Tubuh pria itu sudah tak tegak lagi. Jika berjalan, badannya membungkuk.
Bahkan, kalau berbicara dia sering terbatuk-batuk. Sebilah parang
panjang selalu terselip di pinggangnya. Dia adalah Galimun (120), tokoh
warga Desa Balai Macatur, Kecamatan Hantakan, Hulu Sungai Tengah (HST).Galimun,
memang bukan orang tenar. Sekolah pun tidak pernah, hingga tak bisa
membaca dan menulis. Namun, pengalaman hidupnya sebagai pejuang di zaman
penjajahan serta keteguhannya memegang nilai-nilai adat, membuatnya
disegani.Di kalangan masyarakat Adat Dayak Meratus, dia seorang
tokoh bersahaja. Oleh masyaralat adat, Galimun pun diangkat sebagai
ketua Dewan Adat serta kepala Adat Kundan, Haruyan Dayak yang membawahi
27 balai.
Balai merupakan salah satu identitas permukiman bersama (rumah panggung panjang, istilah di Dayak di Kalsel) . Setiap balai dihuni beberapa keluarga dan membentuk satu kesatuan hukum adat dengan kawasan wilayah kelolanya. ketika ditemui Galimun, di Kantor Kecamatan Hantakan. “Saya berangkat dari rumah Senin siang. Kemarin dari Macatur ke Kundan tiba sore. Sekitar lima jam berjalan kaki sendiri,” tuturnya. Dari Kundan, dia menggunakan ojek ke kantor kecamatan, sekitar tujuh kilometer dengan kondisi jalan menanjak.
Tidak lelah berjalan kaki selama lima jam? “Saya merasa lelah ketika kaki saya tak bisa melangkah lagi. Sekarang kaki saya masih bisa melangkah. Selama masih bisa bangun kemudian berjalan, saya merasa sehat,” kata Galimun yang sepanjang perbincangan sering terbatuk-batuk.Batuk-batuk diakuinya karena candu rokok. Sehari, Galimun menghabiskan dua bungkus rokok. “Saya sudah mencoba berhenti merokok. Tapi namanya sudah kecanduan, tidak bisa berhenti,” kata pria yang mengaku pernah menikah empat kali tersebut.
Menurut Galimun, semua anak dan cucunya hanya berpendidikan tamat SD. Tidak banyak ditemui sekolah-sekolah resmi di balai, karena kurang seriusnya perhatian pemerintah menjadikan masyarakat di pedalaman itu pandai membaca dan menulis.Galimun menuturkan, masyarakat Adat sebenarnya ingin ada pejabat kabupaten yang mengunjungi balai-balai, agar merasakan sulitnya akses jalan antarbalai.
“Warga kami sangat berharap ada perbaikan jalan. Minimal tak berlumpur saat hujan. Tapi, mungkin karena dianggap desa kami tak penting dan bukan lumbung suara pada pemilu atau pilkada, jadinya diabaikan,” kata Galimun.Selain fasilitas pendidikan, sarana kesehatan pun diakuinya masih minim. Tidak banyak petugas kesehatan dan guru yang dapat berdiam lama di balai-balai, karena jauh dari keramaian kota.
Balai merupakan salah satu identitas permukiman bersama (rumah panggung panjang, istilah di Dayak di Kalsel) . Setiap balai dihuni beberapa keluarga dan membentuk satu kesatuan hukum adat dengan kawasan wilayah kelolanya. ketika ditemui Galimun, di Kantor Kecamatan Hantakan. “Saya berangkat dari rumah Senin siang. Kemarin dari Macatur ke Kundan tiba sore. Sekitar lima jam berjalan kaki sendiri,” tuturnya. Dari Kundan, dia menggunakan ojek ke kantor kecamatan, sekitar tujuh kilometer dengan kondisi jalan menanjak.
Tidak lelah berjalan kaki selama lima jam? “Saya merasa lelah ketika kaki saya tak bisa melangkah lagi. Sekarang kaki saya masih bisa melangkah. Selama masih bisa bangun kemudian berjalan, saya merasa sehat,” kata Galimun yang sepanjang perbincangan sering terbatuk-batuk.Batuk-batuk diakuinya karena candu rokok. Sehari, Galimun menghabiskan dua bungkus rokok. “Saya sudah mencoba berhenti merokok. Tapi namanya sudah kecanduan, tidak bisa berhenti,” kata pria yang mengaku pernah menikah empat kali tersebut.
Menurut Galimun, semua anak dan cucunya hanya berpendidikan tamat SD. Tidak banyak ditemui sekolah-sekolah resmi di balai, karena kurang seriusnya perhatian pemerintah menjadikan masyarakat di pedalaman itu pandai membaca dan menulis.Galimun menuturkan, masyarakat Adat sebenarnya ingin ada pejabat kabupaten yang mengunjungi balai-balai, agar merasakan sulitnya akses jalan antarbalai.
“Warga kami sangat berharap ada perbaikan jalan. Minimal tak berlumpur saat hujan. Tapi, mungkin karena dianggap desa kami tak penting dan bukan lumbung suara pada pemilu atau pilkada, jadinya diabaikan,” kata Galimun.Selain fasilitas pendidikan, sarana kesehatan pun diakuinya masih minim. Tidak banyak petugas kesehatan dan guru yang dapat berdiam lama di balai-balai, karena jauh dari keramaian kota.
“Sekarang sudah lumayan, ada dokter di
Puskesmas Hantakan yang bersedia berkunjung ke balai kami kalau ada yang
sakit parah,”jelasnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar