01

Senin, 03 Juni 2013

SEGREGASI KEBUDAYAAN DAYAK DI KALIMANTAN BARAT

Dilihat dari jumlah populasi penduduknya, terdapat dua kelompok masyarakat pelaku kebudayaan dominan yang berkembang di Kalimantan Barat. Yaitu, masyarakat Melayu dan masyarakat Dayak. Dalam tulisan ini, istilah Dayak dan Melayu lebih merupakan istilah-istilah tematik yang digunakan semata untuk membedakan dua kelompok masyarakat yang memiliki kebudayaan relatif berbeda di Kalimantan Barat. Melayu adalah kelompok masyarakat pelaku kebudayaan dengan adat istiadat bercorak Islam, relatif lebih banyak mendiami wilayah-wilayah sekitar daerah pesisir pantai atau sungai, serta relatif memiliki bentuk-bentuk kebudayaan alam perairan laut dan sungai (maritim). Sementara Dayak adalah kelompok masyarakat pelaku kebudayaan terestrial Kalimantan yang relatif lebih banyak mendiami wilayah-wilayah pedalaman, memiliki kebudayaan dan adat istiadat yang berorientasi pada alam daratan (hutan), dan memilik dengan pola kehidupan ekonomi yang relatif bersifat subsisten (berorientasi pada pola pemenuhan kebutuhan sendiri).
Meskipun bukan menjadi yang utama, sebagian dari masyarakat Dayak__dalam pengertian tulisan ini[1]__juga relatif banyak yang menggunakan sungai sebagai salah satu sumber sistem mata pencaharian kehidupan mereka. Terutama bagi mereka yang memang bermukim di daerah-daerah hulu sungai. Meski demikian, orientasi daratan tetap menjadi pilihan yang lebih bagi pola-pola kebudayaan yang mereka kembangkan. Sebaliknya dengan Melayu, dalam sebagian kecil masyarakatnya juga banyak yang tidak mengenal kebudayaan perairan. Kelompok ini, adalah masyarakat yang berasal dari pelaku kebudayaan daratan atau Dayak, yang oleh karena berubahnya satu hal atau lebih yang berhubungan dengan identitas budaya, agama dan bahasa mereka, kemudian mengidentifikasikan dirinya sebagai Melayu. Atau bahkan memang adalah masyarakat asli pelaku kebudayaan Melayu yang oleh karena suatu alasan ekonomi atau lainnya kemudian melakukan migrasi ke wilayah-wilayah pedalaman.
Di antara mereka sendiri, Melayu dan Dayak, sering kali mengidentifikasi dua kebudayaan yang saling berbeda ini dengan istilah-istilah yang bersifat diakronim dan dikotomis. Misalnya adalah istilah darat dan laut, atau istilah atas dan bawah. Istilah-istilah ini sebenarnya lebih merupakan personifikasi identitas budaya berdasarkan asal usul wilayah, atau teritori, selain istilah pesisir dan pedalaman. Misalnya dalam istilah pengidentifikasian “orang darat dan orang laut”. Orang darat adalah menunjuk kepada pengertian identitas orang asli Dayak. Sementara orang laut adalah menunjuk kepada pengertian identitas orang Melayu, ‘atau yang menjadi Melayu’. Demikian juga dengan istilah atas (gunung) dan bawah (lembah), yang juga menunjuk pada pengertian Dayak dan Melayu. Namun seiring dengan perkembangan pola interaksi, jangkauan mobilitas, dan aksesibilitas fisik yang menghubungkan antar satu sama lain wilayah, istilah-istilah ini semakin mulai jarang terdengar, kecuali pada wilayah-wilayah tertentu di pedesaan. Oleh karena sebagian dari mereka ini telah hidup bersama dan berakulturasi dengan kelompok-kelompok masyarakat lain, yang tidak sebatas kelompok Melayu dan Dayak.
Selain kedua kelompok masyarakat pelaku kebudayaan dominan tersebut, ada juga kelompok masyarakat keturunan Tionghoa atau China yang juga dikenal memiliki kebudayaan khas asli ciri Tionghoa/China Kalimantan Barat. Disebut demikian, karena mereka selama ini telah mengembangkan satu bentuk kebudayaan sinkretis, dari proses akulturasi dan adaptasi terhadap kondisi lingkungan masyarakat di Kalimantan Barat. Salah satu wujud manifestnya yang terkenal adalah beberapa nama wilayah tertentu yang berasal dari penamaan China, seperti Singkawang dan Bengkayang atau lainnya, bentuk pemerintahan republik China kecil Mandor dan Monterado,[2] atau bentuk atraksi Loya (Tatung) dalam bagian ritual perayaan Cap Go Meh yang merupakan hasil proses akulturasi dengan budaya masyarakat Dayak.[3]
Seperti halnya Melayu dan Dayak, Tionghoa juga kemudian merupakan salah satu bagian dari masyarakat pelaku kebudayaan Kalimantan Barat. Tidak saja karena sebagian bentuk dan ciri-ciri dari kebudayaannya selama ini relatif hanya di miliki, dan telah menjadi bagian dari identitas kebudayaan masyarakat Kalimantan Barat. Tetapi juga karena sejarah pembentukan pola-pola kebudayaan masyarakat Kalimantan Barat ini, ternyata tidak pernah lepas dari pengaruh entitas-entitas kebudayaan mereka satu sama lain. Yaitu, Melayu, Dayak dan Tionghoa.
Selain ketiga kelompok masyarakat dominan tersebut, terdapat juga kelompok-kelompok masyarakat pelaku kebudayaan lain, yang oleh karena suatu hal, baik secara mandiri maupun atas prakarsa program pemerintah, melakukan migrasi ke wilayah-wilayah Kalimantan Barat. Seperti kelompok masyarakat Jawa, Madura, Bugis, Banjar dan lain sebagainya.
Dari sejumlah kelompok masyarakat pelaku kebudayaan yang ada, sepertinya hanya Melayu, Dayak dan keturunan China atau Tionghoa yang relatif masih memiliki pola kebudayaan asli dan khas, yang mencirikan satu sama lain identitasnya sejak lama. Masing-masing diantara mereka, dalam sejarahnya pernah mengembangkan pola dan bentuk organisasi pemerintahan tradisional sendiri, sebagai bagian dari ciri identitas kebudayaan mereka selama ini. Masyarakat Melayu (mengacu pada pengertian dengan label agama Islam) dengan bentuk pemerintahan kesultanan (kerajaan Islam), Dayak dengan sistem pemerintahan adat binua, banua, atau ketumenggungan adat. Sementara masyarakat Tionghoa dengan sistem pemerintahan republik kecil yang merupakan bagian dari bentuk pengembangan kongsi-kongsi pertambangan dan juga perdagangan mereka.
Dalam sejarah Kalimantan Barat memang ada satu kelompok masyarakat lain yang eksistensinya sudah ada jauh sejak jaman kerajaan-kerajaan Islam berkembang, yaitu Bugis. Bahkan ada kesultanan yang dalam satu periode kepemimpinannya pernah dipimpin oleh seorang keturunan Bugis bernama Daeng Menambon, di Kerajaan Mempawah. Akan tetapi, perkembangan politik kebudayaannya di Kalimantan Barat relatif tidak terlalu menonjol. Sehingga sebagian dari identitas kebudayaan mereka saat ini telah menjadi lebur dalam pengaruh identitas kebudayaan Melayu. Terutama karena faktor kesamaan agama yang mereka anut, yaitu Islam.
Segregasi dan Pola Pembentukan Identitas
Kalimantan Barat ini memang unik. Salah satu keunikan dari Kalimantan Barat ini adalah menyangkut polarisasi identitas pelaku kebudayaan dalam pola-pola sejarah pembentukan strukturnya di masyarakat. Selain istilah-istilah teritori yang diakronim dan dikotomis, identitas keagamaan modern juga menjadi satu dalam kesatuan identitas kebudayaan yang saling mengidentifikasi. Terutama yang menyangkut sejarah pola-pola pembentukan identitas kebudayaan dua kelompok masyarakat “anak suku asli” Kalimantan Barat, yaitu Melayu dan Dayak. Melayu selalu identik dengan Islam, dan semua hal yang berkaitan dengan budaya Islam. Sementara Dayak sendiri senantiasa identik dengan non Islam. Terlebih semenjak periode mulai banyak beralihnya bentuk-bentuk kepercayaan tradisional mereka kepada Nasrani, sebagai bagian dari program apa yang disebut oleh pemerintah orde baru meng-agamakan masyarakat Dayak, pasca peristiwa yang secara eufimistik disebut sebagai demonstrasi terhadap China, 1967.[4] Peristiwa ini kemudian semakin menguatkan pola-pola pembentukan identitas sejarah kebudayaan kelompok suku di Kalimantan Barat yang identik dengan agama. Melayu identik dengan Muslim, Dayak identik dengan Nasrani, dan Tionghoa identik dengan Konghucu dan Budha. Meski belakangan, pasca polarisasi-polarisasi politik identitas yang menguat dalam kasus-kasus konflik politik etnisitas, muncul satu bentuk wadah organisasi bernama Ikatan Dayak Islam.[5] Sebuah organisasi yang mungkin hanya terdapat di Kalimantan Barat, menunjuk pada pengertian kumpulan orang-orang Dayak Muslim yang saat itu mulai mengakui kembali identitas jati dirinya sebagai bagian dari masyarakat kultural Dayak. Istilah yang sepertinya menegaskan kembali adanya bentuk pergulatan politik, antara eksistensi kultural dan identitas agama di Kalimantan Barat. Seperti halnya istilah senganan yang mungkin juga hanya berlaku di Kalimantan Barat, menunjuk pada satu pengertian identitas masyarakat Dayak yang menganut Islam, dan menjadi Melayu.
Secara morfologi, tidak pernah diketahui sejak kapan istilah/konsep ‘senganan‘ ini mulai digunakan oleh masyarakat. Karena belum ada satu pun sumber literartur yang diperoleh, dus, mampu menjelaskan bagaimana istilah ini mulai di kontruksikan. Ada banyak pendapat yang mencoba untuk menerangkan kapan dan mengapa istilah ini mulai muncul, di kontruksikan, serta dipopulerkan sebagai label yang melekat bagi masyarakat Dayak muslim Kalimantan Barat. Pertama adalah sejak peradaban Islam mulai berkembang di wilayah-wilayah Kalimantan Barat, yang ditandai dengan masuk dan berkembangnya bentuk-bentuk kerajaan (kesultanan) Islam di sepanjang lembah-lembah daerah aliran sungai. Di duga istilah ini merupakan bagian dari kontruksi sosial yang dibangun oleh mereka sendiri, sebagai upaya untuk menegaskan berpindahnya sistem kepercayaan tradisional mereka kepada pola peradaban kebudayaan baru, yaitu Islam, dan menjadi Melayu. Pertanyaannya kemudian, kepada siapa tujuan penegasan identitas ini ditujukan? Kepada kelompok masyarakat lain yang sudah menjadi Melayu, atau kepada komunitasnya sendiri? Apa yang menjadi motivasi sosial di belakangnya? Untuk sementara jawabannya masih menjadi misteri. Kedua adalah terjadi dalam periode yang sama, tetapi di kontruksikan secara sosial justru oleh Melayu. Di duga istilah ini digunakan oleh pihak Melayu Kesultanan sebagai bagian dari upaya untuk memudahkan dalam mengenali masyarakat-masyarakat pedalaman yang telah menjadi Muslim pada saat itu. Kemudian diterima oleh anggota masyarakat yang menjadi Muslim ini, sebagai simbol dari mobilitas status sosial mereka. Menjadi logis mungkin, karena struktur sosial yang di bangun oleh Kesultanan saat itu, menempatkan Dayak dalam struktur kelas yang ke dua, atau lebih rendah dari masyarakat Melayu, Eropa dan Tionghoa. Pertanyaannya, mengapa kata senganan ini justru tidak familiar di dalam kosa kata Melayu? Mengapa istilah ini kemudian justru masih sering terdengar di kalangan masyarakat Dayak non Muslim itu sendiri, puluhan atau bahkan ratusan tahun rentang usianya dari waktu saat ini. Belum lagi, dalam mitelogi, hikayat, legenda dan atau apapun yang berhubungan dengan kesultanan Melayu, sekalipun naskah-naskah kerajaan, tidak ada satupun kata yang menyebutkan istilah senganan. Jawaban untuk yang satu ini ternyata juga masih menjadi misteri. Dan yang ketiga atau yang terakhir adalah sejak kedatangan bangsa-bangsa kolonialis asing ke wilayah-wilayah pedalaman Kalimantan Barat pada tahun 1800-an. Di duga kuat istilah ini merupakan bagian dari strategi yang dibangun orang-orang Belanda untuk memudahkan pembedaan secara dikotomis antara kelompok-kelompok masyarakat pada masa itu secara administratif.[6] Sehingga__jika tidak mungkin menjadi berlebihan__upaya-upaya untuk menanamkan pengaruh kekuasaan kolonialnya akan menjadi semakin mudah. Inipun sebenarnya juga masih menjadi misteri. Karena istilah senganan ini ternyata juga asing dalam tulisan-tulisan awal mereka tentang masyarakat Kalimantan Barat. Kecuali pada bentuk tulisan yang secara sengaja di reproduksi ulang oleh mereka, atau pihak ketiga yang kemudian mengutip dalam bentuk kajian atau terjemahannya saat ini.
Terlepas pendapat mana yang lebih benar, namun satu yang pasti, proses-proses segregasi (membangun bagian-bagian yang tidak didasarkan pada prefensi) identitas masing-masing kelompok pelaku kebudayaan tersebut, membuat struktur masyarakat dan kebudayaan di Kalimantan Barat ini menjadi semakin lebih rumit dan kompleks. Serumit dan sekompleks sejarahnya dalam pengertian identitasnya itu sendiri satu sama lain.

[1] Merujuk pada pengertian suku asli Kalimantan yang memiliki budaya teresterial atau daratan, pengertian yang sama juga terdapat, dan di kutip dalam, http://wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak, ; ensiklopedia bebas, wikipedia berbahasa Indonesia
[2] Cukup di akui bahwa bentuk pemerintahan republik kecil yang pernah di bangun sebagai pengembangan kongsi-kongsi perdagangan dan pertambangan kelompok Tionghoa ini merupakan ciri khas dari sejarah dan kebudayaan Tionghoa Kalimantan Barat. Karena bentuk pemerintahan kecil ini, dalam hal-hal tertentu yang khusus, sementara hanya teridentifikasi di wilayah Kalimantan Barat. Lihat Bambang Suta Purwata dalam laporan penelitian Kongsi Orang China di Monterado.
[3] Tatung sendiri merupakan salah satu unsur kebudayaan khas Tionghoa Kalimantan Barat yang cukup menarik perhatian para wisatawan budaya, baik lokal maupun mancanegara untuk datang ke Kalimantan Barat. Dalam beberapa proses dan atraksinya, Tatung ternyata lebih mirip dengan Kamang Tariu milik Dayak, yang prosesinya selalu menggunakan seseorang yang dalam kondisi trance.
[4] Atau mem-Pancasila-kan masyarakat Dayak. Lihat Jammie S. Davidson dan Dauglas Kammen dalam INDONESIANS UNKNOWN WAR AND THE LINEAGES OF VIOLENCE IN WEST KALIMANTAN, 2002.
[5] Ikatan Dayak Islam ini tidak lebih dari organisasi yang berdiri karena adanya polarisasi identitas kultural dan agama terhadap konflik-konflik politik praksis yang terjadi saat itu. Dan bukan lazimnya sebuah organisasi dakwah seperti yang kita kenal dalam sebuah lembaga yang melibatkan nama agama dan identitas kultural.
[6] Dalam kasus ini, istilah senganan kemungkinan diberikan terhadap masyarakat Dayak pedalaman yang menyatu dan berbaur dalam kebudayaan Islam pada saat itu. Mengingat, menurut Institute Dayakologi, berdasarkan pengertian Daya’ dalam banyak varian yang berarti ‘Hulu’ dan ‘Manusia’, para peneliti dari Eropa sekitar tahun 1800-an, mendefinisikan Dayak sebagai ‘manusia pedalaman’, ‘non muslim’, ‘primitif’, ‘tidak berperadaban’ dan citra negatif lainnya. Apalagi orang Dayak pada masa itu, jika di datangi oleh orang luar akan semakin jauh berpindah ke hulu sungai dan wilayah pegunungan karena kalah bersaing. Lihat dalam Kebaragaman Sub Suku dan Bahasa Dayak ; Institute Dayakologi, hal 11.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar