Seorang laki-laki tengah sibuk sendiri. Bertolak pinggang, tiba-tiba
tubuhnya bergetar. Sebentar berjalan maju, sesaat lagi dia melangkah
mundur. Suara yang keluar dari mulutnya terdengar melengking. Awalnya,
dia berbicara dalam bahasa Indonesia, tapi selanjutnya dia mengoceh
dalam bahasa Dayak dan Shangiang (bahasa Dayak kuno). Diiringi dengan
nyanyian yang diiringi tetabuhan katambung–serupa tifa, dari beberapa
orang di sekelilingnya, dia pun asyik menari.
Lelaki itu adalah orang yang menjadi mediator pemanggilan roh halus
alias pawang. Dari kata-kata yang meluncur, tubuhnya tengah disinggahi
batara guru Samar (Semar), roh halus paling bijaksana yang dikenal
masyarakat Dayak. Setelah menyampaikan salam, Samar berpesan kepada
orang-orang yang hadir untuk menjaga alam dan saling menghormati.
Kedatangan roh Samar ini hanyalah satu bagian dari acara
menyanggar–ritual upacara yang biasa dilakukan masyarakat Dayak
Ngaju–penganut Kaharingan, semacam agama kepercayaan orang Dayak, di
Mantangai, sekitar 87 kilometer dari ibu kota Kapuas, Kalimantan Tengah.
Sesungguhnya acara puncak belum terjadi. Masih ada satu lagi tamu yang akan datang. Dialah Kambe Hai,
roh halus penunggu desa ini, yang sangat dihormati masyarakat Dayak
Ngaju. Seperti juga pada roh halus lainnya, masyarakat di sana memberi
mereka gelar layaknya seorang bangsawan. Tapi memanggil Kambe Hai tidaklah mudah. Beberapa ritual harus digelar (lihat Ritual Panjang Berjumpa Kambe Hai).
Pemanggilan Kambe Hai dilakukan oleh seorang upu, yang memimpin lima basil
atau pemanggil roh.
Diiringi katambung, mereka mengalunkan nyanyian
tentang sejarah keharmonian alam, roh halus, dan manusia. Setelah
melalui proses yang panjang, kurang-lebih dua jam, barulah roh halus
yang dinanti itu datang ke tubuh si pawang. Setelah Samar datang, Kambe Hai pun masuk ke tubuh sang
pawang yang tengah duduk di atas meja kecil. Tubuh si pawang itu
mengejang, lalu dia meracau dan berbicara dalam nada yang melengking.
Seperti kata asalnya, sangga–yang berarti batas antara dua dunia–ritual
ini merupakan penetapan batas antara kehidupan manusia dan dunia roh
halus. Umumnya, semua suku Dayak mengenal upacara menyanggar. Kalaupun
ada perbedaan, hanya dalam sebutan dan tata cara ritualnya, tapi
filosofinya tetap sama, yakni tentang penghormatan mereka terhadap roh
halus.
Masyarakat Dayak percaya manusia bisa hidup berdampingan dengan roh
halus. Namun, melalui acara ini, rupanya makhluk-makhluk gaib itu
menginginkan suatu batas yang harus dihormati. Mereka ngeri terhadap
ulah manusia.
Tata batas ini kemudian akan ditandai dengan dibangunnya sebuah balai bagi roh penunggu yang disebut Balai Masigit (rumah) Kambe Hai.
Balai ini dipenuhi sesajen bagi sang roh halus, sejumlah umbul-umbul,
dan bendera kuning. Tempat yang sangat keramat. Alhasil, mereka yang
melihat tanda ini diharuskan berhati-hati dan tidak sembarangan
berperilaku ketika memasuki tata batas tersebut.
Menyanggar di Bagantung dilakukan karena sejumlah penduduk desa
Mantangai mengaku telah didatangi sang penunggu Danau Bagantung, yang
menyebut dirinya sebagai Kambe Hai, baik dalam mimpi maupun secara
langsung. Sosoknya digambarkan berwajah setengah putih setengah gelap.
Bertubuh tinggi besar dan menyeramkan.
Sang Penunggu datang untuk menyampaikan pesan penting. Dia resah
karena melihat manusia berambut merah dan berhidung panjang melewati
wilayahnya. Karena itu, dia ingin semua orang tahu akan tata batas
antara dunianya dan manusia di sekelilingnya.
Pesan Kambe Hai lewat mimpi ini ternyata dialami juga oleh
para pekerja di Pusat Riset Hutan Gambut milik Yayasan Penyelamatan
Orangutan Borneo (The Borneo Orangutan Survival Foundation) di Bagantung. Mereka tahu yang dibicarakan Kambe Hai
adalah para peneliti asing yang sering melakukan riset tentang hutan
gambut dan orang utan liar yang ada di kawasan hutan gambut Mawas,
Kapuas.
Bagi masyarakat adat Dayak Ngaju di sana, bermimpi atau didatangi roh
halus yang membawa pesan adalah sesuatu yang harus ditanggapi secara
serius. Itu adalah bagian dari kosmologi spiritualitas adat mereka.
Apalagi mimpi dan bertemu langsung dengan Kambe Hai, yang tidak dialami
satu atau dua orang.
Tak ada jalan lain kecuali mengadukan masalah ini kepada pemimpin
adat setempat. Untuk menghormati keinginan Kambe Hai, para petinggi adat
kemudian menyarankan agar segera dilakukan ritual adat menyanggar.
***
Inti ritual ini sebenarnya adalah upaya menciptakan keseimbangan manusia dan alam sekitarnya. Melalui cara seperti itu, lingkungan hidup pun akan mencapai keharmonisan. Di kawasan Bagantung, masyarakat memiliki aturan yang harus ditaati. Bagi yang melihat tanda batas yang berupa umbul-umbul kuning, diharuskan berhati-hati dan tidak sembarangan berperilaku ketika memasuki tata batas tersebut.
***
Inti ritual ini sebenarnya adalah upaya menciptakan keseimbangan manusia dan alam sekitarnya. Melalui cara seperti itu, lingkungan hidup pun akan mencapai keharmonisan. Di kawasan Bagantung, masyarakat memiliki aturan yang harus ditaati. Bagi yang melihat tanda batas yang berupa umbul-umbul kuning, diharuskan berhati-hati dan tidak sembarangan berperilaku ketika memasuki tata batas tersebut.
Jadi, merupakan sebuah pemandangan yang biasa jika di sepanjang
Sungai Kapuas, bahkan hingga pelosok pedalaman, orang menemukan berbagai
tanda umbul-umbul dan bendera kuning atau putih.
Menurut kepercayaan
mereka, warna kuning merupakan warna kesukaan roh halus di sana.
Menurut Mulin Parini, salah seorang tokoh adat di sana, jika sudah
memasuki wilayah itu, siapa pun tidak boleh menebang pohon sembarangan
atau mengambil ikan yang ada di sana. “Karena itu semua adalah rumah
bagi roh-roh halus. Jika kamu punya rumah dan barang-barangnya diambil
oleh tamu tanpa permisi, jelas kamu akan marah. Begitu juga para
penunggu di sana,” dia menandaskan.
Mulin juga menjelaskan, orang Dayak Ngaju sangat percaya pohon-pohon
besar, hutan, sungai (air), bahkan udara, memiliki roh-roh yang menjadi
penunggunya. Saat ini, menurut Guta, 76 tahun, si pemanggil roh,
sejumlah penunggu di area Mawas (Sungai Kapuas) mengeluh
rumahnya telah diganggu, rusak, bahkan musnah. “Bahkan mereka harus
menyingkir dari kehidupan berdampingan dengan manusia,” katanya sebelum
upacara menyanggar dilakukan.
Ritual menyanggar pun dilakukan. Ini adalah cara mengingatkan kembali
masyarakat Dayak agar menghormati roh-roh yang merupakan bagian dari
kehidupan keseharian mereka. Beginilah cara Dayak Ngaju menjaga dari
keseimbangan alam, yang merupakan bagian dari kehidupan mereka.
(KORAN TEMPO, Minggu, 10 Desember 2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar