Dilihat
dari jumlah populasi penduduknya, terdapat dua kelompok masyarakat
pelaku kebudayaan dominan yang berkembang di Kalimantan Barat. Yaitu,
masyarakat Melayu dan masyarakat Dayak. Dalam tulisan ini, istilah Dayak
dan Melayu lebih merupakan istilah-istilah tematik yang digunakan
semata untuk membedakan dua kelompok masyarakat yang memiliki kebudayaan
relatif berbeda di Kalimantan Barat. Melayu adalah
kelompok masyarakat pelaku kebudayaan dengan adat istiadat bercorak
Islam, relatif lebih banyak mendiami wilayah-wilayah sekitar daerah
pesisir pantai atau sungai, serta relatif memiliki bentuk-bentuk
kebudayaan alam perairan laut dan sungai (maritim). Sementara Dayak
adalah kelompok masyarakat pelaku kebudayaan terestrial Kalimantan yang
relatif lebih banyak mendiami wilayah-wilayah pedalaman, memiliki
kebudayaan dan adat istiadat yang berorientasi pada alam daratan
(hutan), dan memilik dengan pola kehidupan ekonomi yang relatif bersifat
subsisten (berorientasi pada pola pemenuhan kebutuhan sendiri).
Meskipun bukan menjadi yang utama, sebagian dari masyarakat Dayak__dalam pengertian tulisan ini[1]__juga
relatif banyak yang menggunakan sungai sebagai salah satu sumber sistem
mata pencaharian kehidupan mereka. Terutama bagi mereka yang memang
bermukim di daerah-daerah hulu sungai. Meski demikian, orientasi daratan
tetap menjadi pilihan yang lebih bagi pola-pola kebudayaan yang mereka
kembangkan. Sebaliknya dengan Melayu, dalam sebagian kecil masyarakatnya
juga banyak yang tidak mengenal kebudayaan perairan. Kelompok ini,
adalah masyarakat yang berasal dari pelaku kebudayaan daratan atau
Dayak, yang oleh karena berubahnya satu hal atau lebih yang berhubungan
dengan identitas budaya, agama dan bahasa mereka, kemudian
mengidentifikasikan dirinya sebagai Melayu. Atau bahkan memang adalah
masyarakat asli pelaku kebudayaan Melayu yang oleh karena suatu alasan
ekonomi atau lainnya kemudian melakukan migrasi ke wilayah-wilayah
pedalaman.
Di
antara mereka sendiri, Melayu dan Dayak, sering kali mengidentifikasi
dua kebudayaan yang saling berbeda ini dengan istilah-istilah yang
bersifat diakronim dan dikotomis. Misalnya adalah istilah darat dan
laut, atau istilah atas dan bawah. Istilah-istilah ini sebenarnya lebih
merupakan personifikasi identitas budaya berdasarkan asal usul wilayah,
atau teritori, selain istilah pesisir dan pedalaman. Misalnya dalam
istilah pengidentifikasian “orang darat dan orang laut”. Orang darat
adalah menunjuk kepada pengertian identitas orang asli Dayak. Sementara
orang laut adalah menunjuk kepada pengertian identitas orang Melayu,
‘atau yang menjadi Melayu’. Demikian juga dengan istilah atas (gunung)
dan bawah (lembah), yang juga menunjuk pada pengertian Dayak dan Melayu.
Namun seiring dengan perkembangan pola interaksi, jangkauan mobilitas,
dan aksesibilitas fisik yang menghubungkan antar satu sama lain wilayah,
istilah-istilah ini semakin mulai jarang terdengar, kecuali pada
wilayah-wilayah tertentu di pedesaan. Oleh karena sebagian dari mereka
ini telah hidup bersama dan berakulturasi dengan kelompok-kelompok
masyarakat lain, yang tidak sebatas kelompok Melayu dan Dayak.
Selain
kedua kelompok masyarakat pelaku kebudayaan dominan tersebut, ada juga
kelompok masyarakat keturunan Tionghoa atau China yang juga dikenal
memiliki kebudayaan khas asli ciri Tionghoa/China Kalimantan Barat.
Disebut demikian, karena mereka selama ini telah mengembangkan satu
bentuk kebudayaan sinkretis, dari proses akulturasi dan adaptasi
terhadap kondisi lingkungan masyarakat di Kalimantan Barat. Salah
satu wujud manifestnya yang terkenal adalah beberapa nama wilayah
tertentu yang berasal dari penamaan China, seperti Singkawang dan
Bengkayang atau lainnya, bentuk pemerintahan republik China kecil Mandor dan Monterado,[2] atau bentuk atraksi Loya (Tatung) dalam bagian ritual perayaan Cap Go Meh yang merupakan hasil proses akulturasi dengan budaya masyarakat Dayak.[3]
Seperti
halnya Melayu dan Dayak, Tionghoa juga kemudian merupakan salah satu
bagian dari masyarakat pelaku kebudayaan Kalimantan Barat. Tidak saja
karena sebagian bentuk dan ciri-ciri dari kebudayaannya selama ini
relatif hanya di miliki, dan telah menjadi bagian dari identitas
kebudayaan masyarakat Kalimantan Barat. Tetapi juga karena sejarah
pembentukan pola-pola kebudayaan masyarakat Kalimantan Barat ini,
ternyata tidak pernah lepas dari pengaruh entitas-entitas kebudayaan
mereka satu sama lain. Yaitu, Melayu, Dayak dan Tionghoa.
Selain
ketiga kelompok masyarakat dominan tersebut, terdapat juga
kelompok-kelompok masyarakat pelaku kebudayaan lain, yang oleh karena
suatu hal, baik secara mandiri maupun atas prakarsa program pemerintah,
melakukan migrasi ke wilayah-wilayah Kalimantan Barat. Seperti kelompok
masyarakat Jawa, Madura, Bugis, Banjar dan lain sebagainya.
Dari
sejumlah kelompok masyarakat pelaku kebudayaan yang ada, sepertinya
hanya Melayu, Dayak dan keturunan China atau Tionghoa yang relatif masih
memiliki pola kebudayaan asli dan khas, yang mencirikan satu sama lain
identitasnya sejak lama. Masing-masing diantara mereka, dalam sejarahnya
pernah mengembangkan pola dan bentuk organisasi pemerintahan
tradisional sendiri, sebagai bagian dari ciri identitas kebudayaan
mereka selama ini. Masyarakat Melayu (mengacu pada pengertian dengan
label agama Islam) dengan bentuk pemerintahan kesultanan (kerajaan
Islam), Dayak dengan sistem pemerintahan adat binua, banua, atau
ketumenggungan adat. Sementara masyarakat Tionghoa dengan sistem
pemerintahan republik kecil yang merupakan bagian dari bentuk
pengembangan kongsi-kongsi pertambangan dan juga perdagangan mereka.
Dalam
sejarah Kalimantan Barat memang ada satu kelompok masyarakat lain yang
eksistensinya sudah ada jauh sejak jaman kerajaan-kerajaan Islam
berkembang, yaitu Bugis. Bahkan ada kesultanan yang dalam satu periode
kepemimpinannya pernah dipimpin oleh seorang keturunan Bugis bernama Daeng Menambon,
di Kerajaan Mempawah. Akan tetapi, perkembangan politik kebudayaannya
di Kalimantan Barat relatif tidak terlalu menonjol. Sehingga sebagian
dari identitas kebudayaan mereka saat ini telah menjadi lebur dalam
pengaruh identitas kebudayaan Melayu. Terutama karena faktor kesamaan
agama yang mereka anut, yaitu Islam.
Segregasi dan Pola Pembentukan Identitas
Kalimantan
Barat ini memang unik. Salah satu keunikan dari Kalimantan Barat ini
adalah menyangkut polarisasi identitas pelaku kebudayaan dalam pola-pola
sejarah pembentukan strukturnya di masyarakat. Selain istilah-istilah
teritori yang diakronim dan dikotomis, identitas keagamaan modern juga
menjadi satu dalam kesatuan identitas kebudayaan yang saling
mengidentifikasi. Terutama yang menyangkut sejarah pola-pola pembentukan
identitas kebudayaan dua kelompok masyarakat “anak suku asli”
Kalimantan Barat, yaitu Melayu dan Dayak. Melayu selalu identik dengan
Islam, dan semua hal yang berkaitan dengan budaya Islam. Sementara Dayak
sendiri senantiasa identik dengan non Islam. Terlebih semenjak periode
mulai banyak beralihnya bentuk-bentuk kepercayaan tradisional mereka
kepada Nasrani, sebagai bagian dari program apa yang disebut oleh
pemerintah orde baru meng-agamakan masyarakat Dayak, pasca peristiwa
yang secara eufimistik disebut sebagai demonstrasi terhadap China, 1967.[4]
Peristiwa ini kemudian semakin menguatkan pola-pola pembentukan
identitas sejarah kebudayaan kelompok suku di Kalimantan Barat yang
identik dengan agama. Melayu identik dengan Muslim, Dayak identik dengan
Nasrani, dan Tionghoa identik dengan Konghucu dan Budha. Meski
belakangan, pasca polarisasi-polarisasi politik identitas yang menguat
dalam kasus-kasus konflik politik etnisitas, muncul satu bentuk wadah
organisasi bernama Ikatan Dayak Islam.[5]
Sebuah organisasi yang mungkin hanya terdapat di Kalimantan Barat,
menunjuk pada pengertian kumpulan orang-orang Dayak Muslim yang saat itu
mulai mengakui kembali identitas jati dirinya sebagai bagian dari
masyarakat kultural Dayak. Istilah yang sepertinya menegaskan kembali
adanya bentuk pergulatan politik, antara eksistensi kultural dan
identitas agama di Kalimantan Barat. Seperti halnya istilah senganan yang
mungkin juga hanya berlaku di Kalimantan Barat, menunjuk pada satu
pengertian identitas masyarakat Dayak yang menganut Islam, dan menjadi
Melayu.
Secara morfologi, tidak pernah diketahui sejak kapan istilah/konsep ‘senganan‘
ini mulai digunakan oleh masyarakat. Karena belum ada satu pun sumber
literartur yang diperoleh, dus, mampu menjelaskan bagaimana istilah ini
mulai di kontruksikan. Ada banyak pendapat yang mencoba untuk
menerangkan kapan dan mengapa istilah ini mulai muncul, di kontruksikan,
serta dipopulerkan sebagai label yang melekat bagi masyarakat Dayak
muslim Kalimantan Barat. Pertama adalah sejak peradaban Islam
mulai berkembang di wilayah-wilayah Kalimantan Barat, yang ditandai
dengan masuk dan berkembangnya bentuk-bentuk kerajaan (kesultanan) Islam
di sepanjang lembah-lembah daerah aliran sungai. Di duga istilah ini
merupakan bagian dari kontruksi sosial yang dibangun oleh mereka
sendiri, sebagai upaya untuk menegaskan berpindahnya sistem kepercayaan
tradisional mereka kepada pola peradaban kebudayaan baru, yaitu Islam,
dan menjadi Melayu. Pertanyaannya kemudian, kepada siapa tujuan
penegasan identitas ini ditujukan? Kepada kelompok masyarakat lain yang
sudah menjadi Melayu, atau kepada komunitasnya sendiri? Apa yang menjadi
motivasi sosial di belakangnya? Untuk sementara jawabannya masih
menjadi misteri. Kedua adalah terjadi dalam periode
yang sama, tetapi di kontruksikan secara sosial justru oleh Melayu. Di
duga istilah ini digunakan oleh pihak Melayu Kesultanan sebagai bagian
dari upaya untuk memudahkan dalam mengenali masyarakat-masyarakat
pedalaman yang telah menjadi Muslim pada saat itu. Kemudian diterima
oleh anggota masyarakat yang menjadi Muslim ini, sebagai simbol dari
mobilitas status sosial mereka. Menjadi logis mungkin, karena struktur
sosial yang di bangun oleh Kesultanan saat itu, menempatkan Dayak dalam
struktur kelas yang ke dua, atau lebih rendah dari masyarakat Melayu,
Eropa dan Tionghoa. Pertanyaannya, mengapa kata senganan ini justru
tidak familiar di dalam kosa kata Melayu? Mengapa istilah ini kemudian
justru masih sering terdengar di kalangan masyarakat Dayak non Muslim
itu sendiri, puluhan atau bahkan ratusan tahun rentang usianya dari
waktu saat ini. Belum lagi, dalam mitelogi, hikayat, legenda dan atau
apapun yang berhubungan dengan kesultanan Melayu, sekalipun
naskah-naskah kerajaan, tidak ada satupun kata yang menyebutkan istilah
senganan. Jawaban untuk yang satu ini ternyata juga masih menjadi
misteri. Dan yang ketiga atau yang terakhir adalah sejak
kedatangan bangsa-bangsa kolonialis asing ke wilayah-wilayah pedalaman
Kalimantan Barat pada tahun 1800-an. Di duga kuat istilah ini merupakan
bagian dari strategi yang dibangun orang-orang Belanda untuk memudahkan
pembedaan secara dikotomis antara kelompok-kelompok masyarakat pada masa
itu secara administratif.[6]
Sehingga__jika tidak mungkin menjadi berlebihan__upaya-upaya untuk
menanamkan pengaruh kekuasaan kolonialnya akan menjadi semakin mudah.
Inipun sebenarnya juga masih menjadi misteri. Karena istilah senganan
ini ternyata juga asing dalam tulisan-tulisan awal mereka tentang
masyarakat Kalimantan Barat. Kecuali pada bentuk tulisan yang secara
sengaja di reproduksi ulang oleh mereka, atau pihak ketiga yang kemudian
mengutip dalam bentuk kajian atau terjemahannya saat ini.
Terlepas
pendapat mana yang lebih benar, namun satu yang pasti, proses-proses
segregasi (membangun bagian-bagian yang tidak didasarkan pada prefensi)
identitas masing-masing kelompok pelaku kebudayaan tersebut, membuat
struktur masyarakat dan kebudayaan di Kalimantan Barat ini menjadi
semakin lebih rumit dan kompleks. Serumit dan sekompleks sejarahnya
dalam pengertian identitasnya itu sendiri satu sama lain.
[1] Merujuk
pada pengertian suku asli Kalimantan yang memiliki budaya teresterial
atau daratan, pengertian yang sama juga terdapat, dan di kutip dalam, http://wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak, ; ensiklopedia bebas, wikipedia berbahasa Indonesia
[2] Cukup
di akui bahwa bentuk pemerintahan republik kecil yang pernah di bangun
sebagai pengembangan kongsi-kongsi perdagangan dan pertambangan kelompok
Tionghoa ini merupakan ciri khas dari sejarah dan kebudayaan Tionghoa
Kalimantan Barat. Karena bentuk pemerintahan kecil ini, dalam hal-hal
tertentu yang khusus, sementara hanya teridentifikasi di wilayah
Kalimantan Barat. Lihat Bambang Suta Purwata dalam laporan penelitian
Kongsi Orang China di Monterado.
[3] Tatung
sendiri merupakan salah satu unsur kebudayaan khas Tionghoa Kalimantan
Barat yang cukup menarik perhatian para wisatawan budaya, baik lokal
maupun mancanegara untuk datang ke Kalimantan Barat. Dalam beberapa
proses dan atraksinya, Tatung ternyata lebih mirip dengan Kamang Tariu
milik Dayak, yang prosesinya selalu menggunakan seseorang yang dalam
kondisi trance.
[4] Atau
mem-Pancasila-kan masyarakat Dayak. Lihat Jammie S. Davidson dan
Dauglas Kammen dalam INDONESIANS UNKNOWN WAR AND THE LINEAGES OF
VIOLENCE IN WEST KALIMANTAN, 2002.
[5] Ikatan
Dayak Islam ini tidak lebih dari organisasi yang berdiri karena adanya
polarisasi identitas kultural dan agama terhadap konflik-konflik politik
praksis yang terjadi saat itu. Dan bukan lazimnya sebuah organisasi
dakwah seperti yang kita kenal dalam sebuah lembaga yang melibatkan nama
agama dan identitas kultural.
[6] Dalam kasus ini, istilah senganan kemungkinan diberikan terhadap masyarakat Dayak pedalaman yang menyatu dan berbaur dalam kebudayaan Islam pada saat itu. Mengingat, menurut Institute Dayakologi,
berdasarkan pengertian Daya’ dalam banyak varian yang berarti ‘Hulu’
dan ‘Manusia’, para peneliti dari Eropa sekitar tahun 1800-an,
mendefinisikan Dayak sebagai ‘manusia pedalaman’, ‘non muslim’,
‘primitif’, ‘tidak berperadaban’ dan citra negatif lainnya. Apalagi
orang Dayak pada masa itu, jika di datangi oleh orang luar akan semakin
jauh berpindah ke hulu sungai dan wilayah pegunungan karena kalah
bersaing. Lihat dalam Kebaragaman Sub Suku dan Bahasa Dayak ; Institute Dayakologi, hal 11.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar