara ini dominasi wanita begitu kental. Namun bukan berarti kaum pria tak berperan.
Peran kaum adam Suku Dayak Bahau Busang mulai tampak saat mendirikan pondok lamin, bangunan kecil di depan lamin besar. Mereka bekerja sama membuat bangunan yang akan digunakan sebagai sentral ritual Dangai. Setelah pondok lamin selesai dibangun, upacara tegerang lepau mulai digelar. Inti upacara Dangai ini dimulai dengan dipanjatkannya kembali mantera ke leluhur oleh pemuka adat. Selanjutnya warga menghadap dayung. Para ibu juga membawa anaknya kepada dayung yang tidak lain agar tunas-tunas Suku Dayak Bahau Busang dapat mengarungi hidup kelak.
Secara sosial, nilai positif yang terkandung pada Upacara Dangai itu yakni, membina rasa kekeluargaan, kebersamaan serta rasa memiliki budaya dan adat istiadat sebagai warisan. Setiap prosesi Dangai, dipimpin oleh seorang "Dayung". Namun, saat ini sangat sulit menemukan generasi muda yang ingin mendalami dan menekuni pesta adat seperti ini, sehingga banyak prosesi yang berubah dari bentuk awalnya. Pesta Adat Dangai yang digelar suku Dayak Bahau asal Busaang, Kutai Barat tersebut sebagai ritual budaya untuk meminta perlindungan dari para roh-roh kebaikan agar alam dan lingkungan mereka tetap terjaga dari berbagai bentuk musibah.
Tahapan upacara Adat Dangai yang berlangsung hingga 10 hari itu diawali dengan 'Ngiaan Mawaang Alaan' (membuka jalan Dayang dari bumi ke khayangan) untuk memohon kepada Tuhan agar pelaksanaan Upacara Adat Dangai berjalan tanpa hambatan. Selanjutnya, dilakukan prosesi 'Alaa Kayo Akaat Tasuu Tekul' dan 'Tanaa Juaan' (mengambil kayu bahan pondok lantai adat tanah suci). Prosesi ini dilakukan dengan mengambil tanah asli dari khayangan serta asal-usul induk kayu khayangan sebagai syarat agar rakyat di bumi dapat melaksanakan upacara Adat Dangai.
Semua prosesi itu sebagai langkah awal untuk 'Tagerang Lepo Dange' (mendirikan pondok Dangai). Semua ritual dilakukan di Lepo Dange. Ritual 'Nyelung Tanaa' (memberkati tanah) menjadi ritual penyeimbang antara alam dan manusia sehingga memberikan kesuburan dan kemakmuran bagi makhluk hidup di alam ini. Inti dari semua kegiatan ini melalui 'Maraa Uting Helung' atau persembahan hewan kurban yang dipersembahkan kepada 'Tipang Tenangan' atau "Ame Tinge' (Tuhan) agar tujuan upacara adat dan doa-doa dapat terkabulkan.
Selain berinteraksi dengan alam dan pencipta, upacara adat Dange itu menjadi sebuah prosesi menguatkan jiwa dan raga seorang anak dalam menjalani kehidupan yang dikenal sebagai Dange Anak, mengantar pasangan suami-istri dalam mengarungi rumah tangga (Dange Hawa), serta 'Dangai Metun Kadaan Maran' sebagai pemakaian pakaian adat yang nilainya lebih tinggi dari yang dipakai sebelumnya. Seorang yang terlahir sebagai suku Dayak belum diperkenankan memakai pakaian dan berbagai aksesoris asli sebelum ikut upacara Dangai. Jadi, prosesi Dangai ini harus dilalui oleh kami sebagai bentuk pengukuhan diri dan menunjukkan status sosial seseorang. Selain akan terus ditimpa kesialan, bagi yang tidak melaksanakan upacara Adat Dangai semasa hidupnya juga akan mendapat ganjaran dari Tuhan. Jadi upacara Adat Dangai merupakan kewajiban bagi setiap orang Dayak, khususnya dari suku Dayak Bahau.
NYARIS PUNAH
Berbagai prosesi pada upacara Adat Dangai bagi warga Dayak Bahau, Kutai Barat telah mengalami masa kriris akibat dianggap ritual "animisme". Pada 1970, upacara adat ini sempat dilarang, namun pada 1990-an mulai kembali menghidupkannya sebagai prosesi budaya, sebagai bentuk pengokohan diri melalui prosesi adat," kata Blawing Blareq, Kepala Adat Besar Suku Dayak Bahau Busaang, Kutai Barat.
Seiring dengan berjalannya waktu, upacara Adat Dangai juga mengalami berbagai pergeseran. Namun, pesan yang terkandung di dalam setiap prosesi itu tetap bertahan, walaupun pada beberapa tahapan proses terjadi perubahan, katanya. Kecenderungan minimnya generasi muda yang tertarik pada adat juga menjadi hambatan, sebab sangat sedikit orang Dayak saat ini yang memahami dan bisa mengingat berbagai aktivitas adat," kata Blawing Blareq. Upacara Adat Dangai itu merupakan salah satu "warisan budaya yang harus dilestarikan", terkhusus bagi warga suku Dayak Bahau Busang yang ada di Kecamatan Long Pahangai, Kutai Barat-Kalimantan Timur, Upacara Adat Dangai sudah menjadi event Seni dan Budaya yang rutin dilaksanakan setiap empat tahun sekali. Kami berharap, upacara Adat Dangai ini menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia dan sebagai salah satu potensi untuk meningkatkan pariwisata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar