KAHARINGAN BUKAN HINDU KAHARINGAN
Ufuk timur masih malu-malu menampakan wajahnya. Di tepi sungai, suara
riang anak-anak kecil bermain air bersatu padu dengan suara air yang
tersiram ke tubuh-tubuh warga yang sedang mandi di sungai Kahayan, Desa
Tumbang Malahui, Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Suara ayunan sapu lidi
bersentuhan dengan tanah, mengoyak sampah-sampah disekitar halaman
bangunan bercorak Dayak Kuno. Orang Dayak menyebut bangunan ini Balai
Kaharingan.
Pagi itu, Jumat (22/03/2012) puluhan
orang sudah beramai-ramai mendatangi Balai Kaharingan. Puluhan orang ini
adalah penganut agama Kaharingan. Sebagian orang diluar dayak
menambahkan katra Hindu di depannya. Tapi warga Desa Tumbang Malahui
yang pagi itu melaksanakan ibadah pagi, menolak disebut dengan nama
Hindu Kaharingan, “Kaharingan bukan Hindu Kaharingan,” tegas Kokon (71)
warga Tumbang Malahui penganut agama Kaharingan kepada Citra Nusantara.
Warga Dayak memiliki agama lokal yang dipaksakan pemerintah
untuk melebur dengan agama pendatang. Kaharingan merupakan agama asli
leluhur warga Dayak yang saat ini disandingkan dengan agama pendatang,
Hindu. Seperti halnya dengan agama lokal lainnya di Nusantara,
keberadaan mereka nyaris terlupakan, terabaikan, terpinggirkan dan juga
mengalami diskriminasi. Bagi warga Dayak, Kaharingan dianggap sebagai
Agama Helu (agama air kehidupan), Agama Huran (agama kuno), atau Agama
Tato-hiang (agama nenek-moyang).
Kaharingan berasal
dari bahasa Sangen (Dayak kuno) yang akar katanya ialah ’’Haring’’.
Haring berarti ada dan tumbuh atau hidup dari dalam diri sendiri, yang
dilambangkan dengan Batang Garing atau Pohon Kehidupan. Batang Garing
sangat terkenal di kalangan warga Dayak. Soal batang garing bisa ditemui
oleh warga luar Dayak dengan melihat lukisan yang sangat banyak terjual
jika mendatangi bumi tambun bungai ini.Dalam lukisan batang garing
terlihat tombak dan menunjuk tegak ke atas. Bagian bawah pohon yang
ditandai oleh adanya guci berisi air suci yang melambangkan Jata atau
dunia bawah. Antara pohon sebagai dunia atas dan guci sebagai dunia
bawah merupakan dua dunia yang berbeda tapi diikat oleh satu kesatuan
yang saling berhubungan dan saling membutuhkan.
Dari lukisan batang garing ini, warga Dayak diingatkan dunia yang
ditempati saat ini hanya sebagai tempat tinggal sementara. Agama
Kaharingan mempercayai tanah air manusia yang sebenarnya adalah di dunia
atas, yaitu di Lawu Tatau. Filosofisnya orang dayak diingatkan agar
tidak terlalu mendewakan sesuatu yang bersifat dunaiwi. Kaharingan pun
memiliki kitab suci yang disebut dengan nama Panaturan, juga ada
kidung-kidung yang berisi puji-pujian terhadap Ranying Hattala (Tuhan
Yang Maha Esa) di dalam kitab Handayu. Tidak hanya kitab suci,
Kaharingan pun memiliki hari besar untuk umatnya, hari suci Tiwah. Pada
hari suci itu, orang Kaharingan melakukan ritual kematian tahap akhir.
Ada juga hari suci Basarah.
Ibadah rutin Kaharingan
yang dilakukan setiap Kamis atau malam Jumat. Ada juga seperangkat
aturan dalam ibadah Kaharingan, seperti Tawar, petunjuk tata cara
meminta pertolongan Tuhan dengan upacara menabur beras dan buku
Penyumpahan/Pengukuhan untuk acara pengambilan sumpah jabatan. Statmen
dari banyak orang termasuk pihak pemerintah yang mendiskriminasi
Kaharingan sebagai bentuk adat/ritual yang sesat dan tidak bertuhan bisa
ditampik. Mereka memiliki Tuhan yang disembah, kitab suci, hari besar
keagamaan, prosesi ritual dan tempat ibadah.
Arton S
Dohong, Ketua Majelis Agama Kaharingan yang juga menjabat Wakil Bupati
Gunung Mas, Palangka Raya mengatakan, “Masyarakat yang beragama
Kaharingan dari sisi perkembangan yang rill sangat memperihatinkan.
Kemampuan daya upaya sumber daya orang Kaharingan sangat terbatas.
Keterbatasan ini yang menjadi kendala terberat sehingga kita tidak bisa
berkembang dengan baik,” jelas Arton
Arton
menambahkan, pemerintah pusat tidak memiliki perhatian sama sekali
kepada penganut agama Kaharingan. Pemerintah pusat hanya mengembalikan
soal memperihatinkan kondisi agama Kaharingan kepada penganut agama
Kaharingan, “Pernyataan pemerintah ini kan sama saja membiarkan. Mau
hancur ya hancur, mau mati ya mati. Ini seperti pernyataan ‘bola liar’
kepada penganut agama Kaharingan,” tambah Arton.
Pemerintah pusat kata Arton, harus membuka mata dan hati untuk
perjuangan agama Kaharingan agar diakui layakanya agama-agama yang
sekarang diakui oleh pemerintah. Orang Kaharingan adalah orang yang
patuh dan taat, tetapi lanjut Arton jika hak penganut Kaharingan
diabaikan haknya ini akan menjadi ‘blunder’ pemerintah pusat kepada
agama Kaharingan. Orang Dayak Kaharingan memiliki dasar filosofis yang
menjadi acuan dalam kehidupan mereka, kata Arton. Sehingga konflik antar
umat beragama lain tidak pernah terjadi. Orang Dayak Kaharingan yang
asli selalu menekankan hidup beradab, hidup kebersamaan dengan sesama,
dan hidup saling menghormati,
“Jika pun terjadi
konflik yang menyebut Kaharingan terlibat, itu dilakukan oleh
orang-orang diluar Kaharingan yang mengetahui bahwa Kaharingan tidak
mempunyai tradisi untuk membuat konflik. Kaharingan lalu digunakan,
tujuannya untuk mendeskreditkan agama Kaharingan. Kaharingan tetap
berpeguh teguh pada ajaran dan nilai filosofis untuk hidup rukun antar
sesama,” tutup Arton.
Ranying Hatalla Langit Katamparan, Ela Buli Manggetu Hinting Bunu Panjang, Isen Mulang, Manetes Rantai Kamara Ambu penyang Hinje Simpei Paturung Humba Tamburak, Hatangku Manggetu Bunu, Kangkalu penang mamangun Betang, Hatamuei Lingu Nalatai, Hapangaja Karendem Malempang.
BalasHapusMenciptakan manusia yang berkeTuhanan, membina integritas kepribadian dengan identitas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara untuk mempersatukan dan menetapkan persatuan dan kesatuan masyarakat pendukungnya dan untuk meningkatkan kesejahateraan dalam kehidupan bermasyarakat dengan tujuan mewujudkan kehidupan yang damai, adil dan beradab.