Peneliti dari Amerika J Davidson pernah menyampaikan ketertarikannya
mengenai perkembangan Islam di Kapuas Hulu. Katanya, bagaimana di
pedalaman Kapuas Hulu ini, Islam menjadi agama mayoritas? Kok,
komposisinya bisa 60:40 ? Padahal Sintang, Sanggau, yang lebih dekat
dekat pusat Islam, lebih dekat dengan pantai, konon lebih terbuka,
penduduk yang bukan Islam jumlahnya lebih banyak.
Dua tahun sudah berlalu. Sampai hari ini pertanyaan itu sedang berusaha dijawab. Sekaligus melengkapi informasi yang sampaikan Departemen Agama Kapuas Hulu hampir 20 tahun lalu, ketika Tim Peneliti Depag yang dipimpin Moch Malik berhasil menerbitkan naskah yang diberi judul Masuk dan Berkembangnya Islam di Kapuas Hulu. Yusriadi, Zainuddin Isman, dan Hermansyah mencoba menyumbangkan jawabnya melalui tesis masing-masing.
Yusriadi (1999) menulis mengenai bahasa yang digunakan masyarakat Kapuas Hulu, Zainuddin Isman (2001) mengenai budaya masyarakat dengan pendekatan antropologinya, dan Hermansyah (2002) mengenai magi Ulu Kapuas. Selain itu, Haitami Salim, dkk (2000), menulis mengenai Islam di pedalaman Kalimantan Barat, dengan fokus keberagamaan masyarakat Embau. Januari 2003 Yusriadi dan Hermansyah menerbitkan buku Orang Embau, sebuah potret mikro masyarakat pedalaman Kalimantan, masyarakat di Kapuas Hulu. Insya Allah beberapa bulan mendatang, Hermansyah dan Yusriadi dibantu H Zahry Abdullah, kembali menyelesaikan studi singkatnya mengenai fiqh pedalaman, karya seorang ulama besar di Jongkong, Bilal Lombok, yang hidup hampir 100 tahun lalu. Semua tulisan itu langsung atau tidak langsung merupakan usaha untuk mencari jawaban atas pertanyaan tersebut.
Apa yang dilakukan Lembaga Persaudaraan Sejati (Lepas) hari ini dengan mengumpulkan sejumlah akademisi dan pemerhati Kapuas Hulu juga merupakan bentuk perhatiannya pada kajian ini. Mudah-mudahan langkah LSM ini juga diikuti oleh kalangan yang lain yang perduli dengan sejarah dan asal usul. Sehingga antar satu usaha dengan usaha lain saling menggenapi. Gilirannya dapat membangun landasan akademik mengenai Islam di Kalbar, ataupun mengenai masyarakat pedalaman.
Tulisan sederhana ini merupakan studi lepas mengenai sejarah Islam di Kapuas Hulu. Berangkat dari kemusykilan atas sejumlah fakta dan data yang ditampilkan mengenai Islam di daerah ini.
Menyoal Mayoritas Pedalaman
Pertanyaan yang disampaikan kandidat Doktor asal Amerika itu, memang menarik dicermati. Ada beberapa alasan untuk itu.
Pertama, fakta mengenai wujudnya mayoritas muslim di pedalaman, lebih khusus lagi di sejumlah anak sungai, setahu kita kontroversi. Berbeda jauh dengan pemahaman dunia luar selama ini mengenai masyarakat Kalimantan, khususnya masyarakat pedalaman.
Meskipun pengetahuan mengenai Kalimantan masih terbatas, selama ini di dunia akademik, Kalimantan merupakan pulau orang Dayak. Atau, setidaknya ada image jika membicarakan mengenai Kalimantan –apalagi pedalaman, yang muncul dalam bayangan adalah orang Dayak . Yakni, pribumi Kalimantan yang hidup terkebelakang, beragama bukan Islam. Mungkin dengan asesoris tato, telinga panjang, telanjang dada bagi perempuan dan sejumlah image eksotik lainnya.
Karena tertarik dengan kesan eksotik itulah, sekian lama orang Dayak ini menjadi fokus perhatian dan menyita konsentrasi pembinaan landasan akademik mengenai pulau Kalimantan. Hampir-hampir masyarakat bukan Islam mengambil semua perhatian sarjana dan pakar. Collins sendiri pernah menduga ada alasan bukan akademik yang melandasi pilihan ini. (Lihat Collins 1995; Yusriadi 1999 ).
Bisa dibayangkan ketika ternyata di tengah pulau Kalimantan, di hulu Sungai Kapuas justru lebih banyak orang bukan Dayak, ilmuan harus merombak total image itu. Mereka harus mengubah ‘postulat’ dan bahkan ‘ilmu’ mereka mengenai Kalimantan.
Kedua : Bagaimana Islam tersebar begitu meluas di kawasan ini? Pertanyaan ini lebih menarik lagi. Apalagi seperti kita ketahui tidak ada Kiyai, tak ada wali yang populer dan tak ada pondok. Bagaimana Islam diterima masyarakat dan bagaimana Islam berkembang? Siapa yang terlibat dalam melakukan Islamisasi massal di sini? Faktor apa yang membuat Islam bisa diterima secara ‘kaffah’ di sini?
Masalahnya, catatan kolonial hanya menyinggung sedikit soal ini. Katanya, Jongkong mengirimkan mubalighnya ke dalam Sungai Embau untuk mengislamkan orang di sana.
“Menurut seorang petugas penjajahan, Enthoven (1903) kerajaan Jongkong di muara Sungai Embau mengutus zendekingen ‘misi’, kalau mengikut makna istilah Belanda itu, untuk menyebarkan syiar Islam di hulu sungai. Para penduduk tidak disuruh atau dipaksa tetapi diyakini melalui amanah dan amal mubaligh yang diutuskan” (Collins 2003 : xii)
Dalam komunikasi pribadi Collins mengajak berspekulasi bahwa selain karena pendekatan tersebut, Islam diterima secara massa oleh orang Embau –sebagai contohnya, karena kehadiran Belanda. Seperti diketahui missionaris yang berusaha mengagamakan masyarakat pribumi di sini memang dikaitkan dengan orang putih, kira-kira dianggap sama dengan orang Belanda. Karena itu resistensi kepada Belanda dan Kristen menyebabkan mereka menerima Islam dengan mudah .
Soalnya sekarang, kita memang memiliki informasi yang agak baik mengenai Islam di Sungai Embau sekarang, namun tidak untuk Sungai Bunut, atau Sungai Silat. Pertanyaannya kemudian, apakah polanya sama dengan apa yang terjadi di Embau?
Ketiga : Yang membuat kita penasaran juga adalah kenapa sebaran komunitas Islam dan bukan Islam seperti punya batas yang tegas. Batas itu, yakni arah selatan Sungai Kapuas sebagian anak-anak sungai didiami mayoritas (mutlak) Islam. Islam mendominasi di Sungai Embau, Bunut, merupakan dua sungai besar di Kapuas Hulu yang menganak ke selatan. Jika peta dibuat berdasarkan poros lintas selatan, membentang dari Bukit Biru, Nanga Tepuai, Riam Panjang, Boyan Tanjung, Nanga Semangut, hingga Putussibau, penduduknya Islam .
Sebaliknya, di bagian Utara, kebanyakannya beragama bukan Islam. Kawasan ini memanjang dari batas batas Kapuas Hulu, hingga berujung ke Kalimantan Timur. Sebut misalnya wilayah Badau dan Embaloh.
Secara awam kita percaya bahwa wujudnya pisahan ini terjadi tidak secara kebetulan. Tetapi ada usaha, ada upaya, dari kalangan mubaligh ratusan tahun lalu. Mesti ada penjelasan yang bisa diberikan, di kemudian hari melalui penelitian.
Islam Masuk ke Kapuas Hulu
Tulisan mengenai Islam di Kapuas Hulu masih terbatas. Jika diibaratkan gambar, maka informasi itu masih berserakan berbentuk fragmen. Di sana sedikit, di sini sedikit, terpisah-pisah sifatnya. Karena itu untuk melihat gambaran yang agak utuh maka perlu didefragmentasikan, perlu disusun oleh mereka yang ahli.
Sejauh ini ada beberapa tulisan yang menyinggung tentang Islam dan Islamisasi di Kapuas Hulu. Moch Malik dkk, mengatakan Islam kononnya masuk abad ke-6. Pada tempat lain Islam berkembang pada abad ke-18-19. Ketika itu sejumlah guru datang dari luar daerah mengajarkan Islam di pusat-pusat administrasi kerajaan: seperti Suhaid, Selimbau, Piasak, Jongkong, dan Bunut. Guru ini mendirikan madrasah mini. Peranan kerajaan kecil ini juga disoroti dalam tulisan ini.
Memang dari sekian banyak sumber yang bisa dipergunakan untuk melakukan studi sejarah, tulisan ini bisa digunakan sebagai data awal. Data-data hasil wawancara dengan tokoh agama di setiap kecamatan bisa menjadi titik tolak untuk kajian yang lebih mendalam dan akademis. Kelemahan metodologis, bisa diperbaiki melalui kajian lanjutan.
Sebenarnya, masih ada sumber lain yang bisa digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai Islam di sini. Seperti yang dikatakan Collins (2003), van Kessel tahun 1850 merupakan petugas kolonial Belanda yang pertama menerbitkan hasil observasinya mengenai Islam di Kapuas Hulu. Bahan ini dimanfaatkan oleh penulis Belanda kemudian, seperti PJ Vath (1854), Enthoven (1903) dan Victor T. King (1993). Berdasarkan sumber ini, Islam masuk sekitar tahun 1800-an, yakni tahun-tahun sebelum observasi van Kessel dilakukan.
Di Sungai Embau misalnya, ketika catatan dibuat tahun 1850, dia mengatakan dalam tahun akhir-akhir imi Dayak di Sungai Embau telah memeluk agama Islam (Lihat Collins 2003: xii).
‘Aan de rivier de Embouw of Mouw die zich hier met de Kapoeas vereenigt, wonen vrije Dajaks ... daar zij voor eenige jaren den Islam hebben aangenomen, thans tot de Maleijers kunnen gerekend worden’.
Dalam Yusriadi (1999), Haitami, dkk (2000) serta Yusriadi dan Hermansyah (2003) disebutkan di kawasan Sungai Embau telah tersebar 200-300 tahun lalu dalam beberapa generasi. Salasilah generasi ditampilkan untuk mendapatkan kalkulasi tersebut. Sumbangan lain yang cukup berarti adalah catatan-catatan mereka mengenai dinamika keberagamaan masyarakat Islam di sini.
Zainuddin Isman (20001) juga memberikan sumbangan untuk kita memahami sejarah masyarakat Kapuas Hulu ini. Dengan pendekatan antropologi, Zainuddin menceritakan kepada kita bagaimana keadaan penduduk Islam di daerah Temuyuk, sebuah kampung di anak Sungai Bunut, puluhan kilometer ke arah utara Sungai Embau. Sekaligus tulisan ini menambah kosa pemahaman kita mengenai proses Islamisasi, seperti ketika kita melihat apa yang ditulis Hermansyah kemudian.
Hermansyah (2002) melalui penelitian Ilmu-nya menyoroti secara mikro proses Islamisasi di kawasan ini. Temuannya mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa, penyebar agama Islam dahulu di Ulu Kapuas ini telah mengawinkan budaya lokal yakni kepercayaan kepada magi dengan unsur-unsur Islam. Cara ini telah menyebabkan Islam begitu mudah diterima masyarakat. Hermansyah juga menduga Islam sufistik yang menjurus pada sinkritisme berkembang dahulu di sini.
Beberapa Agenda Penelitian
Sekali lagi, gambaran sepintas lalu mengenai Islam di Kapuas Hulu masih terbatas. Karena itu, informasi ini masih dianggap sebagai informasi mentah; masih berserakan, yang menuntut tafsiran. Diperlukan penelitian mendalam di kemudian hari.
Dengan pengetahuan terbatas dan minimnya kemampuan, setakat ini diajukan beberapa agenda yang perlu diselesaikan sehingga tersusun satu kesepahaman sejarah. Wujudnya perbedaan tahun masuknya Islam ke daerah ini bisa jadi harus ditafsirkan bahwa Islam sudah masuk pada masa tersebut, tetapi belum berkembang luas. Agama ini masih dianut beberapa orang saja. Faktor sosial menyebabkan Islam baru berkembang pada menjelang abad ke-19. Ketika Belanda datang dan mencoba mengagamakan penduduk setempat, sembari menguasai sumber alam setempat.
Bisa juga ditafsirkan, perbedaan tahun terjadi karena perbedaan lokasi. Maksudnya, masuknya Islam di Selimbau yang berada di jalur terbuka, berbeda dengan masuknya Islam di Riam Panjang misalnya, yang tertutup jauh lagi di dalam sungai Embau. Perhubungan yang sulit ketika itu menyebabkan Islam tidak bisa tersebar secara serentak. Dan inilah yang menyebabkan ada perbedaan tahun tersebut.
Bisa juga ditafisrkan bahwa salah satu sumber ada yang terkeliru sehingga muncul tafsiran yang salah. Misalnya yang satu mengaitkan dengan masuknya Islam di kawasan pesisir pantai –yang mendasarkan dugaannya dengan sejarah kawasan. Pokoknya, ada banyak kemungkinan, dan ini memerlukan diskusi terus menerus, penggalian data yang serius dan tentu saja oleh mereka yang ahli. Sebab orang yang tidak ahli akan menafsirkan berdasarkan perasaan dan kemampuan yang minimun, yang justru kadang menyesatkan.
Selain itu, ada pertanyaan lain yang mesti diselesaikan. Siapa yang melakukan Islamisasi ratusan tahun lalu itu? Siapa tokoh sentral? Memang ada beberapa nama yang disebutkan terlibat dalam usaha ini (Lihat Moch Malik dkk 1985). Di antara nama-nama itu perlu dibahas dengan mendalam. Kajian biografi merupakan jawaban atas data ini.
Mengenai metode sedikit banyak kita sudah mendapat gambarannya. Meskipun tidak dikenal dengan institusi pondok –Pondok Pesantren Pertama Kapuas Hulu di Nanga Tepuai tahun 1990-an, namun kegiatan pengembangan Islam bisa dilakukan. Tetapi menarik mengimbas kembali apa yang disampaikan penulis Belanda yang mengenal istilah Islam transisi. Maksudnya, adalah ada sekelompok masyarakat yang memeluk Islam tetapi mereka belum melaksanakan ajaran Islam dengan baik. Setidaknya dalam catatan tersebut, disebutkan penduduk Islam yang masih minum tuak, memelihara anjing dan makan babi (Lihat Yusriadi 2002).
Apa yang disinggung dalam Yusriadi (2002) mungkin juga merupakan jawaban sementara atas proses ini. Dengan mengambil cerita larangan makan babi dikaitkan dengan kisah Saydina Ali dan isterinya. Walaupun dalam sejarah Islam tidak ditemukan cerita ini, namun mubaligh memanfaatkannya untuk memberi penjelasan singkat larangan makan babi berdasarkan logika tradisional, logika masyarakat setempat kita itu.
Atau istilah Islam transisi yang disinggung penulis Belanda merupakan bentuk strategi Islamisasi yang dilakukan oleh mubaligh. Maksudnya, biarlah masyarakat lokal masih memelihara anjing, makan babi dan minum tuak, biarlah mereka mengikuti kebiasaan mereka, yang penting konversi agama dengan starting pointnya pada syahadat (kesaksian) sudah dilakukan. Dengan begitu, misionaris tidak bisa apa-apa. Entahlah.
Penutup
Kenyataannya, data awal mengenai Kapuas Hulu memang sangat menarik. Profesor Linguistik Sejarah asal Amerika James T Collins , membawa kita pada beberapa persoalan data sejarah masyarakat Embau khususnya, Kapuas Hulu umumnya.
Misalnya, bahasa apa yang dipakai masyarakat ini sebelum memereka menukar agama secara ini? Apakah bahasa mereka berubah? Apakah cara hidup mereka berubah –sejauh mana perubahan itu?, sebelum dan setelah masuk Islam ?
Untuk mencari jawaban tentu tidak mudah. Karena itu kita berharap ada usaha penelitian secara serius dilaksanakan. Tidak bisa dilakukan dengan sepintas lalu seperti penelitian yang dilaksanakan Moch Malik dan kawan-kawan. Begitupun penelitian yang dilakukan Yusriadi, Zainuddin Isman dan Hermansyah.
Meskipun sumbangan dari berbagai sudut diperlukan, apa yang paling mendasar adalah, kita perlukan sejarawan. Sedangkan mereka yang melakukan usaha pencatatan sejarah sekarang ini hanya guru agama, peminat Linguistik, Tasauf, Antropologi. Mereka ini secara kebetulan tertarik untuk sepintas lalu menyoroti sejarah ini.. Kita mesti melahirkan seorang sarjana sejarah sehingga bisa mengupas fenomena ini secara intensif.
Satu hal yang penting dicamkan, bidang kajian sejarah bukan hal yang remeh temeh. Kata orang bijak : Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Kita ingin jadi bangsa yang bijak, yang menghargai sejarah lokal kita. Tetapi malangnya, kita ‘belum punya’ sejarah. Kita justru masih merasa belum ada apa-apanya. Masih terbuai oleh sejarah besar kawasan lain. Alahai.**
Bibliografi
Collins, J. T. 1995. Kalimantan Barat Sebagai Titik Tolak Pengkajian Sejarah Bahasa Melayu. Kerta Kerja Dialog Borneo-Kalimantan V, Pontianak.
Collins, J.T. 2003. Alam Melayu dan Masyarakat Embau. Dalam Yusriadi dan Hermansyah 2003. Orang Embau: Potet Masyarakat Pribumi Kalimantan. Pontianak: STAIN Press – Adi Karya IKAPI – The Ford Foundation.
Haitami Salim, dkk. 2000. Islam di Pedalaman Kalimantan Barat, Studi Kasus atas Keberagamaan Masyarakat Embau. Pontianak: STAIN.
Hermansyah. 2001. Magi Ulu Kapuas. Tesis MA IAIN Sunan Ampel, Semarang.
Moch Malik, dkk. 1985. Masuk dan Berkembangnya Islam di Kapuas Hulu. Naskah.
Yusriadi. 1998. Tuhfat Al-Nafis : Merangka Episode Sejarah Kalbar. Makalah disampaikan dalam Bengkel Karya Agung Tuhfat Al-Nafis. ATMA.
Yusriadi. 1999. Dialek Melayu Ulu Kapuas. Tesis MA Universiti Kebangsaan Malaysia.
Yusriadi. 2000. Islamisasi di Pedalaman Kalbar, Perspektif Linguistik dan Tradisi Lisan. Khatulistiwa 1: 12-32.
Yusriadi. 2002. Islam Transisi di Kapuas Hulu. Naskah.
Yusriadi. dan Hermansyah. 2003. Orang Embau: Potet Masyarakat Pribumi Kalimantan. Pontianak: STAIN Press – Adi Karya IKAPI – The Ford Foundation.
Zainuddin Isman. 2001. Orang Melayu di Kalimantan Barat, Kajian Perubahan Budaya pada Komuniti Pesisir dan Komuniti Pedalaman. Tesis MA Universiti Kebangsaan Malaysia.
Dua tahun sudah berlalu. Sampai hari ini pertanyaan itu sedang berusaha dijawab. Sekaligus melengkapi informasi yang sampaikan Departemen Agama Kapuas Hulu hampir 20 tahun lalu, ketika Tim Peneliti Depag yang dipimpin Moch Malik berhasil menerbitkan naskah yang diberi judul Masuk dan Berkembangnya Islam di Kapuas Hulu. Yusriadi, Zainuddin Isman, dan Hermansyah mencoba menyumbangkan jawabnya melalui tesis masing-masing.
Yusriadi (1999) menulis mengenai bahasa yang digunakan masyarakat Kapuas Hulu, Zainuddin Isman (2001) mengenai budaya masyarakat dengan pendekatan antropologinya, dan Hermansyah (2002) mengenai magi Ulu Kapuas. Selain itu, Haitami Salim, dkk (2000), menulis mengenai Islam di pedalaman Kalimantan Barat, dengan fokus keberagamaan masyarakat Embau. Januari 2003 Yusriadi dan Hermansyah menerbitkan buku Orang Embau, sebuah potret mikro masyarakat pedalaman Kalimantan, masyarakat di Kapuas Hulu. Insya Allah beberapa bulan mendatang, Hermansyah dan Yusriadi dibantu H Zahry Abdullah, kembali menyelesaikan studi singkatnya mengenai fiqh pedalaman, karya seorang ulama besar di Jongkong, Bilal Lombok, yang hidup hampir 100 tahun lalu. Semua tulisan itu langsung atau tidak langsung merupakan usaha untuk mencari jawaban atas pertanyaan tersebut.
Apa yang dilakukan Lembaga Persaudaraan Sejati (Lepas) hari ini dengan mengumpulkan sejumlah akademisi dan pemerhati Kapuas Hulu juga merupakan bentuk perhatiannya pada kajian ini. Mudah-mudahan langkah LSM ini juga diikuti oleh kalangan yang lain yang perduli dengan sejarah dan asal usul. Sehingga antar satu usaha dengan usaha lain saling menggenapi. Gilirannya dapat membangun landasan akademik mengenai Islam di Kalbar, ataupun mengenai masyarakat pedalaman.
Tulisan sederhana ini merupakan studi lepas mengenai sejarah Islam di Kapuas Hulu. Berangkat dari kemusykilan atas sejumlah fakta dan data yang ditampilkan mengenai Islam di daerah ini.
Menyoal Mayoritas Pedalaman
Pertanyaan yang disampaikan kandidat Doktor asal Amerika itu, memang menarik dicermati. Ada beberapa alasan untuk itu.
Pertama, fakta mengenai wujudnya mayoritas muslim di pedalaman, lebih khusus lagi di sejumlah anak sungai, setahu kita kontroversi. Berbeda jauh dengan pemahaman dunia luar selama ini mengenai masyarakat Kalimantan, khususnya masyarakat pedalaman.
Meskipun pengetahuan mengenai Kalimantan masih terbatas, selama ini di dunia akademik, Kalimantan merupakan pulau orang Dayak. Atau, setidaknya ada image jika membicarakan mengenai Kalimantan –apalagi pedalaman, yang muncul dalam bayangan adalah orang Dayak . Yakni, pribumi Kalimantan yang hidup terkebelakang, beragama bukan Islam. Mungkin dengan asesoris tato, telinga panjang, telanjang dada bagi perempuan dan sejumlah image eksotik lainnya.
Karena tertarik dengan kesan eksotik itulah, sekian lama orang Dayak ini menjadi fokus perhatian dan menyita konsentrasi pembinaan landasan akademik mengenai pulau Kalimantan. Hampir-hampir masyarakat bukan Islam mengambil semua perhatian sarjana dan pakar. Collins sendiri pernah menduga ada alasan bukan akademik yang melandasi pilihan ini. (Lihat Collins 1995; Yusriadi 1999 ).
Bisa dibayangkan ketika ternyata di tengah pulau Kalimantan, di hulu Sungai Kapuas justru lebih banyak orang bukan Dayak, ilmuan harus merombak total image itu. Mereka harus mengubah ‘postulat’ dan bahkan ‘ilmu’ mereka mengenai Kalimantan.
Kedua : Bagaimana Islam tersebar begitu meluas di kawasan ini? Pertanyaan ini lebih menarik lagi. Apalagi seperti kita ketahui tidak ada Kiyai, tak ada wali yang populer dan tak ada pondok. Bagaimana Islam diterima masyarakat dan bagaimana Islam berkembang? Siapa yang terlibat dalam melakukan Islamisasi massal di sini? Faktor apa yang membuat Islam bisa diterima secara ‘kaffah’ di sini?
Masalahnya, catatan kolonial hanya menyinggung sedikit soal ini. Katanya, Jongkong mengirimkan mubalighnya ke dalam Sungai Embau untuk mengislamkan orang di sana.
“Menurut seorang petugas penjajahan, Enthoven (1903) kerajaan Jongkong di muara Sungai Embau mengutus zendekingen ‘misi’, kalau mengikut makna istilah Belanda itu, untuk menyebarkan syiar Islam di hulu sungai. Para penduduk tidak disuruh atau dipaksa tetapi diyakini melalui amanah dan amal mubaligh yang diutuskan” (Collins 2003 : xii)
Dalam komunikasi pribadi Collins mengajak berspekulasi bahwa selain karena pendekatan tersebut, Islam diterima secara massa oleh orang Embau –sebagai contohnya, karena kehadiran Belanda. Seperti diketahui missionaris yang berusaha mengagamakan masyarakat pribumi di sini memang dikaitkan dengan orang putih, kira-kira dianggap sama dengan orang Belanda. Karena itu resistensi kepada Belanda dan Kristen menyebabkan mereka menerima Islam dengan mudah .
Soalnya sekarang, kita memang memiliki informasi yang agak baik mengenai Islam di Sungai Embau sekarang, namun tidak untuk Sungai Bunut, atau Sungai Silat. Pertanyaannya kemudian, apakah polanya sama dengan apa yang terjadi di Embau?
Ketiga : Yang membuat kita penasaran juga adalah kenapa sebaran komunitas Islam dan bukan Islam seperti punya batas yang tegas. Batas itu, yakni arah selatan Sungai Kapuas sebagian anak-anak sungai didiami mayoritas (mutlak) Islam. Islam mendominasi di Sungai Embau, Bunut, merupakan dua sungai besar di Kapuas Hulu yang menganak ke selatan. Jika peta dibuat berdasarkan poros lintas selatan, membentang dari Bukit Biru, Nanga Tepuai, Riam Panjang, Boyan Tanjung, Nanga Semangut, hingga Putussibau, penduduknya Islam .
Sebaliknya, di bagian Utara, kebanyakannya beragama bukan Islam. Kawasan ini memanjang dari batas batas Kapuas Hulu, hingga berujung ke Kalimantan Timur. Sebut misalnya wilayah Badau dan Embaloh.
Secara awam kita percaya bahwa wujudnya pisahan ini terjadi tidak secara kebetulan. Tetapi ada usaha, ada upaya, dari kalangan mubaligh ratusan tahun lalu. Mesti ada penjelasan yang bisa diberikan, di kemudian hari melalui penelitian.
Islam Masuk ke Kapuas Hulu
Tulisan mengenai Islam di Kapuas Hulu masih terbatas. Jika diibaratkan gambar, maka informasi itu masih berserakan berbentuk fragmen. Di sana sedikit, di sini sedikit, terpisah-pisah sifatnya. Karena itu untuk melihat gambaran yang agak utuh maka perlu didefragmentasikan, perlu disusun oleh mereka yang ahli.
Sejauh ini ada beberapa tulisan yang menyinggung tentang Islam dan Islamisasi di Kapuas Hulu. Moch Malik dkk, mengatakan Islam kononnya masuk abad ke-6. Pada tempat lain Islam berkembang pada abad ke-18-19. Ketika itu sejumlah guru datang dari luar daerah mengajarkan Islam di pusat-pusat administrasi kerajaan: seperti Suhaid, Selimbau, Piasak, Jongkong, dan Bunut. Guru ini mendirikan madrasah mini. Peranan kerajaan kecil ini juga disoroti dalam tulisan ini.
Memang dari sekian banyak sumber yang bisa dipergunakan untuk melakukan studi sejarah, tulisan ini bisa digunakan sebagai data awal. Data-data hasil wawancara dengan tokoh agama di setiap kecamatan bisa menjadi titik tolak untuk kajian yang lebih mendalam dan akademis. Kelemahan metodologis, bisa diperbaiki melalui kajian lanjutan.
Sebenarnya, masih ada sumber lain yang bisa digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai Islam di sini. Seperti yang dikatakan Collins (2003), van Kessel tahun 1850 merupakan petugas kolonial Belanda yang pertama menerbitkan hasil observasinya mengenai Islam di Kapuas Hulu. Bahan ini dimanfaatkan oleh penulis Belanda kemudian, seperti PJ Vath (1854), Enthoven (1903) dan Victor T. King (1993). Berdasarkan sumber ini, Islam masuk sekitar tahun 1800-an, yakni tahun-tahun sebelum observasi van Kessel dilakukan.
Di Sungai Embau misalnya, ketika catatan dibuat tahun 1850, dia mengatakan dalam tahun akhir-akhir imi Dayak di Sungai Embau telah memeluk agama Islam (Lihat Collins 2003: xii).
‘Aan de rivier de Embouw of Mouw die zich hier met de Kapoeas vereenigt, wonen vrije Dajaks ... daar zij voor eenige jaren den Islam hebben aangenomen, thans tot de Maleijers kunnen gerekend worden’.
Dalam Yusriadi (1999), Haitami, dkk (2000) serta Yusriadi dan Hermansyah (2003) disebutkan di kawasan Sungai Embau telah tersebar 200-300 tahun lalu dalam beberapa generasi. Salasilah generasi ditampilkan untuk mendapatkan kalkulasi tersebut. Sumbangan lain yang cukup berarti adalah catatan-catatan mereka mengenai dinamika keberagamaan masyarakat Islam di sini.
Zainuddin Isman (20001) juga memberikan sumbangan untuk kita memahami sejarah masyarakat Kapuas Hulu ini. Dengan pendekatan antropologi, Zainuddin menceritakan kepada kita bagaimana keadaan penduduk Islam di daerah Temuyuk, sebuah kampung di anak Sungai Bunut, puluhan kilometer ke arah utara Sungai Embau. Sekaligus tulisan ini menambah kosa pemahaman kita mengenai proses Islamisasi, seperti ketika kita melihat apa yang ditulis Hermansyah kemudian.
Hermansyah (2002) melalui penelitian Ilmu-nya menyoroti secara mikro proses Islamisasi di kawasan ini. Temuannya mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa, penyebar agama Islam dahulu di Ulu Kapuas ini telah mengawinkan budaya lokal yakni kepercayaan kepada magi dengan unsur-unsur Islam. Cara ini telah menyebabkan Islam begitu mudah diterima masyarakat. Hermansyah juga menduga Islam sufistik yang menjurus pada sinkritisme berkembang dahulu di sini.
Beberapa Agenda Penelitian
Sekali lagi, gambaran sepintas lalu mengenai Islam di Kapuas Hulu masih terbatas. Karena itu, informasi ini masih dianggap sebagai informasi mentah; masih berserakan, yang menuntut tafsiran. Diperlukan penelitian mendalam di kemudian hari.
Dengan pengetahuan terbatas dan minimnya kemampuan, setakat ini diajukan beberapa agenda yang perlu diselesaikan sehingga tersusun satu kesepahaman sejarah. Wujudnya perbedaan tahun masuknya Islam ke daerah ini bisa jadi harus ditafsirkan bahwa Islam sudah masuk pada masa tersebut, tetapi belum berkembang luas. Agama ini masih dianut beberapa orang saja. Faktor sosial menyebabkan Islam baru berkembang pada menjelang abad ke-19. Ketika Belanda datang dan mencoba mengagamakan penduduk setempat, sembari menguasai sumber alam setempat.
Bisa juga ditafsirkan, perbedaan tahun terjadi karena perbedaan lokasi. Maksudnya, masuknya Islam di Selimbau yang berada di jalur terbuka, berbeda dengan masuknya Islam di Riam Panjang misalnya, yang tertutup jauh lagi di dalam sungai Embau. Perhubungan yang sulit ketika itu menyebabkan Islam tidak bisa tersebar secara serentak. Dan inilah yang menyebabkan ada perbedaan tahun tersebut.
Bisa juga ditafisrkan bahwa salah satu sumber ada yang terkeliru sehingga muncul tafsiran yang salah. Misalnya yang satu mengaitkan dengan masuknya Islam di kawasan pesisir pantai –yang mendasarkan dugaannya dengan sejarah kawasan. Pokoknya, ada banyak kemungkinan, dan ini memerlukan diskusi terus menerus, penggalian data yang serius dan tentu saja oleh mereka yang ahli. Sebab orang yang tidak ahli akan menafsirkan berdasarkan perasaan dan kemampuan yang minimun, yang justru kadang menyesatkan.
Selain itu, ada pertanyaan lain yang mesti diselesaikan. Siapa yang melakukan Islamisasi ratusan tahun lalu itu? Siapa tokoh sentral? Memang ada beberapa nama yang disebutkan terlibat dalam usaha ini (Lihat Moch Malik dkk 1985). Di antara nama-nama itu perlu dibahas dengan mendalam. Kajian biografi merupakan jawaban atas data ini.
Mengenai metode sedikit banyak kita sudah mendapat gambarannya. Meskipun tidak dikenal dengan institusi pondok –Pondok Pesantren Pertama Kapuas Hulu di Nanga Tepuai tahun 1990-an, namun kegiatan pengembangan Islam bisa dilakukan. Tetapi menarik mengimbas kembali apa yang disampaikan penulis Belanda yang mengenal istilah Islam transisi. Maksudnya, adalah ada sekelompok masyarakat yang memeluk Islam tetapi mereka belum melaksanakan ajaran Islam dengan baik. Setidaknya dalam catatan tersebut, disebutkan penduduk Islam yang masih minum tuak, memelihara anjing dan makan babi (Lihat Yusriadi 2002).
Apa yang disinggung dalam Yusriadi (2002) mungkin juga merupakan jawaban sementara atas proses ini. Dengan mengambil cerita larangan makan babi dikaitkan dengan kisah Saydina Ali dan isterinya. Walaupun dalam sejarah Islam tidak ditemukan cerita ini, namun mubaligh memanfaatkannya untuk memberi penjelasan singkat larangan makan babi berdasarkan logika tradisional, logika masyarakat setempat kita itu.
Atau istilah Islam transisi yang disinggung penulis Belanda merupakan bentuk strategi Islamisasi yang dilakukan oleh mubaligh. Maksudnya, biarlah masyarakat lokal masih memelihara anjing, makan babi dan minum tuak, biarlah mereka mengikuti kebiasaan mereka, yang penting konversi agama dengan starting pointnya pada syahadat (kesaksian) sudah dilakukan. Dengan begitu, misionaris tidak bisa apa-apa. Entahlah.
Penutup
Kenyataannya, data awal mengenai Kapuas Hulu memang sangat menarik. Profesor Linguistik Sejarah asal Amerika James T Collins , membawa kita pada beberapa persoalan data sejarah masyarakat Embau khususnya, Kapuas Hulu umumnya.
Misalnya, bahasa apa yang dipakai masyarakat ini sebelum memereka menukar agama secara ini? Apakah bahasa mereka berubah? Apakah cara hidup mereka berubah –sejauh mana perubahan itu?, sebelum dan setelah masuk Islam ?
Untuk mencari jawaban tentu tidak mudah. Karena itu kita berharap ada usaha penelitian secara serius dilaksanakan. Tidak bisa dilakukan dengan sepintas lalu seperti penelitian yang dilaksanakan Moch Malik dan kawan-kawan. Begitupun penelitian yang dilakukan Yusriadi, Zainuddin Isman dan Hermansyah.
Meskipun sumbangan dari berbagai sudut diperlukan, apa yang paling mendasar adalah, kita perlukan sejarawan. Sedangkan mereka yang melakukan usaha pencatatan sejarah sekarang ini hanya guru agama, peminat Linguistik, Tasauf, Antropologi. Mereka ini secara kebetulan tertarik untuk sepintas lalu menyoroti sejarah ini.. Kita mesti melahirkan seorang sarjana sejarah sehingga bisa mengupas fenomena ini secara intensif.
Satu hal yang penting dicamkan, bidang kajian sejarah bukan hal yang remeh temeh. Kata orang bijak : Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Kita ingin jadi bangsa yang bijak, yang menghargai sejarah lokal kita. Tetapi malangnya, kita ‘belum punya’ sejarah. Kita justru masih merasa belum ada apa-apanya. Masih terbuai oleh sejarah besar kawasan lain. Alahai.**
Bibliografi
Collins, J. T. 1995. Kalimantan Barat Sebagai Titik Tolak Pengkajian Sejarah Bahasa Melayu. Kerta Kerja Dialog Borneo-Kalimantan V, Pontianak.
Collins, J.T. 2003. Alam Melayu dan Masyarakat Embau. Dalam Yusriadi dan Hermansyah 2003. Orang Embau: Potet Masyarakat Pribumi Kalimantan. Pontianak: STAIN Press – Adi Karya IKAPI – The Ford Foundation.
Haitami Salim, dkk. 2000. Islam di Pedalaman Kalimantan Barat, Studi Kasus atas Keberagamaan Masyarakat Embau. Pontianak: STAIN.
Hermansyah. 2001. Magi Ulu Kapuas. Tesis MA IAIN Sunan Ampel, Semarang.
Moch Malik, dkk. 1985. Masuk dan Berkembangnya Islam di Kapuas Hulu. Naskah.
Yusriadi. 1998. Tuhfat Al-Nafis : Merangka Episode Sejarah Kalbar. Makalah disampaikan dalam Bengkel Karya Agung Tuhfat Al-Nafis. ATMA.
Yusriadi. 1999. Dialek Melayu Ulu Kapuas. Tesis MA Universiti Kebangsaan Malaysia.
Yusriadi. 2000. Islamisasi di Pedalaman Kalbar, Perspektif Linguistik dan Tradisi Lisan. Khatulistiwa 1: 12-32.
Yusriadi. 2002. Islam Transisi di Kapuas Hulu. Naskah.
Yusriadi. dan Hermansyah. 2003. Orang Embau: Potet Masyarakat Pribumi Kalimantan. Pontianak: STAIN Press – Adi Karya IKAPI – The Ford Foundation.
Zainuddin Isman. 2001. Orang Melayu di Kalimantan Barat, Kajian Perubahan Budaya pada Komuniti Pesisir dan Komuniti Pedalaman. Tesis MA Universiti Kebangsaan Malaysia.
SELIMBAU KU TERCINTA
BalasHapus