Asap
kemenyan terus mengepul di ruangan berukuran 5 x 4 meter persegi.
Perlahan balian perempuan Indu As (40), mengasapi bojah tawur (Dayak Ot
Dnum: beras tawur). Komat-kamit sebentar, sang balian menuturkan asal
mula beras sambil memohon kepada sang beras. Balian yakin beras itu bisa
menjadi duta yang akan mengajukan permohonan
Malam
itu Indu As memang sedang mengobati istri Zailani (26), warga Tumbang
Topus, Kecamatan Sumber Barito Murung Raya, Kalimantan Tengah. Pasien
dan balian berada di tengah ruangan sementara belasan warga menyaksikan
upacara itu."Beras
itu akan berubah menjadi tujuh perempuan cantik, siap mencari
pengobatan ke seluruh penjuru mata angin," kata Marko Mahin, antropolog
agama dari Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kalimantan Evangelis.
Enam
perempuan pergi ke sana kemari mencari leluhur atau sangiang yang akan
mengobati sementara satu putri tetap tinggal di tempat. Indu As yang
menjadi perantara bisa saja berbahasa Dayak Ot Danum, Dayak Ngaju,
Dayak Punan, atau Dayak Murung, bisa juga Banjar tergantung leluhur
yang masuk ke tubuhnya.
"Balian
sebenarnya tidak tahu banyak bahasa. Namun, karena dia dimasuki roh
lain dia bisa bicara sesuai dengan bahasa roh yang masuk," kata Lukas,
warga Tumbang Topus.Roh
telah memasuki tubuh Indu As. Tangannya terlihat menyisir rambut
panjang. Roh yang masuk ke tubuh balian itu katanya memang seorang nenek
berambut panjang. Tangannya kemudian mengambil batu kait yang telah
disiapkan untuk memulai mendiagnosa penyakit.
Terjadi
sebuah dialog dalam bahasa Ot Danum, "Narai gawin ketun toh (apa
kegiatan kalian ini)," tanya leluhur itu melalui mulut basir, sebutan
untuk balian di hulu Sungai Barito, Kalimantan Tengah.
"Ikei handak manantamba (kami ingin diobati)," jawab sang warga yang berada di sekitar pengobatan.
"Ikei handak manantamba (kami ingin diobati)," jawab sang warga yang berada di sekitar pengobatan.
"Narai kahabae? (Apa sakitnya?)," tanya basie."Ie toh pehe usoke tuntang bahali nahaseng (ia sakit dada dan sulit bernapas)," jawabnya."Laku
gula bahandang esu (minta gula merah cucu)," minta nenek itu yang
kemudian disodori gula merah. Nenek yang masuk ke dalam tubuh balian
mendeteksi penyakit dengan
gula merah dan mengambil penyakit menggunakan sisir. Tiap leluhur yang masuk memiliki metode pengobatan berbeda, ada yang menggunakan sisir, batu, air, tepung tawar, juga darah ayam.
gula merah dan mengambil penyakit menggunakan sisir. Tiap leluhur yang masuk memiliki metode pengobatan berbeda, ada yang menggunakan sisir, batu, air, tepung tawar, juga darah ayam.
Pengobatan pedalaman
Ritual balian hingga kini masih menjadi alternatif utama di pedalaman Kalimantan. Tiap provinsi memiliki variasi ritual yang berbeda namun intinya hampir sama.Di komunitas Dayak Meratus Kalimantan Selatan, pengobatan balian dilakukan bersamaan upacara selamatan atau baaruh. Di Kalimantan Tengah, upacara balian bisa digelar kecil-kecilan seperti yang dilakukan pada keluarga Zailani di atas. Di Kalteng basie perempuan merupakan fenomena langka karena saat ini didominasi laki-laki. Di Kalimantan Timur, balian perempuan masih banyak terlihat dalam setiap upacara. Upacara balian di Kaltim, seperti pada komunitas Dayak Benuaq di rumah panjang Papas Eheng Barong Tongkok Kabupaten Kutai Barat, digelar hingga 20 hari dengan upacara besar-besaran yang diakhiri dengan menyembelih beberapa ekor sapi. Keterisolasian dan keterpencilan memaksa mereka menggunakan pengobatan kuno. Semua jenis penyakit hanya mengandalkan balian,
karena umumnya tak ada mantri apalagi dokter di daerah itu. Ritual balian turun temurun di bumi Kalimantan itu hingga kini masih bisa disaksikan terutama di daerah yang belum memiliki alternatif pengobatan kedokteran modern. Balian dianggap mampu membangun hubungan dengan dunia roh.
Antropolog Marko Mahin mengatakan, balian percaya bahwa manusia merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu sistem yang tertata dan semua penyakit yang ada adalah konsekuensi dari disharmoni dengan tatanan kosmik.
"Penyakit ditafsirkan sebagai akibat perilaku yang tak harmoni terhadap alam," katanya.
Karena itu terapi balian menekankan pada pemeliharaan keseimbangan atau harmoni alam raya. Di dalam hubungan manusia, dan di dalam hubungan dengan dunia roh. Dalam pengobatan balian, pasien sebagai individu tidak terlalu dipentingkan. Justru situasi sosial yang menjadi tolok diagnosa penyakit dan lebih penting dibanding faktor-faktor fisik atau
psikologis. Pencarian sebab dan pengungkapan diagnosa serta komunikasi intensif dengan pasien atau keluarga pasien menjadi lebih menonjol dibanding terapi sebenarnya.
Karena itu terapi balian menekankan pada pemeliharaan keseimbangan atau harmoni alam raya. Di dalam hubungan manusia, dan di dalam hubungan dengan dunia roh. Dalam pengobatan balian, pasien sebagai individu tidak terlalu dipentingkan. Justru situasi sosial yang menjadi tolok diagnosa penyakit dan lebih penting dibanding faktor-faktor fisik atau
psikologis. Pencarian sebab dan pengungkapan diagnosa serta komunikasi intensif dengan pasien atau keluarga pasien menjadi lebih menonjol dibanding terapi sebenarnya.
Terapi
balian dalam beberapa kasus dianggap mengikuti pendekatan psikosomatik
(Yunani, psyche=jiwa dan soma= tubuh). Pendekatan ini menggunakan
teknik-teknik psikologis pada penyakit-penyakit fisik. "Tujuannya
berupaya mengintegrasikan kembali ingatan-ingatan pasien ke dalam tatanan kosmik yang benar, yang tidak disharmoni, itu inti usaha penyembuhan," kata Marko.
Psikoterapi modern
Ritual-ritual penyembuhan lebih untuk mengangkat pertentangan-pertentangan dan perlawanan-perlawanan bawah sadar ke alam sadar. Di alam sadar pertentangan dan perlawanan akan mendapat penyelesaian baik oleh pasien maupun oleh keluarganya. Hubungan yang kuat antara penyembuh dengan penderita menjelma menjadi kekuatan super (supernatural) yang menjadi energi penyembuh. Konsepsi seperti ini bisa sejajar dengan dinamika dasar psikoterapi modern. Filsuf ilmu pengetahuan Fritjof Capra berpendapat metode pengobatan tradisional itu disadari atau tidak telah menggunakan teknik-teknik terapeutik semacam kebersamaan kelompok, psikodrama, analisis mimpi, sugesti, hipnotis, pencitraan terbimbing, dan terapi psikodelik.
Marko
Mahin mengatakan, balian sudah mengenal teknik-teknik itu selama
berabad-abad yang lalu sebelum teknik-teknik itu secara ilmiah ditemukan
kembali oleh psikolog modern. Namun, tentu saja ada perbedaan antara
pendekatan psikoterapi modern dengan pendekatan kuno balian. Psikoterapi
modern, menurut Fritjof Capra, membantu pasien dengan membangun suatu
mitos individu dengan elemen-elemen yang diambil dari masa lampau pasien
sementara pengobatan semacam balian memberi pasien suatu mitos sosial
yang tidak terbatas pada pengalaman-pengalaman individu.
Konsep
pengobatan balian tidak bekerja pada bawah sadar individu pasien namun
lebih dari itu dia bekerja pada bawah sadar sosial yang kolektif dan
dimiliki seluruh komunitas. Pendekatan lebih holistik balian dalam
memandang tubuh manusia ini melampaui pendekatan mekanistik kedokteran
biomedis yang memandang tubuh manusia secara parsial. Secara tidak
sengaja, semangat pencarian pengobatan balian ini dapat mengajarkan
tentang dimensi sosial suatu penyakit yang selama ini diabaikan dan
dilupakan banyak kalangan.
Berabad-abad
para penyembuh bekerja di dalam komunitasnya, terus melakukan pencarian
penyembuhan primitif itu. Berbekal kearifan tradisional, mereka yakin
penyakit merupakan konsekuensi dari kekacauan manusia yang tidak hanya
melibatkan tubuh melainkan juga
pikiran, gambaran dirinya, ketergantungan pada lingkungan fisik dan sosial, serta hubungan antara manusia dengan kosmos. Kekayaan teknik psikologis yang digunakan balian dengan
mengintegrasikan persoalan-persoalan fisik pasien ke dalam konteks yang lebih luas itu mirip dengan terapi-terapi psikosimatik saat ini. Kedokteran barat yang menganggap tubuh manusia sebagai mesin yang bisa dianalisis menurut bagian-bagian terkecilnya tidak memiliki pendekatan ini. Fritjof Capra memaparkan, ilmu kedokteran modern sering kehilangan pandangan tentang pasien sebagai manusia dan mereduksi kesehatan menjadi keberfungsian mekanis. Ilmu kedokteran tak mengilmiahkan fenomena penyembuh.
pikiran, gambaran dirinya, ketergantungan pada lingkungan fisik dan sosial, serta hubungan antara manusia dengan kosmos. Kekayaan teknik psikologis yang digunakan balian dengan
mengintegrasikan persoalan-persoalan fisik pasien ke dalam konteks yang lebih luas itu mirip dengan terapi-terapi psikosimatik saat ini. Kedokteran barat yang menganggap tubuh manusia sebagai mesin yang bisa dianalisis menurut bagian-bagian terkecilnya tidak memiliki pendekatan ini. Fritjof Capra memaparkan, ilmu kedokteran modern sering kehilangan pandangan tentang pasien sebagai manusia dan mereduksi kesehatan menjadi keberfungsian mekanis. Ilmu kedokteran tak mengilmiahkan fenomena penyembuh.
Psikoterapi balian hingga kini memang masih tertutupi misteri. Namun, sudah banyak pasien yang disembuhkan. Karena itu, kalau sampai kesehatan modern masuk ke pelosok, sistem pengobatan tradisional tetap tidak boleh ditinggalkan.
Keterangan Foto:
Pengobatan balian sedang berlangsung di Desa Tumbang Topus, Kecamatan Sumber Barito, Kabupaten Murung Raya di Kalimantan Tengah. Di daerah pedalaman hulu Sungai Barito ini pengobatan balian menjadi pilihan utama masyarakat karena tiadanya alternatif lain
dulu waktu kuliah kerja nyata di benao hulu saya melihat upacar balian, mengunakan gelang besar yang berbunyi..artikel yang menarik.
BalasHapus