Dua orang perempuan setengah baya itu terus menari dengan gerakan yang
ritmis sambil diiringi tabuhan ketambung (gendang berukuran kecil).
Dengan intens mereka mengelilingi pandung (pusat sesaji).Dari mulut
kedua perempuan itu terucap seruan kepada Sangiang, roh-roh leluhur.
Kedua perempuan itu adalah basir istilah Dayak Ot Danum dan Dayak Siang
Murung untuk pimpinan agama Dayak Kaharingan. Sesama mereka, orang
Dayak Ngaju yang bermukim di sepanjang Sungai Kahayan menyebutnya basir.
Jauh-jauh dari Saripoi, Kecamatan Tanah Siang, Kabupaten Murung Raya,
para pemimpin religius itu diundang secara khusus oleh Kepala Desa
Tumbang Topus, Kecamatan Sumber Barito, Kabupaten Murung Raya,
Kalimantan tengah, sebuah desa terakhir di hulu Sungai Barito, tepatnya
di tepi Sungai Murung di kaki Pegunungan Muller-Schwanner.
Mereka berdua
didaulat untuk memimpin upacara Mandung, ritual kematian khas Dayak
Siang Murung dan Dayak Punan. Bernard Sellato menggolongkan orang Dayak
Siang Murung ke dalam kelompok Barito (Sellato, 1994:11-12).
Tiba-tiba, perhatian khalayak tertuju pada tingkah salah seorang basie.
Gerakan tubuhnya menjadi tidak terkontrol. Liukan tubuhnya terlihat
ringan dan luwes bak seorang penari balet. Tidak pelak lagi, sang basie
tengah trance atau kesurupan. Rekannya sigap bertindak meski tetap
terlihat tenang. Sambil tetap mengelilingi pandung, ia mengambil minuman
anding (sejenis tuak dari sari peraman beras ketan merah). Dengan
minuman tradisional itu ia menyadarkan rekannya dari pengaruh kesurupan.
Dalam tempo yang singkat, sang basie mulai sadar. Seperti baru usai
bekerja berat, tubuhnya terlihat lunglai bersimbah kucuran keringat.
Ritual Mandung merupakan salah satu rangkaian ritual kematian sebelum
pelaksanaan upacara Tiwah. Sekedar mengingatkan, Tiwah adalah upacara
puncak kematian menurut agama Kaharingan. Dengan upacara Tiwah,
sempurnalah tugas keluarga untuk mengantarkan arwah menuju Lewu Tatau Je
dia Rumpang Tulang, Rundung Raja Isen Kamalesu Uhate (Sorga Loka).
Upacara Mandung pada dasarnya bertujuan untuk mengantar arwah ke surga.
Juga dimaksudkan sebagai acara perpisahan antara arwah dengan keluarga
yang ditinggalkan. MeskiMandung bukan tahap terakhir dari prosesi
kematian, arwah yang meninggal diyakini telah mendapat jalan yang lapang
untuk menuju tempat yang mahamulia yang telah disediakan oleh Ranying
Mahatara Langit (Tuhan).
Upacara Tiwah diyakini untuk lebih
menyempurnakan jalan lempang tersebut.
Upacara Mandung berpusat pada pandung. Di sekitar pandung disediakan
berbagai sesaji, berupa hewan korban berupa babi, ayam, dan beragam
makanan. Tidak lupa disertakan tembakau dan sirih. Upacara Mandung
berlangsung selama lima hari lima malam. Setiap harinya sang basie
terus-menerus melantunkan mantra-mantra dalam bahasa Sangiang.Upacara
menjadi semakin semarak karena warga desa turut berpartisipasi
meramaikan dengan menari mengelilingi Pandung. Puncak ritual ditandai
dengan penyembelihan hewan persembahan berupa babi. Darah babi korban
ini digunakan untuk mencuci boneka yang menjadi simbol orang yang akan
menjalani Mandung. Darah yang sama juga digunakan oleh anggota keluarga
yang ditinggalkan untuk syarat mandi sebagai pelepasan keterikatan
dengan arwah.
Menurut Marko Mahin, antropolog dari Sekolah Tinggi Theologia Gereja
Kalimantan Evangelis (STT GKE), Banjarmasin, tujuan akhir dari rangkaian
upacara kematian Dayak Kaharingan adalah untuk menyatukan tiga unsur
pembentuk manusia. Penganut agama Kaharingan meyakini, bahwa roh manusia
akan terbagi tiga ketika ia mati. Unsur pertama adalah Salumpuk teras
liau atau penyalumpuk liau, yaitu roh utama yang menghidupkan manusia.
Pada saat manusia meninggal, roh ini langsung kembali kepada Ranying
Mahatala, Langit Sang Pencipta.
Unsur kedua adalah Liau balawang panjang ganan bereng, yaitu roh yang
dalam upacara Balian Tantulak Ambun Rutas Matei diantar menuju Lewu Balo
Indu Rangkang Penyang. Unsur terakhir, adalah Liau karahang tulang,
silu, tuntang balau, yaitu roh yang mendiami tulang, kuku, dan rambut.
Roh ini tinggal di dalam peti mati.
Ketiga unsur ini dipersatukan kembali dan diantarkan menuju Lewu Tatau
dalam upacara paripurna Tiwah. Karena ajaran agama Kaharingan tidak
mengenal teologi hari kiamat dan konsepsi hari pengadilan
terakhir,setelah dilakukan upacara Balian Tantulak Matei dan Tiwah, roh
langsung masuk Sorga Loka. Sementara, kehadiran roh-roh leluhur atau
Sangiang – yaitu Sangiang Duhung Mama Tandang-Langkah Sawang Mama Bangai
dan Rawing Tempon Telu– yang dipanggil dalam upacara kematian
dimaksudkan untuk melepaskan pali (tabu) dari pribadi atau keluarga
atau desa yang melaksanakan upacara. Dengan melepaskan pali, maka orang
yang mati terbebas dari kesalahan yang dilakukannya selama hayatnya di
dunia.
Willibrordus W- peminat masalah agama dan kebudayaan,
Ya betul,basie yg kami undang dari desa osom tompok,tambi idah atau indu acong saat mandung alm Bp ase atau Raba di desa Tumbang Topus,
BalasHapusAcara mandung ini sdh jarang karena mayoritas warga sdh memeluk agama nasrani,namun kebudayaan suku punan dan siang tetap terjaga
Kalau ke desa tumbang topus jangan lupa sambangi kita
Damianus silam akan memberikan keterangan ttg kehidupan sosial budaya yang terjaga di perkampungan dayak punan murung raya
Salam
Thomas Wanly