01

Rabu, 26 Juni 2013

HUBUNGAN SUKU-SUKU DAYAK DENGAN SUKU MELAYU BANJAR DI SELATAN BORNEO

Perkawinan Sultan Banjar Dengan Puteri-Puteri Dayak.

Dari tradisi lisan suku Dayak Ngaju dapat diketahui, isteri raja Banjar pertama yang bernama Biang Lawai beretnis Dayak Ngaju.Sedangkan isteri kedua raja Banjar pertama yang bernama Noorhayati, menurut tradisi lisan suku Dayak Ma'anyan, berasal dari etnis mereka.Jadi perempuan Dayak-lah yang menurunkan raja-raja Banjar yang pernah ada.Dalam Hikayat Banjar menyebutkan salah satu isteri raja Banjar ketiga Sultan Hidayatullah juga puteri Dayak, yaitu puteri Khatib Banun, seorang tokoh Dayak Ngaju.

Dari rahim puteri ini lahir Marhum Panembahan yang kemudian naik tahta dengan gelar Sultan Mustainbillah.
Putri Dayak berikutnya adalah isteri raja Banjar kelima Sultan Inayatullah, yang melahirkan raja Banjar ketujuh Sultan Agung.Sultan Tamjidillah Al-Wajikoebillah (putera Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam) juga lahir dari seorang puteri Dayak berdarah campuran Tionghoa yaitu Nyai Dawang.

Sultan Muhammad Keman.

Salah satu sayap militer Pangeran Antasari yang terkenal tangguh dan setia, adalah kelompok suku Dayak Siang Murung dengan kepala sukunya Tumenggung Surapati.Hubungan kekerabatan sang Pangeran melalui perkawinannya dengan Nyai Fatimah yang tak lain adalah saudara perempuan kepala suku mereka, Surapati.Dari puteri Dayak ini lahir Sultan Muhammad Seman yang kelak meneruskan perjuangan ayahnya sampai gugur oleh peluru Belanda tahun 1905.Dalam masa perjuangan tersebut, Muhammad Seman juga mengawini dua puteri Dayak dari Dayak Ot Danum.Putranya, Gusti Berakit, ketika tahun 1906 juga mengawini putri kepala suku Dayak yang tinggal ditepi sungai Tabalong.Sebagai wujud toleransi yang tinggi, ketika mertuanya meninggal, Sultan Muhammad Seman memprakarsai diselenggarakannya Tiwah, yaitu upacara pemakaman secara adat Dayak (Kaharingan).


Puteri Mayang Sari.

Puteri Mayang Sari yang berkuasa di Jaar-Singarasi, kabupaten Barito Timur adalah puteri dari raja Banjar Islam yang pertama (Sultan Suriansyah) dari isteri keduanya Norhayati yang berdarah Dayak, cucu Labai Lamiah tokoh Islam Dayak Ma'anyan.Walau Mayang Sari beragama Islam, dalam memimpin sangat kental dengan adat Dayak, senang turun lapangan mengunjungi perkampungan Dayak dan sangat memperhatikan keadil-makmuran masyarakat Dayak dimasanya.Itu sebab ia sangat dihormati dan makamnya diabadikan dalam Rumah Adat Banjar di Jaar, kabupaten Barito Timur.

Perang Banjar.

Eratnya persahabatan Banjar-Dayak, juga karena kedua suku ini terlibat persekutuan erat melawan Belanda dalam Perang Banjar.Setelah terdesak di Banjarmasin dan Martapura, Pangeran Antasari beserta pengikut dan keturunannya mengalihkan perlawanan kedaerah Hulu Sungai dan sepanjang sungai Barito sampai kehulu Barito, dimana terdapat beragam etnis Dayak terlibat didalamnya.Perang antar koalisi etnis Banjar bersama etnis Dayak disatu pihak versus Belanda dan antek-anteknya dipihak lain, sebagaimana watak peperangan pada umumnya, jauh lebih banyak duka dari pada sukanya.

Kedua suku serumpun ini sudah merasa bersaudara senasib sepenanggungan, dimana harta benda, jiwa raga, darah dan air mata sama-sama tumpah ditengah api perjuangan mengusir penjajah.

Beberapa pahlawan perang Banjar dan perang Barito dari etnis Dayak :
¤ Tumenggung Surapati, meninggal 1904 dimakamkan di Puruk Cahu, Murung Raya.
¤ Panglima Batur, dari suku Dayak Siang Murung, dimakamkan dikomplek makam Pangeran Antasari, Banjarmasin Utara, Banjarmasin.
¤ Panglima Unggis, dimakamkan didesa Ketapang, kecamatan Gunung Timang, Barito Utara.
¤ Panglima Sogo, yang turut menenggelamkan kapal Onrust milik Belanda 26 desember 1859, di Lewu Lutung Tuwur, makamnya didesa Malawaken, kecamatan Teweh Tengah, Barito Utara.
¤ Panglima Batu Balot (Tumenggung Marha Lahew), panglima wanita yang pernah menyerang Fort Muara Teweh tahun 1864-1865, makamnya didesa Malawaken (Teluk Mayang), kecamatan Teweh Tengah, Barito Utara.
¤ Panglima Wangkang dari suku Dayak Bakumpai di Marabahan, putera dari Damang Kendet dan ibunya wanita Banjar dari Amuntai.
¤ Perang Muntallat tahun 1861 juga menyebabkan gugurnya dua putera Ratu Zaleha yang dimakamkan didesa Majangkan, kecamatan Gunung Timang, Barito Utara.



Dammung Sayu.
Merupakan seorang pemimpin masyarakat suku Dayak Ma'anyan Paju Sapuluh yang telah berjasa dalam membantu salah seorang kerabat raja Banjar yang bersembunyi diwilayahnya dari pengejaran pihak Belanda.
Karena itu akhirnya Belanda membumi-hanguskan perkampungan suku ini yang terletak didesa Magantis, Tamiang Layan, Dusun Timur, Barito Timur. Pihak kerajaan Banjar yang berjuang melawan penjajah Belanda mengangkat Dammung Sayu sebagai panglima dengan gelar Tumenggung dan memberikan seperangkat payung kuning dan perlengkapan kerajaan.



Sangiang.
Toleransi antara suku Banjar dan Dayak, juga dapat dilihat dari sastera suci suku Dayak Ngaju, Panaturan.
Digambarkan disana, raja Banjar (Raja Maruhum) beserta puteri Dayak yang menjadi isterinya Nyai Siti Diang Lawai adalah bagian leluhur orang Dayak Ngaju.Bahkan mereka juga diproyeksikan sebagai Sangiang (Manusia Illahi) yang tinggal di Lewu Tambak Raja, salah satu tempat di Lewu Sangiang (perkampungan para Dewa).Karena sang raja beragama Islam maka disana disebutkan juga ada Masjid.

Balai Hakey.



Secara sosiologis-antropologis antara etnis Banjar dan Dayak diibaratkan sebagai Dangsanak Tuha dan Dangsanak Anum (saudara tua dan muda).rang Banjar yang lebih dahulu menjadi muslim disusul sebagian etnis Dayak yang Bahakey (Berislam), saling merasa dan menyebut yang lain sebagai saudara.Mereka tetap memelihara toleransi hingga kini.Tiap ada upacara Ijambe, Tewah dan sejenisnya, komunitas Dayak selalu menyediakan Balai Hakey, tempat orang muslim dipersilahkan menyembelih dan memasak makanannya sendiri yang dihalalkan menurut keyakinan Islam.


Intingan Dan Dayuhan.

Toleransi antara suku Banjar dan suku Dayak Bukit dipegunungan Meratus didaerah Tapin di Kalimantan Selatan, juga dapat dilihat pada mitologi suku bangsa tersebut.Dalam pandangan mereka, Urang Banjar adalah keturunan dari Intingan (Bambang Basiwara), yaitu Dangsanak Anum (Adik) dari leluhur mereka yang bernama Dayuhan (Ayuhan).Meskipun kokoh dengan kepercayaan leluhur, suku Dayak Bukit selalu menziarahi Masjid Banua Halat yang menurut mitologi mereka dibangun oleh Intingan, ketika saudara leluhur mereka tersebut memeluk agama Islam.

Hubungan persahabatan yang erat antara orang Banjar dengan Dayak jelas kelihatan ketika kedua-dua suku itu berjuang bersama-sama melawan Belanda dalam Perang Banjar (1858-1905). Meskipun ketika berlakunya peperangan itu tidak dinafikan ada ketua suku Dayak yang berpihak di sebelah Belanda, tetapi penyertaan dan sokongan suku Dayak dalam Perang Banjar itu nampaknya sangat terserlah. Dalam peperangan yang memakan masa yang agak panjang itu, ramai pahlawan perang itu terdiri daripada etnik Dayak, antaranya yang paling menonjol ialah Tumenggung Surapati, Panglima Batur (dari suku Dayak Siang Murung), panglima Unggis, Panglima Sogo, Panglima Batu Balot (seorang wanita), dan panglima Wangkang (dari suku Dayak Bakumpai).

Pada zaman kolonial Belanda pula, hubungan persaudaraan dan ikatan keluargaan antara orang Banjar dengan orang Dayak masih berterusan. Namun, berbanding dengan orang Dayak, lebih banyak orang Banjar yang berpeluang memasuki birokrasi kolonial, sekurang-kurangnya sebagai pegawai rendah. Dengan itu, orang Dayak terus menjadi subordinat kepada orang Banjar yang menjadi pegawai kerajaan kolonial itu seperti pada zaman Kesultanan juga.

Hubungan Orang Banjar dan Dayak Masa Kini

Walaupun orang Banjar dan orang Dayak berasal dari masa silam yang sama, tetapi kini masa silam yang sama itu mungkin tidak penting lagi. Yang lebih menonjol kini ialah identitas yang baru – orang Banjar dan orang Dayak adalah dua kumpulan etnik yang berbeda Dan atas identiti baru itu, dua suku yang bertetangga  Banjar dan Dayak telah terlibat dengan persaingan dalam pelbagai bidang kehidupan. Dengan itu, Hairus Salim (1996: 227) menganggap bahawa hubungan orang Banjar dengan orang Dayak kini ialah hubungan yang tak selalu mesra.

Hubungan orang Banjar dengan orang Dayak yang tidak selalu mesra itu telah diungkapkan oleh Anna Lowenhaupt Tsing (1993), seorang ahli antropologi dari Universiti California, dalam kajiannya tentang Dayak Meratus atau Dayak Bukit, yang banyak bermukim di sekitar pergunungan Meratus di Kalimantan Selatan. Walaupun “hubungan kultural” antara orang Banjar dan Dayak telah terputus apabila Banjar ditegaskan sebagai identiti mereka yang beragama Islam, dan orang Dayak pula ialah orang yang non Islam, tetapi menurut Tsing (1993) hubungan ekonomi dan politik yang berasaskan kawasan antara kedua-dua suku tetap berlangsung terus. Hubungan ekonomi dan politik yang berasaskan kawasan itu pada masa kebelakangan ini diatur oleh “pentadbiran negara”.

Dari segi ekonomi, orang Banjar sebenarnya terlibat dengan hubungan perdagangan yang intensif dengan suku Dayak Meratus, malah merekalah yang menjadi perantara bagi perkembangan ekonomi wilayah (Hairus Salim 1996: 230). Orang Banjar mendominasi pasar minggu kecil diujung jalur yang menuju pegunungan Meratus. Keperluan-keperluan suku Dayak seperti pakaian, garam, perkakas logam dan barang-barang mewah lainnya disalurkan oleh orang Banjar. Sementara itu dengan berjalan kaki atau naik rakit, orang Dayak Meratus datang ke pasar tersebut untuk menjual rotan, getah, kacang, kayu ulin, kayu kemenyan dan hasil-hasil hutan yang lain kepada orang Banjar, yang kemudian menjualnya juga ke bandar.

Walau bagaimanapun, hubungan perdagangan antara orang Banjar dengan orang Dayak itu berlangsung dalam keadaan yang sangat tidak seimbang. Sebagai perantara, orang-orang suku Banjar mempunyai kedudukan tawar menawar yang lebih tinggi. Mereka dapat menetapkan harga mengikut kemauan mereka, yang menyebabkan suku Dayak Meratus selalu merasa dirugikan. Akan tetapi, orang Dayak tidak dapat berbuat apa-apa, karena mereka tidak mempunyai pilihan lain.

Selain itu, orang-orang Dayak Meratus juga tidak berpuas hati karena mereka tidak mempunyai kemampuan untuk mendapatkan kredit daripada pedagang Banjar; jauh dari pemilik sarana pengangkutan, truk atau motorboat, gudang, dan tempat pengeringan getah, yang semuanya dimiliki oleh orang Banjar; tidak mempunyai jaringan untuk mendapatkan modal, kemudahan-kemudahan penyimpanan, dan tempat tinggal di bandar Banjarmasin; akses yang sangat terbatas untuk mengetahui keadaan pemasaran dan seterusnya (Tsing 1993: 55-56).

Perhubungan perdagangan yang tidak seimbang itu, diperkuatkan pula oleh hubungan orang Banjar yang rapat dengan “negara”. Orang Banjar adalah penguasa politik pada peringkat wilayah. Bahkan kepentingan negara di kalangan suku Dayak diartikulasikan oleh kepentingan-kepentingan suku Banjar. Di daerah Meratus, ‘’kepentingan pemerintah menjelma menjadi kepentingan orang Banjar. Ini ialah kerana pegawai-pegawai pemerintah pada peringkat kabupaten dan kecamatan, dan pegawai tentera, pertanian dan kesihatan yang melakukan hubungan dengan orang Dayak ialah orang-orang suku Banjar. Dengan itu, negara dan kepentingan nasional tampil di kalangan Dayak Meratus dengan wajah Banjar.

Wajah “negara” dalam artikulasi kepentingan suku Banjar itu diperlihatkan Tsing (1991) misalnya dalam dasar negara mengenai pembangunan masyarakat terasing pada tahun 1970-an. Dalam pentadbiran dasar itu, pada tahun 1971 suku Dayak Meratus dimasukkan sebagai salah satu dari masyarakat terasing. Maka pegawai pemerintah yang kebanyakannya terdiri daripada orang Banjar telah membuka hutan untuk menjadi tempat tinggal baru bagi orang Dayak Meratus. Bagaimanapun, dengan pembukaan hutan itu, orang Banjar juga mendapat kesempatan untuk berpindah ke kawasan baru tersebut, dengan jaminan mendapat perkhidmatan dan tanah. (Tsing 1991: 45). Sebagai akibatnya, tidak lama selepas itu, pemukiman baru itu telah didominasi oleh orang Banjar, kerana penguasaan mereka terhadap jalur perdagangan dan politik wilayah. Sementara itu, orang Dayak Meratus sendiri terus tersingkir, bahkan kemudian banyak yang pulang ke tempat mereka yang asal.

Tidak dinafikan masyarakat Dayak Meratus berpeluang mengenal kemajuan melalui artikulasi oleh pegawai pemerintah dari suku Banjar. Mereka mempelajari ekonomi global daripada pedagang Banjar. Orang Meratus juga mengenali birokasi negara di tingkat wilayah melalui orang Banjar. Akan tetapi, hubungan itu tetap bersifat artifisial, karena dalam banyak hal justru membuat orang Dayak semakin jatuh dan jauh terpinggir dari yang mereka alami sejak zaman pra-kolonial dan kolonial (Hairus Salim 1996: 231).

Perhubungan orang Banjar dengan orang Dayak masa kini memasuki tahap yang baru, apabila mulai tahun 2000, suku Dayak Meratus terlibat dengan konflik yang agak serius dengan golongan penguasa Kalsel yang terdiri daripada orang Banjar. Hal ini berkaitan dengan dasar dan tindakan Sjachriel Darham, Gubernor Kalsel masa itu yang nampaknya tidak mengambil kira kepentingan orang Dayak. Sjachriel Darham telah membenarkan sebahagian Hutan Lindung Pegunungan Meratus, tempat tinggal orang Dayak, seluas 46,270 hektar, diberikan kepada perusahaan perkebunan berskala besar, PT Kodeco Group, yang berasal dari Korea Selatan.

Sebagaimana yang diketahui suku Dayak Meratus telah mendiami kawasan pegunungan Meratus itu sejak turun temurun. Hutan itu merupakan sumber kehidupan mereka, kerana memang di situlah tempat tinggal mereka sejak lama. Oleh itu, sudah tentu suku Dayak Meratus tidak menyetujui Hak Pengusahaan Hutan (HPT) kawasan hutan itu diserahkan kepada pengusaha besar. Apatah lagi pemberian konsesi kepada perusahaan dari Korea itu akan melibatkan alih fungsi sebahagian kawasan pergunungan Meratus dari hutan lindung kepada hutan produksi.

Mendengar kawasan hutan lindung itu akan dijadikan kawasan Hak Penguasaan Hutan (HPH) Kodeco, ratusan warga masyarakat Dayak Meratus berkali-kali turun ke Banjarmasin untuk mengadakan tunjuk perasaan, sama ada kepada DPRP mahupun kepada Gabenor sendiri. Sejak tahun 1998 hingga awal 2000 dikatakan lebih 20 kali warga pedalaman itu mengadakan tunjuk perasaan ke Banjarmasin dengan tuntutan yang sama: menolak kawasan Meratus dijadikan kawasan HPH. Namun, tuntutan mereka tidak pernah diberi perhatian yang sewajarnya. (Kompas,1 Ogos 2001).

Tuntutan warga Dayak Meratus itu akhirnya didengar oleh beberapa LSM. Mereka memberi sokongan dengan membentuk Aliansi Meratus yang merupakan gabungan 33 LSM. Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak Kalsel (LMMD-KS) dan LSM Telapak Indonesia yang beribu pejabat di Bogor juga memberi sokongan moral kepada warga Dayak Meratus dengan mengecam Pemda Kalsel.

Para aktivis itu jugalah yang meneruskan tuntutan warga Dayak Meratus, sama ada kepada Gabenor Sjachriel mahupun kepada DPRD tempatan. Namun, pihak Pemda bertindak balas untuk melumpuhkan gerakan itu dengan mengadukan Koordinator Aliansi Meratus, Hairansyah kepada pihak polis dengan tuduhan menghasut rakyat untuk mengadakan tunjuk perasaan.
Ketika isu yang berkaitan dengan pemberian sebahagian hutan lindung Pegunungan Meratus kepada perusahaan besar itu belum lagi selesai, timbul pula isu lain yang melibatkan kawasan yang sama, iaitu pemberian hak melombong kepada pengusaha perlombongan emas, PT Meratus Sumber Mas oleh pemerintah daerah. Tindakan pemerintah daerah ini mendapat tentangan daripada kira-kira 750 orang perwakilan dari 300 balai (rumah besar pusat kegiatan adat) yang tersebar di seluruh Kalimantan Selatan, yang mengadakan kongres selama empat hari, berakhir pada 26 Jun 2003 di Samarinda (Kompas 1 Julai 2003). 

Namun, penentangan warga Dayak Meratus itu nampaknya tidaklah mendapat perhatian yang sepatutnya daripada pemerintah daerah yang dikuasai oleh orang Banjar. Oleh yang demikian, sebuah LSM terkenal yang prihatin tentang masalah alam sekitar, yaitu WALHI, dalam beritanya pada 2 Juni 2006 menyatakan:“…Hutan Lindung Meratus, kawasan hutan asli yang masih tersisa di Propinsi Kalimatan Selatan, “rumah terakhir” masyararakat Dayak Meratus saat ini menjadi kawasan yang paling terancam. Saat ini pemerintah dan pengusaha tambang serta perkebunan skala besar melakukan berbagai cara, termasuk memecah masyarakat Dayak Meratus melalui perubahan tapal batas antar kabupaten, sayangnya kebutuhan masyarakat bertolak belakang dengan keinginan pemerintah daerah (Walhi 2006). Apabila disebut pemerintah daerah tentulah merujuk kepada orang Banjar, kerana orang Banjarlah yang merupakan penguasa pada peringkat tersebut. Ini bermakna konflik antara orang Dayak dengan orang Banjar masih berterusan.

Kesimpulan

Meskipun orang Banjar berasal dari orang Dayak, ataupun dari percampuran orang Dayak dengan pelbagai suku yang lain, tetapi setelah orang Banjar memeluk agama Islam dan mendirikankan kerajaan Islam Banjar, perpisahan antara kedua suku itu nampaknya sudah merupakan sesuatu yang berkekalan. Mungkin sejak zaman dahulu lagi, orang Dayak yang tidak memeluk agama Islam memilih tinggal di kampung yang berasingan dari kampung orang Banjar; di tempat yang umumnya terletak di pedalaman.

Kemunculan kerajaan Islam Banjar pada abad ke-16, nampaknya menandakan bermulaanya kedudukan orang Dayak sebagai subordinat kepada orang Banjar, karena orang Banjar adalah kelas pemerintah yang wilayah pemerintahannya meliputi juga kawasan yang didiami oleh orang Dayak. Kedudukan orang Dayak sebagai subordinat kepada orang Banjar ini boleh dikatakan tidak berubah pada zaman penjajahan dan lebih jelas lagi pada zaman selepas kemerdekaan, kerana pada zaman selepas kemerdekaan memang orang Banjarlah yang menduduki jawatan penting dalam pemerintahan daerah, di samping mereka juga yang menguasai perdagangan yang melibatkan orang Dayak.

Jika kita lihat hubungan orang Banjar dengan orang Dayak pada masa mutakhir, hubungan mereka nampaknya bukan sahaja tidak mesra, malah sudah melibatkan konflik yang agak serius. Hubungan tidak mesra itu sudah kelihatan sejak lama, melibatkan golongan pedagang Banjar dan penguasa Banjar, yang jelas lebih berkuasa ke atas orang Dayak Kini timbul pula isu baru yang menimbulkan konflik, iaitu tindakan pemerintah daerah yang diketuai oleh Gabenor dari etnik Banjar yang memberikan kawasan hutan tempat tinggal orang Dayak Meratus kepada pengusaha perkebunan dan perlombongan besar.

Tidaklah dinafikan pemberian kawasan hutan untuk diusahakan oleh pengusaha besar itu ada juga faedahnya kepada orang Dayak, misalnya dari segi wujudnya peluang pekerjaan, dan mungkin terbinanya jalan yang akan menghubungkan kawasan tempat tinggal orang Dayak dengan kawasan bandar. Namun, sebagaimana yang terbukti dari kajian di tempat lain, (lihat Syarif Ibrahim Alqadrie 1994, 244-260; Patingi Y.A.Aris 1994, 261-66), kesan negatif dari aktiviti pembukaan kawasan hutan dan perlombongan itu kepada kehidupan penduduk setempat jauh lebih banyak dari kesan positifnya. Itulah sebabnya orang Dayak tidak menyetujui kawasan hutan tempat tinggal mereka diberikan kepada pengusaha besar.
Walau bagaimanapun, kedudukan orang Dayak sebagai subordinat kepada orang Banjar nampaknya tidak memungkinkan mereka menentang dasar pembangunan penguasa Banjar yang merugikan mereka, dan dengan itu sangatlah sukar mereka keluar dari kehidupan mereka yang mundur dan terpinggir. Barangkali orang Dayak hanya mungkin keluar dari keadaan mundur dan terpinggir itu, setelah melalui satu masa yang agak lama, khasnya setelah mereka mencapai taraf pendidikan yang memadai dan dengan itu dapat menduduki jawatan penting dalam pemerintah daerah, sama ada dalam bidang birokrasi mahupun politik. Memang sebagaimana yang sering berlaku, orang Dayak hanya mungkin bermobiliti ke atas, walaupun agaknya secara beransur-ansur, melalui jalan pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar