( Perspektif Orang Dayak Jalai, Ketapang, Kalimantan Barat )
Hutan
bukan hanya sebagai suatu ekosistem tempat adanya tumbuhan yang bisa
digunakan untuk kepentingan manusia, namun bagi masyarakat adat, hutan
merupakan simbol dari sebuah harga diri.Hutan, tanah, sungai serta gunung memiliki keterikatan tersendiri dengan mereka.
Pengelolaan hutan lestari telah dilakukan masyarakat lokal
sejak puluhan bahkan ratusan tahun lalu dan itu tetap diterapkan sampai
saat ini. Hal ini karena masyarakat mengerti akan pentingnya hutan
sebagai tempat mencari nafkah, penyedia sumber daya, kawasan konservasi,
penyedia air dan fungsi-fungsi lainnya. Penerapan hal ini juga
diperkuat dengan aturan-aturan yang mengikat. Seperti pemberian sanksi
dan denda bagi masyarakatnya yang terbukti salah.
Pembagian
kawasan dalam hutan juga menjadi bagian dari pengelolaan hutan oleh
masyarakat. Pembagian kawasan ini memiliki beragam fungsi, seperti
kawasan yang diperuntukkan untuk kegiatan pertanian, kawasan untuk berburu dan kawasan terlarang/ hutan larangan dan lain sebagainya,tergantung kearifan lokal dari masing-masing daerah.Kawasan-kawasan
tadi digunakan sesuai dengan fungsinya, misalnya kawasan pertanian
harus digunakan hanya untuk kegiatan pertanian sebaliknya juga dengan
kawasan berburu. Kawasan terlarang biasanya tidak boleh diganggu
dikarenakan adanya situs-situs sejarah dalam kawasan hutan tersebut.
Namun fungsi lain dari kawasan ini juga sebagai kawasan konservasi,
menjaga mata air atau wilayah-wilayah berlereng agar tidak longsor pada
musim hujan.
Bagaimana
dengan pengelolaan hasil hutan ? Pengelolaan hasil hutan dalam kawasan
hutan tetap diberikan kepada masyarakat untuk mengelola namun harus
tetap berpatokan kepada aturan-aturan adat yang berlaku. Aturan-aturan
ini dimaksudkan supaya sumber daya hutan seperti kayu, rotan, damar dll
itu tetap tersedia bagi semua orang yang membutuhkan serta
berkelanjutan. Misalnya pengambilan kayu untuk kebutuhan rumah telah
ditentukan jenis kayu dan umurnya sehingga kayu yang ditebang tersebut
memang sudah bisa digunakan supaya tidak ada pembalakan liar dalam
kawasan hutan adat.
Hal yang menjadi
sangat penting bahwa hutan memiliki manfaat ekonomi, sosial, budaya
hukum dan politik secara langsung Masyarakat setempat dan sekitarnya.
Komunikasi yang baik dan jelas atas rencana masyarakat dalam mengelola
hutan kepada Pemerintah Daerah sangat penting untuk tetap dilakukan,agar mereka mau memahami apa yang sedang di upayakan masyarakat untuk membantu
pemerintah dalam menyelamatkan hutan dan mengentaskan kemiskinan.
Banyak peluang kedepan untuk mengelola hutan bersama masyarakat,
walaupun tantangan dan ancaman terus menerus dihadapi tidak berhenti
baik dari dalam masyarakat maupun dari luar (kebijakan dan investasi).
Kekuatan masyarakat lokal paling penting dalam menyelamatkan dirinya sendiri secara bersama-sama.
Hutan bagi masyarakat lokal merupakan dunia, sumber kehidupan. Kedudukan dan peran hutan seperti itulah yang mendorong masyarakat lokal
untuk memanfaatkan hutan di sekitar mereka dan sekaligus menumbuhkan
komitmen untuk menjaga kelestariannya demi keberadaan dan kelanjutan
hidup hutan itu sendiri. Untuk melakukan hal itu, masyarakat lokal harus
dibekali oleh mekanisme alamiah dan nilai budaya yang mendukung
pemanfaatan hutan demi kelanjutan hidup dan pelestarian alam. Selain itu
untuk memelihara, menjaga dan melindungi keberadaan hutan itu muncul
dari perlakuan adat istiadat, peranan institusi adat dalam pengaturan sangsi dan denda serta mekanisme yang berkembang secara alamiah dari alam.
Hutan bagi masyarakat lokal
memang berperan sangat besar, ini terbukti dari sumber mata pencaharian
mereka bersumber dari hutan (berladang), semua unsur kehidupannya juga
bersumber dari hutan seperti bahan-bahan untuk membuat rumah panjang,
semua didapat dari hutan. Seluruh bangunan berbahan kayu, tentu saja
saat ini sudah banyak rumah panjang yang menggunakan seng sebagai atap
rumah, paku baja sebagai pengikat dan pasak. Sebelum ada semua itu,
bahan dasar pembuat rumah panjang dari kayu dan rotan. Demikian juga
alat angkut, seperti sampan, lalu alat-alat rumah tangga seperti tikar,
bakul dan alat-alat berperang seperti perisai, sumpitan, semua terbuat
dari kayu.
Kita bisa melihat beberapa kearifan lokal dari masyarakat di Indonesia dalam menjaga hutannya. Masyarakat suku Dayak dalam mengelola sumber daya alamnya mereka
membagi wilayah mereka (Binua) kedalam beberapa bagian, seperti
masyarakat adat Dayak Simpakng yang menunjukkan kearifan mereka dalam
mengelola sumber daya alam seperti :
1. Proses Perladangan
Sistem perladangan (Uma – Dayak Simpakng, Umai – Dayak Iban, Muh- Dayak Mayau, Huma – Dayak Kanayatn, Lakau- Dayak Jalai, Lako – Dayak Krio dan Pawan) pada beberapa sub-suku Dayak dilaksanakan melalui proses yang sangat arif dan bijaksana.
Pada masyarakat adat Dayak Simpakng sebelum mereka membuka hutan mereka melakukan upacara adat nudok angko tautn, yakni upacara adat membuka tahun, meminta ijin pada Duwata (Tuhan), kemudian dilanjutkan dengan ngusok/nurutn tagor yaitu survei calon kawasan ladang, dan meminta ijin pada Menkedum Jembalang Tonah dan Puyaknggana (Duwata pemilik
hutan). Upacara ini juga untuk mengetahui tingkat kesuburan tanah,
menghindari sumber mata air, pohon kayu madu, kayu damar, dan
buah-buahan, serta menghindari tembawang dan tanah keramat.
Adapun tahapan perladangan masyarakat adat Dayak Simpakng adalah sebagai berikut :
- Musyawarah batas, maksudnya menentukan batas ladang dan meminta ijin pada pemilik diareal perladangan nantinya. Jadi harus ada mufakat dalam musyawarah tersebut.
- Minu (menebas), setelah mendapatkan lahan hal yang perlu dilakukan adalah penebasan. Alat yang digunakan seperti bore (parang), baliokng (beliung). Ketika melakukan penebasan tersebut lahan yang bersangkutan tiba-tiba dihinggapi oleh panginget/penyinyet (lebah madu) maka lahan itu harus segera ditinggalkan dan mencari lahan baru.
- Nobakng (menebang), dalam melakukan aktifitas ini ada beberapa aturan yangharus ditaati, yaitu tidak boleh mengenai usaha orang lain, jamih (bawas) orang lain, pohon madu, kebun, kampokng buah, keramat. Jika kejadiannya tidak disengaja maka yang bersangkutan harus segera memberitahukan kepada pemiliknya.
- Mpo ropa (masa pengeringan), masa ini berkisar antara 1,5 – 2 bulan, tergantung dari kondisi iklim. Bila panas terus menerus maka daun, ranting, dahan dan batang kayu akan cepat kering. Bila demikian maka ladang akan dibakar hangus (mosu). Hangus tidaknya sebuah ladang yang akan dibakar sangat menetukan tingkat kesuburan tanaman baik padi maupun tanaman sayur mayur lainnya.
- Miadakng (membuat sekat bakar), merupakan proses pembersihan disekeliling muh (ladang) yang sudah ditebang dengan tujuan agar api tidak menjalar ketempat lain.(me lada’ – Dayak Jalai, lale’ – Dayak Iban, watah – Dayak Hibun)
- Ngucol (membakar), setelah miadakng maka dilakukan pembakaran, namun sebelum dilakukan pembakaran semua warga yang ladang, kebun atau usaha lain yang berdekatan dengan ladang yang akan dibakar harus diberitahukan terlebih dahulu. Membakar juga harus berlawanan dengan arah angin, tidak boleh membakar dimusim angin kencang dan panas terik, dan biasanya pembakaran dimulai pukul 14.00 wib.
- Ngarorak, jika di hutan rimba setelah pembakaran selama minimal 3 hari tidak boleh keladang karena masih ada bara yang menyala. Ketika api sudah padam maka kayu yang tidak habis terbakar disingkirkan kegiatan inilah yang dinamakan ngarorak. Tumpukan kayu bekas bakaran itu namanya panok. Panok itu akan dibakar sebelum pulang pada pukul 18.00 wib. Areal bekas membakar panok itu akan subur untuk menanam cabe, jahe, kunyit, terong dan sebagainya.
- Tamurok (menanam padi), kegiatan penanaman padi ini biasanya dilakukan 2 orang seorang laki-laki yang membuat lobang diikuti dibelakangnya, seorang wanita, yang melakukan penanaman benih padi. Alat yang digunakan adalah tugal yang panjangnya 2,5 meter dengan diameter 3 cm ujungnya diruncingkan agak tumpul.
- Miobuh (merumput), sekitar 1,5 bulan setelah padi ditanam dilakukan pembersihan rumput diladang, tujuannya agar rumput tidak mengganggu pertumbuhan padi.
- Biti ampar kuning podi, setelah merumpun kegiatan berladang berhenti sampai masa panen tiba, masa 3 minggu- 1bulan digunakan untuk perbaikan jalan ke pondok, membuat tempat pemberhentian (mpadas/ mpalakng) sebelum padi di masukkan kedalam jurokng (lumbung). Mereka juga kadang menoreh karet untuk kemudian dijual kepasar.
- Ngotump (panen), padi yang dipanen ini harus benar-benar masak, jika belum maka padi itu akan cepat busuk jika disimpan, padi yang pertama masak diambil dan setiap anggota keluarga harus mencicipi berasnya. Sebelum panen ada upacara adat yang bernama mota dan ngamaru. Mota adalah upacara yang menyatakan bahwa panen akan dimulai dan ngamaru upacara pemberitahuan bahwa padi hasil panen itu akan dimakan oleh anggota keluarga.
- Gawe Tautn (upacara syukuran), upacara syukuran yang melibatkan seluruh warga di kampung yang bersangkutan. Didalamnya terdapat makan-makan bergendang (tarian), minum tuak, menari dan sebagainya dan upacara ini dilakukan di rumah betang atau rumah panjang.
- Bacucok batonam (bersosok tanam), ladang yang baru dipanen padinya dinamakan jamih atau bawas. Jamih ini dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu :
i. Jamih mongut (bawas muda dibawah 5 tahun)
ii. Jamih malakng (bawas yang subur berumur sampai 7 tahun)
iii. Jamih muntuh (bawas tua yang berumur 7-25 tahun)
Jamih bisa ditanami tanaman keras seperti karet, pohon madu, kayu belian, keladan, dan lain-lain. Sedangkan buah-buahan seperti diatn (durian), ramut (rambutan), duku, rosat (langsat), galimikng (belimbing), pakawe (sejenis durian), kunyet, sore, pinang, nyior, sireh, tuba, itu semua ditanam disekitar pondok (dango).
2. Pengelolaan Kebotn gotah buah janah
Kearifan
masyarakat adat Dayak dalam mengelola sumber daya alamnya, yaitu
menanam lahan bekas berladang dengan tanaman keras. Bibitnya telah
disiapkan 6 bulan – 1 tahun sebelum panen berakhir. Bibit ini diambil
dari lahan lain, ketika lahan ditinggalkan selama 7-10 tahun maka sudah
siap dipanen.
3. Pengelolaan pohon madu
Pohon madu yang dimaksud adalah pohon yang biasa digunakan oleh lebah untuk membuat sarang. Pohon madu ini termasuk sebagai keramat pedagi (benda keramat)
4. Pengelolaan kawasan hutan cadangan
Kawasan hutan ini sangat dikeramatkan, ini merupakan hutan konservasi yang tidak boleh dimanfaatkan, termasuk sebagai tonah colap tarutn pusaka.
Ciri kawasan jenis ini adlaah bukit atau gunung yang didalamnya
terdapat banyak tanaman obat, tanaman langka, banyak binatang, sungai
yang masih banyak ikan, dan terdapat aneka bahan bangunan, kawasan
tersebut telah ditetapkan dan diwariskan secara turun temurun dan
pengelolaannya diatur dalam hukum adat. Biasanya kayu boleh diambil
untuk keperluan hidup bukan untuk diperjualbelikan.
5. Pengelolaan keramat
Masyarakat suku Dayak selain memiliki wilayah keramat didaratan juga di lubuk sungai. Tempat
seperti ini dipelihara, dilindungi dan dihormati oleh warga masyarakat.
Didaerah tersebut tidak boleh ada kegiatan apapun kecuali upacara adat
yang dilakukan 3 kali dalam setahun.
6. Pengelolaan Tembawang
Kawasan
ini adalah bekas lahan yang telah ditinggalkan selama 5-10 tahun
ditandai dengan banyak tanaman keras dan juga beberapa bekas perabot
rumah tangga. Tembawang dapat diklasifikasikan dalam beberapa jenis, yaitu :
- Tembawang rumah/ kambokng, terdapat dirumah
- Tembawang dango, terdapat disekitar pondok ladang 2-5 tahun yang lalu.
- Tembawang dukoh, terdapat disekitar pondok semi permanen yang pernah didiami antara 5-10 tahun.
- Tembawang bagant, terdapat di rimba, sempat didiami selama 3 minggu sampai sebulan kegiatan berburu.
7. Pengelolaan Jamih
Jamih adalah
lahan bekas ladang, dan biasanya masih dirawat oleh pemiliknya karena
akan diladangi lagi sekitar puluhan tahun lagi. Antara jamih dengan jamih lainnya ada batasan (bat) biasanya batasan ini berupa sungai, kayu yang tahan lama seperti kayu belian, bambu hidup, tanaman buah seperti durian atau angkabakng (tengkawang)
8. Pengelolaan are sungai
Air sungai merupakan sumber kehidupan lain bagi masyarakat suku
Dayak. Agar air sungai dapat digunakan untuk masyarakat maka masyarakat
Dayak tidak pernah berladang di tepi sungai, sehingga kayu yang berada
di pinggir aliran sungai akan tetap ada yang berguna juga untuk
pelindung dan penangkal erosi. Terkadang masyarakat Dayak melakukan
ritual untuk menuba di aliran sungai tetapi menuba itu pun tidak boleh tiap hari. Ada upacara adat yang harus dilakukan sebelum melakukan penubaan
9. Mokatn tonah dan Nungkat Gumi
Tujuan pelaksanaan adat ini adalah memulihkan kembali hutan kawasan adat yang dikelola oleh warga masyarakat lokal. Upacara Nungkat Gumi dilakukan setiap 7 tahun sekali selama 7 hari 7 malam. Setelah upacara itu masyarakat melakukan pantakng ponti, dan selama masa pantangan itu tidak diperbolehkan memetik tanaman (balayo), me bia ikatn dari amun toruh tanyokng ka soju, toruh tanyokng ka soba (tidak boleh mengambil ikan tujuh tanjung kehilir dan kehulu dari sungai tempat mandi mereka), memotong atau makan hewan potongan, nyingor (bersiul), berpesta dan sebagainya.
Dari penjelasan diatas maka terlihat bahwa Masyarakat suku
Dayak mempunyai kearifan terhadap lingkungan yang sangat tinggi,
walaupun terkadang mereka di tuding sebagai aktor perusak lingkungan
karena mereka melakukan sistem pertanian dengan sistem ladang berpindah
Hampir 80% masyarakat suku Dayak
di Kalimantan mata pencahariannya berladang. Berladang bukan sekedar
untuk hidup tapi ladang turut membentuk peradaban orang Dayak. Karena
dari membuka lahan hingga akhir panen ada aturan yang hatus ditaati,
adatnya inilah yang membentuk kebudayaan Dayak. Tidak benar aktivitas
ladang berpindah sama dengan kegiatan merusak hutan. Istitut Dayakologi
menyebutkan bahwa sistem ladang berpindah itu sebagai sistem pertanian
asli terpadu (integrated indigenous farming system). Bukan lading berpindah
tetapi ladang bergilir. Sebab sistem perladangan dari masyarakat Dayak
ini berladang dilahan lain untuk memberi kesempatan lahan lama itu cukup
tua (10-15 tahun) yang nantinya akan mereka ladangi lagi. Sistem
pertanian ini merupakan jawaban yang tepat bagi perjuangan
mempertahankan kehidupan atas tanah yang relatif kurang subur. Menurut
Prof. Dr. Syarif Ibrhamim Alqadri dari FISIP Universitas Tanjungpura,
sistem perladangan seperti ini tidak dapat dituding sebagai sumber
kerusakan hutan. Daur perladangan sekitar 10-15 tahun secara teratur
menyebabkan hutan subur berkelanjutan.
Aktifitas
berladang tidak bisa terlepas dari hutan. Tanpa hutan, maka tidak akan
ada ladang. Dalam berladang lahan yang dibutuhkan tidak luas maksimal
hanya 1,5 hektar, setelah panen ladang ditanami pepohonan seperti karet,
tengkawang, rotan, dan aneka jenis buah. Dalam waktu 10-15 tahun lahan
tersebut telah berubah menjadi hutan kembali. Menanami ladang dengan
pepohonan adalah wajib bagi setiap peladang. Kewajiban itu tidak
terlepas dari adat yang dipegang oleh masyarakat Dayak. Jadi tidaklah
mengherankan apabila hutan adalah eksistensi masyarakat Dayak.
Contoh diatas merupakan sebagian kecil dari ratusan kearifan lokal masyarakat lokal
nusantara dalam menjaga kelestarian hutan sebagai tangung jawab dan
harga diri mereka. Hutan dipandang bukan saja sebagai penyedia kayu atau
hasil hutan tapi merupakan bagian dari lingkungan yang bersentuhan
langsung dengan kehidupan masyarakat lokal.
Ketergantungan inilah yang menjadikan hutan bagi masyarakat menjadi
sangat penting. Hal ini telah disadari bukan baru saat ini atau kemarin
tapi sejak para leluhur dulupun mereka sudah mengerti akan arti
pentingnya melestarikan hutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar