Mengayau atau memenggal kepala
musuh dalam perang antarsuku dahulu kala adalah salah satu kebiasaan
sejumlah subsuku Dayak di daratan Kalimantan (kini terbagi menjadi
wilayah Indonesia, Malaysia, dan Brunei) yang sangat ditakuti.
Kadangkala, mengayau tidak hanya dilakukan dalam peperangan, tetapi juga
ketika merampok, mencuri, atau menduduki wilayah subsuku lain.
Sebelum disepakati untuk
dihentikan, mengayau makin membudaya karena semakin banyak kepala musuh
yang dipenggal (dibuktikan dengan banyaknya tengkorak musuh di
rumahnya), seorang lelaki semakin disegani. Bahkan, perselisihan
antarsuku terus berlanjut karena masing-masing suku membalas dendam.
Perselisihan berkepanjangan itu membuat Residen Belanda di Kalimantan
Tenggara yang kini meliputi wilayah Kalimantan Tengah dan Kalimantan
Selatan merasa tidak aman.
Dalam bukunya, Pakat Dayak, KMA M
Usop menuturkan, Brus, Residen Belanda Wilayah Kalimantan Tenggara,
pada Juni 1893 mengundang semua kepala suku yang terlibat sengketa ke
Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah, untuk membicarakan upaya perdamaian.
Dalam pertemuan itu disepakati,
harus digelar pertemuan lanjutan yang melibatkan seluruh suku Dayak di
Borneo untuk membahas berbagai persoalan yang menjadi akar perselisihan.
Namun, menggelar pertemuan lanjutan itu bukan pekerjaan mudah. Ketika
itu, akses antarwilayah masih mengandalkan sungai.
Satu-satunya kepala suku yang
mengajukan diri untuk menjadi tuan rumah pertemuan akbar itu adalah
Damang Batu, salah satu kepala suku Dayak Ot Danum di Tumbang Anoi.
Sepulang dari Kuala Kapuas, Damang Batu yang ketika itu berumur 73 tahun
langsung memulai pekerjaan besarnya menyiapkan tempat dan logistik.
Selama lima bulan hingga akhir
1893, Damang Batu tak pernah menetap di desanya. Ia terus berkeliling ke
desa lain untuk mengumpulkan makanan. Ada cerita lain yang menyebutkan,
Damang Batu juga menyiapkan 100 kerbau miliknya untuk makanan para
undangan. Ia juga meminta masyarakat di Tumbang Anoi dan sekitarnya
membangun pondok bagi tamu undangan rapat.
Damang Batu jugalah yang menyebarkan undangan rapat secara berantai kepada kepala suku-kepala suku di daratan Kalimantan.
Sebanyak 152 suku diundang ke
Tumbang Anoi. Dalam rapat yang digelar selama dua bulan sejak 22 Mei
hingga 24 Juli 1894 itu, sekitar 1.000 orang hadir. Mereka dari
suku-suku Dayak dan sejumlah pejabat kolonial Belanda wilayah Borneo.
Usop juga mencatat, sedikitnya 50 kerbau, 50 sapi, dan 50 babi, serta
bahan makanan lain seperti beras dan ubi kayu disediakan untuk konsumsi
mereka yang hadir ketika itu.
Selain mengakhiri tradisi
pengayauan, rapat akbar itu juga menyepakati beberapa keputusan penting,
di antaranya menghentikan perbudakan dan menjalankan hukum adat Dayak.
Dalam catatan sejarah yang
ditulis Usop, rapat di Tumbang Anoi itu juga membahas sekitar 300
perkara. Sebanyak 233 perkara dapat diselesaikan, 24 perkara ditolak
karena kedaluwarsa atau sudah lebih dari 30 tahun, dan 57 ditolak karena
kekurangan bukti.
Kahayan
Tumbang Anoi adalah salah satu
pusat permukiman penduduk Dayak Kadorih, salah satu subsuku Dayak Ot
Danum di hulu Sungai Kahayan, Kalimantan Tengah. Tumbang Anoi kini masuk
wilayah administratif Kecamatan Damang Batu, Kabupaten Gunung Mas,
Kalimantan Tengah, yang dihuni 418 warga dari 116 keluarga. Untuk
mengenang kegigihan mengumpulkan dan menyelenggarakan rapat akbar yang
sangat sulit dilakukan saat itu, nama Damang Batu dijadikan nama
kecamatan.
Tumbang Anoi berjarak sekitar
300 kilometer arah utara Palangkaraya, ibu kota Kalimantan Tengah.
Hingga saat ini, tempat itu masih harus ditempuh dengan perjalanan darat
selama tujuh jam, dilanjutkan dengan menggunakan perahu motor menyusuri
Sungai Kahayan ke arah hulu selama dua jam dari Tumbang Marikoi, ibu
kota Kecamatan Damang Batu.
Waktu tempuh yang amat lama itu
dipengaruhi kondisi jalan yang tidak bagus. Sebagian besar jalan belum
diaspal dan hanya berupa jalan tanah. Ketika musim hujan, beberapa titik
tidak dapat dilalui kendaraan berpenggerak dua roda.
Bekas tempat rapat akbar Tumbang
Anoi tahun 1894 kini tinggal puing, berupa tiang-tiang rumah betang
atau rumah panjang khas Dayak. Replika rumah betang dibangun tak jauh
dari puing-puing rumah betang yang lama.
Malu
Kendati tempat rapat akbar itu
tinggal menyisakan puing, semangat Damang Batu masih tetap membekas dan
terus diperjuangkan oleh masyarakat Tumbang Anoi. Di daerah itu
berkembang budaya malu melakukan kekerasan untuk menghormati Damang Batu
yang kerangkanya disimpan di dalam sandung atau semacam rumah panggung
kecil di depan rumah betang Tumbang Anoi.
Atmosfir itu terasa, misalnya,
begitu kami menginjakkan kaki di Tumbang Anoi. Masyarakat menyapa ramah
orang luar yang berkunjung.
Ngoa Huka Batuputera (42), salah
satu keturunan Damang Batu dari generasi ketiga, menuturkan,
pengorbanan Damang Batu untuk menyatukan seluruh suku Dayak di Borneo
sangat membanggakan. ”Rasa bangga itu kami pelihara dengan menghormati
semangatnya menjaga perdamaian. Tak hanya tradisi mengayau yang kami
akhiri dan kami jaga agar sekarang tidak terulang, kami juga
mengupayakan kondisi masyarakat yang tenteram tanpa kekerasan,” kata
Ngoa.
Sekretaris Desa Tumbang Anoi
Dagon Kapari menuturkan, di desanya nyaris tak pernah ada konflik
masyarakat. Nilai-nilai perdamaian Tumbang Anoi diterapkan masyarakatnya
dengan kuat. ”Rasanya malu kalau ada perselisihan. Ketika terjadi
kerusuhan Sampit tahun 2001, tak ada warga Tumbang Anoi yang
ikut-ikutan,” katanya.
Dagon mengakui, kerusuhan Sampit
menjadi salah satu noktah dalam lembar sejarah perdamaian masyarakat
Dayak yang diupayakan Damang Batu. ”Kami sangat menyesalkan adanya
kerusuhan itu. Semua di luar kehendak kami,” kata Dagon.
Tradisi pakanan sahur lewu atau
ungkapan syukur atas keselamatan selama satu tahun masih tetap
dipertahankan masyarakat Tumbang Anoi. Ini adalah tradisi tahunan setiap
Desember untuk memupuk rasa persaudaraan sesama masyarakat Tumbang Anoi
yang kini telah beragam keyakinannya.
Dulu, masyarakat Tumbang Anoi
menganut keyakinan Kaharingan. Kini, keyakinan yang dianut beragam,
antara lain Kaharingan, Kristen, dan Islam. Masyarakat yang berbeda
keyakinan saling menghormati dan memahami, misalnya, apa yang boleh atau
tidak boleh dihidangkan bagi penganut lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar